Tim Penulis
Naia Syifa; Laveda Zabrina; Jihan Septi; Maudy Amanda; Trisa Maulinda;
Refika Sabilah
Masyarakat
desa merupakan kelompok manusia atau individu yang secara bersama-sama tinggal
di suatu tempat dan saling berhubungan. Biasanya, di dalam masyarakat desa akan
terjadi interaksi yang dilakukan secara teratur atau terstruktur. Melansir dari
Encyclopedia Britannica, desa adalah kelompok atau komunitas yang tidak padat
penduduk, dengan kegiatan ekonomi utama berupa produksi pangan dan bahan-bahan
mentah. Sedangkan, menurut Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari (foto ist.) |
Ahmad Tohari, penulis Ronggeng Dukuh
Paruk (lahir 13 Juni 1948) adalah sastrawan dan budayawan berkebangsaan
Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Ronggeng Dukuh Paruk sendiri
merupakan karya monumentalnya yang sudah diterbitkan dalam berbagai bahasa dan
diangkat dalam film layar lebar berjudul Sang Penari. Dalam proses kreatifnya
Ahmad Tohari pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran
Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Universitas Jenderal Soedirman (1975-1976).
Kehidupan masyarakat desa yang
digambarkan dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk dimulai Sejak Srintil yang belia dinobatkan menjadi ronggeng baru di
Dukuh Paruk untuk menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang
lalu, semangat kehidupan di Dukuh Paruk kembali menggeliat. Bagi pedukuhan yang
kecil, miskin, terpencil namun bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang
kehidupan. Tanpa adanya seorang ronggeng, dukuh itu akan kehilangan jati diri. Srintil menjadi tokoh
yang amat terkenal dan digandrungi karena cantik dan menggoda. Semua ingin
berjoget dan tidur bersama ronggeng itu. Dari kawula biasa hingga
pejabat-pejabat desa, bahkan hingga pejabat kabupaten.
Namun,
malapetaka politik tahun 1965 membuat Dukuh Paruk hancur, baik secara fisik
maupun mental. Karena kebodohan mereka tentang politik, mereka terseret arus
konflik dan divonis sebagai manusia-manusia pengkhianat negara. Pedukuhan itu
dibakar dan ronggeng berserta para penabuh calung ditahan oleh tentara. Hanya
saja, karena kecantikannya, Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para
penguasa penjara tahanan politik.
Novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah
novel yang menceritakan perjalanan hidup seorang ronggeng yang pernah menjadi
saksi kejamnya kehidupan pada masa G30SPKI yang bernama Srintil. Pada mulanya,
novel ini menuai banyak kontroversi karena dianggap dekat dengan PKI (Partai
Komunis Indonesia) sehingga menyebabkan penerbitannya terancam dibatalkan.
Dalam
novel ini Dukuh Paruk adalah gambaran secara jelas dimana pola pikir dan budaya
masyarakat sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan.
Muatan gender juga sangat terasa dimana Srintil (wanita) lebih dianggap sebagai
objek oleh kebanyakan orang, dan ironisnya kebanyakan wanita pun merasa bangga
dengan keadaan ini.
Cerita
tentang kesenian rakyat yang terbawa pada arus politik yang mengakibatkan para
pelakunya dituduh sebagai manusia yang mengguncangkan negara, bahkan
orang-orangnya ditahan dan harus menyandang status “tapol” (tahanan politik).
Sebelum
melanjutkan menulis, Ahmad Tohari sempat dirundung kegundahan antara
menuntaskannya atau tidak. Kecemasan dan kekhawatiran dalam hatinya saat
memikirkan kalau-kalau ia akan menghadapi masalah besar membuatnya
memikirkannya berulang kali. Pada akhirnya, ia berhasil menceritakan seluruh
alur kehidupan seorang gadis bernama Srintil yang menjadi ronggeng di sebuah
desa yang disebut Dukuh Paruk, desa kecil yang dirundung kemiskinan, kelaparan,
dan kebodohan.
Editor : Astrid Wangsagirindra Pudjastawa
Posting Komentar untuk "Kehidupan Masyarakat Desa Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari"