Kehidupan Masyarakat Desa Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari

Tim Penulis

Naia Syifa; Laveda Zabrina; Jihan Septi; Maudy Amanda; Trisa Maulinda; Refika Sabilah

 

 
            Masyarakat desa merupakan kelompok manusia atau individu yang secara bersama-sama tinggal di suatu tempat dan saling berhubungan. Biasanya, di dalam masyarakat desa akan terjadi interaksi yang dilakukan secara teratur atau terstruktur. Melansir dari Encyclopedia Britannica, desa adalah kelompok atau komunitas yang tidak padat penduduk, dengan kegiatan ekonomi utama berupa produksi pangan dan bahan-bahan mentah. Sedangkan, menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari (foto ist.)
              Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebuah novel yang ditulis oleh penulis Indonesia asal Banyumas, Ahmad Tohari, dan diterbitkan pertama kali tahun 1982. Novel ini bercerita tentang kisah cinta antara Srintil, seorang penari ronggeng, dan Rasus, teman sejak kecil Srintil yang berprofesi sebagai tentara. Ronggeng Dukuh Paruk mengangkat latar Dukuh Paruk, desa kecil yang dirundung kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan. Latar waktu yang diangkat dalam novel ini adalah tahun 1960-an yang penuh gejolak politik. Pada penerbitan pertama, novel ini terdiri atas tiga buku (trilogi), yaitu Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala.

            Ahmad Tohari, penulis Ronggeng Dukuh Paruk (lahir 13 Juni 1948) adalah sastrawan dan budayawan berkebangsaan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Ronggeng Dukuh Paruk sendiri merupakan karya monumentalnya yang sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan diangkat dalam film layar lebar berjudul Sang Penari. Dalam proses kreatifnya Ahmad Tohari pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976).

            Kehidupan masyarakat desa yang digambarkan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dimulai Sejak Srintil yang belia dinobatkan menjadi ronggeng baru di Dukuh Paruk untuk menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang lalu, semangat kehidupan di Dukuh Paruk kembali menggeliat. Bagi pedukuhan yang kecil, miskin, terpencil namun bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang kehidupan. Tanpa adanya seorang ronggeng, dukuh itu akan kehilangan jati diri. Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi karena cantik dan menggoda. Semua ingin berjoget dan tidur bersama ronggeng itu. Dari kawula biasa hingga pejabat-pejabat desa, bahkan hingga pejabat kabupaten.

            Namun, malapetaka politik tahun 1965 membuat Dukuh Paruk hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohan mereka tentang politik, mereka terseret arus konflik dan divonis sebagai manusia-manusia pengkhianat negara. Pedukuhan itu dibakar dan ronggeng berserta para penabuh calung ditahan oleh tentara. Hanya saja, karena kecantikannya, Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para penguasa penjara tahanan politik.

            Novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah novel yang menceritakan perjalanan hidup seorang ronggeng yang pernah menjadi saksi kejamnya kehidupan pada masa G30SPKI yang bernama Srintil. Pada mulanya, novel ini menuai banyak kontroversi karena dianggap dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) sehingga menyebabkan penerbitannya terancam dibatalkan.

Dalam novel ini Dukuh Paruk adalah gambaran secara jelas dimana pola pikir dan budaya masyarakat sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan. Muatan gender juga sangat terasa dimana Srintil (wanita) lebih dianggap sebagai objek oleh kebanyakan orang, dan ironisnya kebanyakan wanita pun merasa bangga dengan keadaan ini.

Cerita tentang kesenian rakyat yang terbawa pada arus politik yang mengakibatkan para pelakunya dituduh sebagai manusia yang mengguncangkan negara, bahkan orang-orangnya ditahan dan harus menyandang status “tapol” (tahanan politik).

Sebelum melanjutkan menulis, Ahmad Tohari sempat dirundung kegundahan antara menuntaskannya atau tidak. Kecemasan dan kekhawatiran dalam hatinya saat memikirkan kalau-kalau ia akan menghadapi masalah besar membuatnya memikirkannya berulang kali. Pada akhirnya, ia berhasil menceritakan seluruh alur kehidupan seorang gadis bernama Srintil yang menjadi ronggeng di sebuah desa yang disebut Dukuh Paruk, desa kecil yang dirundung kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan.


Editor              : Astrid Wangsagirindra Pudjastawa

Posting Komentar untuk "Kehidupan Masyarakat Desa Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari"