![]() |
| Ruang kosong dalam dinamika kebudayaan (Sumber IA) |
Damariotimes.
Indonesia. Negeri yang tak pernah sepi dari hiruk-pikuk demokrasi. Panggung
politiknya selalu ramai, dihiasi oleh janji-janji, persaingan partai, dan tentu
saja, upaya tanpa henti para elit untuk menancapkan citra di hati rakyat. Dalam
perburuan pengaruh ini, sebuah instrumen kuat dan rentan sering kali diangkat
ke permukaan: kebudayaan.
Kita
terbiasa mendengar seruan lantang yang terdengar begitu heroik dari mimbar
kampanye: "Mari Kita Lestarikan Budaya!" Jargon ini, yang
diucapkan dengan semangat nasionalisme yang membara, seharusnya menjadi
katalisator bagi konservasi otentik. Namun, seiring berjalannya waktu dan
semakin dalamnya praktik politik praktis, janji lestari itu perlahan menipis, menyisakan sebuah realitas ironis
yang kami sebut "Empty Space"
atau Ruang Kosong. Budaya telah
diubah wujudnya, dari substansi menjadi wadah hampa yang diisi dan dikosongkan
sesuai kebutuhan taktis elektoral.
Fenomena
yang paling jelas terlihat adalah bagaimana budaya diperlakukan sebagai seragam kampanye. Tiba-tiba, politisi
mulai mengenakan pakaian adat dari berbagai penjuru Nusantara melampaui batas
etnis dan wilayah asal mereka dengan dalih kebudayaan yang dijunjung tinggi. Pakaian yang sarat makna
filosofis dan sakral itu, yang seharusnya merepresentasikan identitas
komunitas, kini melompat dari satu posting media sosial ke posting
lainnya sebagai alat branding. Sayangnya, pemakaian ini seringkali tidak
diikuti oleh pemahaman mendalam tentang pantangan, makna, atau konteks
sejarahnya.
Inilah
yang menciptakan sebuah kekacauan semak
belukar yang dalam sebuah tumpang tindih identitas yang membingungkan.
Mereka, para individu terpilih yang menduduki posisi sebagai agensi dalam struktur masyarakat,
bergerak tanpa batasan budaya
yang jelas. Mereka merasa memiliki hak penuh untuk mengklaim dan menggunakan
segala simbol budaya demi meraih simpati. Pakaian adat Bali dipakai saat
berkampanye di Jawa, motif Dayak diangkat dalam pidato di Sumatera, seolah-olah
kebhinnekaan dapat diwujudkan hanya melalui fashion show politik.
Implikasi
jangka panjang dari praktik ini sungguh menyakitkan. Ketika budaya hanya
berfungsi sebagai gimmick visual dan filter retorika untuk
menutupi isu-isu substansial, maka makna
intrinsik budaya pun tereduksi. Ritual suci dipandang sebagai tontonan,
dan artefak bersejarah direduksi menjadi alat peraga. Komitmen untuk melestarikan
dalam bentuk kebijakan nyata pendanaan untuk seniman, perlindungan warisan, dan
pendidikan budaya yang otentik—kerap kali terabaikan, membuat janji
"lestari" itu benar-benar menjadi suara kosong yang bergema di ruang
hampa.
Pada
akhirnya, eksploitasi budaya dalam politik menciptakan sebuah ilusi keberpihakan. Masyarakat
disajikan tontonan kebudayaan yang meriah dan gemerlap, tetapi inti dari
ekosistem budaya—para penjaga tradisi, maestro, dan komunitas adat—tetap
berjuang dalam keheningan struktural. Budaya semestinya menjadi fondasi etika
politik dan jiwa yang mempersatukan bangsa, bukan sekadar busana musiman yang
dipakai untuk menipu mata pemilih. Ini adalah tantangan reflektif bagi kita
semua: untuk melihat melampaui baju adat yang dikenakan, dan menuntut sebuah
komitmen pelestarian yang benar-benar mengisi Ruang Kosong tersebut dengan aksi, bukan sekadar retorika.
Penulis: Ijul

Posting Komentar untuk "Retorika Lestari dan Ironi Ruang Kosong: Sebuah Refleksi Budaya dalam Panggung Politik Indonesia"