![]() |
| Warung pecel Pojok Mediun (Foto ist.) |
Damarioitmes.
Madiun selalu punya cara tersendiri untuk menyambut paginya. Di kota yang
kental dengan nuansa sejarah ini, aroma kacang sangrai dan daun pisang segar
seolah menjadi napas kehidupan bagi masyarakatnya. Salah satu pengalaman paling
berkesan saat menginjakkan kaki di kota ini adalah ketika saya memutuskan untuk
ikut berbaur dalam antrean di Jalan Cokroaminoto, tepat saat fajar baru saja
menyingsing.
Sekitar pukul lima pagi, ketika udara masih menyisakan
dingin, Warung Pecel Pojok sudah berdenyut kencang. Berada di kawasan yang
memang dikenal sebagai sentra kuliner pecel, warung ini berdiri mencolok bukan
karena kemewahan bangunannya, melainkan karena kerumunan orang yang rela
mengantre sejak subuh. Menariknya, wajah-wajah di antrean tersebut didominasi
oleh pelancong luar kota. Berkat kekuatan media sosial, warung sederhana yang
menempati sudut jalan ini telah bertransformasi dari sekadar tempat makan lokal
menjadi destinasi wajib bagi siapa pun yang mendamba keotentikan rasa.
![]() |
| antrian untuk menikmati nasi pecel legend di Kota Mediun (Foto ist.) |
Kesederhanaan adalah nyawa dari tempat ini. Meja dan kursi
kayu yang tampak "seadanya" justru menciptakan nuansa hangat yang
ramah, seolah kita sedang bertamu ke rumah kerabat lama. Di balik kesederhanaan
fisik bangunannya, terdapat manajemen kekeluargaan yang luar biasa. Ibu Dahlia,
salah satu pemilik, bercerita bahwa usaha ini dikelola secara gotong royong
oleh tujuh bersaudara sejak tahun 1965. Kini, di tangan generasi ketiga, nilai
kebersamaan itu tetap terjaga; mulai dari belanja bahan hingga melayani
pelanggan dilakukan bersama-sama tanpa membuka cabang di tempat lain. Hal
inilah yang barangkali menjaga "ruh" rasa yang tidak ditemukan di
tempat lain.
![]() |
| Jl. Cokroaminoto adalah kawasan penjual pecel Mediun (Foto ist.) |
Bicara soal rasa, Pecel Pojok menawarkan karakter yang
berbeda dari jenis pecel medok pada umumnya. Bumbu kacangnya memiliki tekstur
yang sangat lembut dengan profil rasa kacang yang kuat, namun tidak saling
berebut panggung dengan bumbu rempah lainnya. Semua terasa pas dan seimbang.
Keunikan ini disempurnakan dengan penyajian di atas pincuk—daun pisang yang
dilipat sedemikian rupa sebagai piring. Makan dari pincuk bukan sekadar soal
tradisi, melainkan tentang cara menikmati aroma daun yang terevaporasi oleh
nasi hangat, menambah dimensi rasa yang organik.
Pilihan lauknya pun sangat beragam, mulai dari tempe
mendoan yang gurih hingga pilihan jeroan seperti lidah dan otak sapi. Pagi itu,
saya bersama keluarga menikmati seporsi pecel dengan telur mata sapi dan
mendoan, ditemani teh hangat yang mengepul. Kejutan manis hadir saat tiba
waktunya membayar; untuk makan bertiga, total biaya yang dikeluarkan tidak
sampai seratus ribu rupiah. Sebuah harga yang sangat terjangkau untuk sebuah
warisan rasa yang telah dijaga selama lebih dari setengah abad.
Pengalaman di Pecel Pojok mengajarkan bahwa kuliner
legendaris tidak selalu tentang tempat yang megah. Ia adalah tentang
konsistensi keluarga, penghormatan terhadap bahan baku, dan bagaimana sebuah
pincuk daun pisang mampu menyatukan orang-orang dari berbagai kota dalam satu
meja yang sama. Bagi saya, semangkuk pecel di sudut Madiun ini bukan sekadar
sarapan, melainkan cara terbaik untuk mencicipi sejarah yang masih terus
dirawat hingga kini.
Reporter : R.Dt.



Posting Komentar untuk "Menjemput Pagi di Madiun: Rahasia Kelezatan Legendaris Pecel Pojok Sejak 1965"