![]() |
| Optimalisasi kemampuan teknik untuk tubuh penari (Foto ist.) |
Damariotimes.
Pengajaran seni tari di jenjang perguruan tinggi berdiri sebagai garda terdepan
dalam proses melahirkan seniman dan akademisi tari yang paripurna. Kurikulum
pada program studi ini dirancang dengan kesadaran penuh bahwa penguasaan seni
tari bukan sekadar soal pemahaman di kepala, melainkan sebuah totalitas
penguasaan keterampilan tubuh yang menuntut waktu dan dedikasi. Inilah mengapa
mata kuliah praktik tari atau praktikum selalu memiliki karakter yang khas,
ditandai dengan alokasi waktu pertemuannya yang jauh melampaui standar minimal
mata kuliah kognitif, sebuah kebijakan yang memuat maksud dan tujuan pedagogis
yang amat mendalam.
Dalam
tatanan sistem Satuan Kredit Semester (SKS), mata kuliah dengan bobot 3 SKS
pada umumnya hanya memerlukan durasi tatap muka sekitar 150 menit atau 2,5 jam
dalam seminggu. Namun, untuk mata kuliah praktikum seni tari, kita sering
menyaksikan penetapan durasi yang jauh lebih panjang, bahkan mencapai 4 jam per minggu untuk bobot SKS yang
sama. Fenomena ini bukanlah kebetulan, melainkan sebuah refleksi dari sejarah
dan kebutuhan lapangan. Kita dapat menengok ke era 1980-an di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), di mana mata kuliah
praktik tari dapat diterapkan hingga 8 jam
per minggu untuk 4 SKS. Perbedaan dramatis antara standar umum dan
kebutuhan riil ini secara eksplisit menunjukkan adanya pemahaman bahwa proses
penguasaan keterampilan gerak tidak dapat disamakan dengan proses penyerapan
pengetahuan kognitif semata.
Alokasi
waktu praktik tari yang panjang dan intensif—baik 4 jam maupun 8 jam per
minggu—pada dasarnya diarahkan untuk pembentukan dan penguasaan kemampuan yang
sifatnya psikomotorik dan afektif. Penguasaan seni tari
hakikatnya adalah penguasaan tubuh sebagai medium ekspresi tertinggi.
Keterampilan ini tidak mungkin dicapai hanya dengan pemahaman konseptual; ia
harus ditempa melalui pembiasaan atau
latihan berulang yang intensif.
Tujuan
utama durasi yang panjang ini sangatlah jelas. Pertama, ia berfungsi sebagai
proses pembiasaan yang intensif
demi membangun keterampilan yang termanifestasi dalam tubuh (embodied skill).
Sebagaimana halnya atlet profesional atau penari balet yang harus berlatih
secara konsisten selama 6 hingga 8 jam setiap hari, tubuh mahasiswa seni tari
juga memerlukan stimulasi dan repetisi yang memadai. Durasi 4 jam atau lebih
per minggu memungkinkan mahasiswa untuk benar-benar menginternalisasi pola gerak, mengubah rangkaian gerakan yang
awalnya asing menjadi gerakan yang otomatis dan terpatri. Melalui repetisi ini,
terbentuklah memori otot yang
kuat, memungkinkan penari mengeksekusi rangkaian gerak kompleks dengan lancar
tanpa perlu memikirkan setiap langkahnya secara kognitif.
Kedua,
durasi yang panjang sangat vital untuk pembentukan
kemampuan fisik yang terampil atau technical proficiency. Mata
kuliah praktikum didesain untuk menciptakan tubuh yang cekatan, tangguh, dan
terkontrol. Latihan yang intensif dan berkelanjutan berfungsi untuk
meningkatkan stamina dan ketahanan
penari, melatih tubuh agar mampu mempertahankan kualitas gerak dan energi
sepanjang durasi pertunjukan. Selain itu, aspek fisik seperti fleksibilitas,
kekuatan, dan keseimbangan sangat bergantung pada waktu latihan yang cukup
untuk perkembangan optimal sistem otot, sendi, dan koordinasi. Waktu yang
memadai ini juga memberikan ruang yang berharga bagi dosen untuk melakukan koreksi detail gerak secara individu,
sekaligus memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk segera mempraktikkan
koreksi tersebut di tempat, membiarkan tubuh mereka merasakan dan merekam
perubahannya.
Terakhir,
latihan yang panjang dan intensif juga berperan penting dalam penempaan aspek
afektif dan profesionalisme. Durasi praktik yang menantang mengajarkan disiplin diri yang tinggi, melatih
komitmen, fokus, dan ketahanan mental dalam menghadapi batas-batas fisik.
Proses ini turut memperdalam kesadaran
tubuh mahasiswa mengenai kemampuan dan keterbatasan diri, yang merupakan
modal esensial bagi seorang seniman. Dengan demikian, intensitas waktu praktik
ini membangun etos kerja keras
yang merupakan bekal tak ternilai dalam dunia seni pertunjukan profesional.
Sebagai
kesimpulan, durasi mata kuliah praktikum seni tari yang mencapai minimal 4 jam
per minggu di perguruan tinggi bukanlah sekadar pemenuhan formalitas akademik,
melainkan sebuah kebutuhan teknis
yang esensial. Ia adalah jembatan vital yang menghubungkan pemahaman teoritis
dengan kinerja profesional, memfasilitasi pembiasaan, penguasaan keterampilan
psikomotorik, dan pada akhirnya, menjadi kunci utama dalam proses pembentukan tubuh yang terampil, berdisiplin,
dan siap memanggungkan karya seni tari di kancah profesional.
Penulis: R.Dt.

Posting Komentar untuk "Optimalisasi Pembelajaran Praktik Seni Tari di Perguruan Tinggi: Menempa Tubuh, Melatih Keterampilan"