Seni sebagai Jantung Eteris di Era Disrupsi: Merekontekstualisasi Pendidikan Kontemporer

 

Pendidikan seni kontemporer (Sumber AI)


Damariotimes. Di persimpangan abad ke-21, ketika algoritma mulai menulis puisi dan kecerdasan buatan (AI) dapat meniru karya agung, pendidikan seni kontemporer menghadapi sebuah tantangan eksistensial sekaligus sebuah peluang keemasan. Bukan lagi sekadar wadah untuk melatih keterampilan teknis atau mewariskan kanon sejarah, seni kini harus mereposisi dirinya sebagai jantung eteris yang berfungsi sebagai mediator, kritikus, dan sumber daya keaslian di tengah hiruk pikuk realitas yang semakin terfragmentasi dan terdigitalisasi. Inilah sisi lain yang relevan: pengakuan bahwa fungsi seni telah bergeser dari sekadar objek estetika menjadi agen fungsional dalam diskursus sosial dan ekologis yang mendesak.

 

Pergeseran Fungsi: Dari Objek ke Agensi

Fungsi utama seni kontemporer di masa depan terletak pada kemampuannya untuk mewujudkan kompleksitas. Dalam dunia yang dibanjiri data dan teori ilmiah yang seringkali terasa dingin dan jauh, senimanlah yang memiliki lisensi untuk menerjemahkan isu-isu kritis—seperti perubahan iklim, etika big data, atau polarisasi sosial—ke dalam bentuk pengalaman yang dapat dirasakan. Melalui instalasi imersif, bio-art, atau performance berbasis riset, seni menjembatani jurang antara pengetahuan abstrak dan pemahaman emosional publik. Seni menjadi laboratorium non-linear di mana realitas diuji, dipertanyakan, dan diolah kembali.

Paralel dengan itu, dalam pusaran kelelahan digital, di mana identitas rentan terhadap manipulasi dan keaslian citra dipertanyakan oleh deepfake dan teknologi generatif, seni kontemporer menawarkan oasis otentisitas. Perhatian kembali pada materialitas, kehadiran fisik (presence), dan interaksi in-situ berfungsi sebagai penyeimbang yang vital. Karya seni yang menuntut kehadiran indrawi—tekstur, bau, ruang—mengingatkan kita pada batas-batas keberadaan manusia yang tidak dapat direplikasi secara digital. Seni, dengan demikian, berfungsi sebagai katarsis digital, tempat kita menguji batas-batas antara yang nyata dan yang disimulasikan, antara yang manusiawi dan yang post-human.

Akhirnya, seni masa kini kian bertransformasi menjadi agen kritis sosial-ekologis. Seniman tidak lagi hanya berdiri di tepi mengomentari tragedi, tetapi terjun langsung ke lapangan, berkolaborasi dengan ahli biologi, perencana kota, dan komunitas lokal. Praktik seni berbasis sosial (social practice art) menekankan bahwa nilai sebuah karya tidak hanya terletak pada bingkainya, tetapi pada dampak dan transformasinya terhadap ekosistem atau komunitas yang dilayaninya.

 

Mandat Perguruan Tinggi: Membentuk Fasilitator Inovasi

Untuk menanggapi pergeseran fungsi seni yang begitu mendasar ini, institusi pendidikan tinggi (PT) seni tidak boleh hanya berpegangan pada tradisi. Mereka harus bergerak untuk membentuk fasilitator inovasi—seniman yang memiliki toolkit interdisipliner dan etika kritis.

Pertama, kurikulum harus bergeser dari discipline-centric menjadi issue-centric. Batasan kaku antara seni rupa, desain, dan ilmu lain harus dilebur. Program studi harus dikelompokkan berdasarkan tantangan kontemporer, misalnya, sebuah modul tentang "Masa Depan Kota dan Material Berkelanjutan" yang memaksa mahasiswa seni rupa, arsitektur, dan teknik untuk berkolaborasi. Literasi teknologi harus diajarkan secara kritis, melampaui penguasaan perangkat lunak, hingga pada pemahaman mendalam tentang bias algoritmik dan hak cipta di era AI.

Kedua, PT harus memosisikan seni sebagai bentuk penelitian formal (Art-Based Research/ABR). Infrastruktur kampus perlu diubah menjadi laboratorium fleksibel yang mendukung eksperimen radikal, mulai dari biolab mini untuk bio-art hingga studio data visualization. Kemitraan harus diperluas secara radikal bekerja sama dengan perusahaan teknologi untuk menguji aplikasi seni interaktif, atau dengan lembaga kesehatan untuk menggunakan seni sebagai terapi komunal.

Ketiga, fokus utama harus dialihkan pada meta skills seniman masa depan. Keterampilan negosiasi, kemampuan kolaborasi lintas sektor, dan ketahanan digital (digital resilience) menjadi lebih berharga daripada hanya penguasaan cat minyak. Seniman kontemporer harus lulus dengan kemampuan untuk memfasilitasi, mengkurasi, dan mengadvokasi ide-ide mereka di berbagai forum, dari galeri hingga ruang rapat PBB.

Pendidikan seni kontemporer tidak sedang menghadapi akhir, melainkan sebuah metamorfosis. Dengan menyambut fungsi baru seni sebagai mediator eteris, penguji keaslian, dan agen perubahan, perguruan tinggi dapat memastikan relevansi abadi disiplin ini. Mereka harus berhenti melatih seniman untuk museum yang sudah ada dan mulai mendidik pemikir visual yang berani, yang menggunakan kecerdasan artistik mereka untuk mengurai kompleksitas dunia, dan pada akhirnya, merajut kembali kain sosial yang koyak. Seni adalah bentuk kecerdasan yang akan memandu kita melalui badai disrupsi, dan mempersiapkan para pewarisnya adalah mandat suci pendidikan tinggi saat ini.

 

Penulis: R.Dt.

 

Posting Komentar untuk "Seni sebagai Jantung Eteris di Era Disrupsi: Merekontekstualisasi Pendidikan Kontemporer"