Analisis Gaya Hidup Urban-Kultural Mahasiswa Gen Z di Era Cafeisasi

 

fenomena Cafeisasi: pencarian identitas yang dipertanyakan (Foto ist.)


Damariotimes. Di jantung kota-kota besar yang menjadi pusat pendidikan tinggi, sebuah fenomena budaya baru telah mencolok: menjamurnya coffee shop atau cafe yang bertransformasi melampaui fungsi aslinya sebagai penyedia minuman. Cafe kini telah menjadi ruang ketiga (third place) yang krusial, sebuah lokasi netral yang berdiri di antara rumah dan kampus, dan menjadi pusat kehidupan sosial-akademik Mahasiswa Generasi Z (Gen Z). Interaksi dinamis antara mahasiswa yang haus akan eksistensi, estetika cafe yang memikat, dan denyut nadi perkotaan, secara perlahan membentuk sebuah gaya hidup urban-kultural yang kental, menciptakan resonansi dan pergeseran sosial yang mendalam.

Dalam kacamata sosiologi, fenomena ini dapat diurai sebagai sebuah panggung besar tempat identitas diri dipertunjukkan dan dinegosiasikan. Pierre Bourdieu, dengan konsepnya mengenai "Habitus" dan "Kapital Kultural", menawarkan pemahaman yang tajam. Bagi Gen Z, memilih cafe tertentu—yang dianggap paling estetik, memiliki vibe yang otentik, atau paling instagramable—bukanlah sekadar preferensi rasa, melainkan sebuah demonstrasi Kapital Kultural. Kegiatan nongkrong, ritual Work From Cafe (WFC), dan berbagi momen di linimasa media sosial berfungsi sebagai cara untuk menampilkan bahwa mereka adalah individu yang "up-to-date" dan memiliki akses terhadap gaya hidup urban yang dinilai bergengsi. Melalui ekspresi ini, mereka berhasil memperoleh "nilai tanda" atau "simbol prestise" di tengah lingkaran sosialnya.

Sejalan dengan hal tersebut, teori gaya hidup dan konsumsi dari Mike Featherstone menyoroti tentang cafe dan kopi telah terangkat statusnya menjadi komoditas budaya. Dalam ranah "Budaya Konsumen" ini, sebuah objek atau tempat dikonsumsi bukan lagi karena fungsi praktisnya, melainkan karena nilai simbolis yang melekat padanya. Gen Z dengan rela mengeluarkan uang untuk memuaskan hasrat tentang status dan eksistensi, seringkali terjerumus dalam perilaku konsumtif dan menunjukkan kecenderungan hedonis demi mempertahankan citra yang ideal.

Lebih lanjut, lensa Interaksionisme Simbolik melihat cafe sebagai panggung sosial di mana mahasiswa Gen Z secara aktif menampilkan dan menegosiasikan siapa diri mereka. Melalui pemilihan outfit (pakaian) yang sesuai tren, unggahan yang terkurasi di media sosial, dan bahkan pemilihan bahasa atau topik diskusi, cafe menjadi latar penting untuk ekspresi identitas. Mereka menggunakan ruang ini untuk mencari validasi sosial, didorong oleh kebutuhan untuk diakui sebagai bagian dari kelompok yang keren, produktif, atau sekadar gaul. Tekanan untuk tetap terhubung dan terlibat dalam tren, yang kini disebut sebagai fenomena FOMO (Fear of Missing Out), semakin memperkuat pentingnya eksistensi di cafe agar tidak dianggap ketinggalan zaman oleh komunitasnya.

Gaya hidup urban-kultural yang berpusat di cafe ini menghasilkan dampak yang kompleks terhadap perkembangan sosial Gen Z. Di satu sisi, tercipta dampak yang positif, menawarkan fleksibilitas dan memicu kreativitas. Cafe menyediakan ruang informal yang ideal untuk membangun jaringan sosial, berdiskusi bebas, dan bahkan melahirkan kolaborasi yang inovatif, yang sangat mencerminkan sifat Gen Z yang sinergis dan terbuka terhadap budaya global. Cafe modern, dengan desain dan musiknya, juga memperkaya Kapital Kultural Gen Z, melatih mereka untuk menjadi lebih adaptif terhadap arus modernitas.

Namun, di sisi lain, terdapat bayang-bayang dampak negatif yang mengintai. Dorongan kuat untuk mempertahankan citra yang ideal dan mengikuti tren tanpa henti dapat memicu perilaku konsumtif yang berlebihan dan gaya hidup hedonis yang berisiko membebani kondisi finansial mereka. Prioritas dapat bergeser dari kebutuhan mendasar dan akademik menuju pemenuhan hasrat simbolis semata. Selain itu, ketergantungan pada ruang ketiga ini untuk bersosialisasi sering kali dilakukan dengan fokus yang terbagi karena perhatian tertuju pada produksi konten media sosial, yang berpotensi mengurangi kualitas interaksi sosial langsung yang lebih mendalam. Ironisnya, kebiasaan nongkrong hingga larut malam, dibantu oleh asupan kafein yang berlebihan, telah terinternalisasi sebagai bagian dari gaya hidup urban modern yang keren, namun hal ini mengganggu pola tidur dan keseimbangan hidup, yang pada akhirnya berisiko memicu masalah kesehatan mental dan mengurangi efektivitas akademik mereka.

Pada akhirnya, fenomena cafeisasi di tengah mahasiswa Gen Z ini adalah manifestasi dari masyarakat kontemporer yang sarat akan simbol dan konsumsi. Cafe telah merebut peran sentral sebagai arena tempat identitas diri diproduksi dan dipertontonkan, didorong oleh hegemoni media sosial dan nilai-nilai yang diagungkan oleh perkotaan. Tantangan terbesar bagi Gen Z adalah menemukan keseimbangan: sejauh mana mereka mampu memanfaatkan cafe sebagai inkubator kreativitas dan jaringan tanpa harus jatuh ke dalam jebakan konsumerisme dan hedonisme yang mengancam keseimbangan sosial-emosional dan finansial mereka.

 

Penulis : R.dt.

 

1 komentar untuk "Analisis Gaya Hidup Urban-Kultural Mahasiswa Gen Z di Era Cafeisasi"

  1. Regita Cahya Nirmawati30 Oktober 2025 pukul 03.44

    Artikel tersebut tampaknya menggali bagaimana gaya hidup perkotaan tidak hanya soal konsumsi/material, tetapi juga membawa makna kultural identitas, simbol, perubahan sosial. Lemahnya mungkin terletak pada kurangnya data empiris konkret atau pembahasan mendalam soal dampak nyata.

    BalasHapus