Jejak Arang: Dari Sisa Pembakaran Menjadi Simbol Refleksi Budaya di Kota Batu

 

“Night player” karya Saihu (Foto ist.) 



Damariotimes. BATU – Pameran seni rupa bertajuk "Jejak Arang" berhasil menyulap medium yang sederhana—arang—menjadi bahasa visual yang kaya narasi. Berlangsung di Galeri Raos, Pondok Seni Batu, dari tanggal 20 hingga 30 September 2025, pameran ini menghadirkan 18 karya perupa yang menawarkan refleksi budaya dan memori kolektif yang sarat makna, seringkali melalui permainan unsur magis dan mistis.

Arang: Lebih dari Sekadar Medium Lukis

"Jejak Arang" menempatkan arang pada posisi sentral, tidak hanya sebagai alat teknis untuk melukis, melainkan juga sebagai simbol. Kehitaman pekat dari material sisa pembakaran ini bertransformasi menjadi elemen estetis sekaligus simbolis yang membangkitkan nostalgia dan perenungan batin. Pameran ini mengajak penonton untuk menelusuri jejak waktu dan ruang, di mana setiap karya menciptakan dialog kreatif antara masa lalu dan masa kini. Tema yang diangkat beragam, merefleksikan peristiwa politik, isu lingkungan, dan nilai-nilai sosial budaya yang membentuk proses kreatif seniman.

Galeri Raos sendiri, sebagai ruang yang sakral, menegaskan peran seni sebagai jembatan yang menghubungkan memori dan identitas lokal.

"Pameran ini adalah ruang untuk menegaskan bahwa seni tidak bergantung pada mahal atau murahnya material. Arang yang sederhana pun mampu menjadi bahasa ekspresi yang kuat, sarat makna, dan tak lekang oleh waktu."

Watoni menambahkan bahwa nilai sejati sebuah karya terletak pada gagasan dan dedikasi yang diwariskan kepada generasi berikutnya, bukan pada fisik bendanya. Melalui salah satu karyanya, "Art for Love", Watoni mengungkapkan bahwa cinta adalah energi kreatif tak terbatas yang diwujudkan dalam harmoni warna dan komposisi, sebuah perayaan jiwa yang abadi.

 

Kejutan Visual dan Apresiasi Publik

Keberanian artistik para perupa dalam mengangkat arang sebagai medium utama mendapat sambutan hangat dari publik. Dewi Sabrina Mediati, salah satu pengunjung asal Malang, mengaku terkesan setelah melihat langsung karya-karya yang sebelumnya ia temukan di media sosial.

"Awalnya saya tahu pameran ini dari TikTok dan Instagram. Saya tidak menyangka kalau karya-karya yang saya lihat di media sosial itu ternyata benar-benar digarap langsung dengan arang dan dipamerkan sebesar ini di dinding. Rasanya berbeda ketika melihat langsung, lebih nyata dan berkesan," ungkap Dewi.

Ia secara khusus menyoroti karya dari Sugiyono yang dianggapnya paling menarik. "Gambarnya padat dan detail, garis-garisnya sangat halus sampai saya sempat mengira ada bentuk pohon atau hewan di dalamnya. Setiap sudut karyanya mengandung kejutan visual yang membuat saya semakin betah memperhatikan. Rasanya seru sekali bisa menemukan detail yang tersembunyi,” pujinya.

 

Menegaskan Posisi Seni Rupa sebagai Dialog Kultural

Dari sudut pandang jurnalistik, "Jejak Arang" menampilkan keberanian perupa dalam mengolah arang menjadi bahasa visual yang kaya makna simbolis—merepresentasikan energi, kehidupan, dan memori kolektif. Kontras antara karya "Art for Love" milik Watoni yang menekankan harmoni dan karya Sugiyono yang menghadirkan detail garis kompleks menunjukkan bahwa medium sederhana mampu menghadirkan narasi yang mendalam.

Pameran ini dapat dibaca sebagai upaya kolektif para seniman dalam menghidupkan kembali kesadaran budaya melalui medium yang sering dianggap remeh. Ia berhasil menempatkan arang bukan hanya sebagai alat teknis, melainkan sebagai simbol reflektif yang menautkan masa lalu, masa kini, dan gagasan masa depan.

"Jejak Arang" menegaskan posisi seni rupa sebagai ruang dialog kultural yang relevan, transformatif, dan penuh daya renung bagi masyarakat kontemporer. Diharapkan pameran ini dapat menjadi agenda rutin yang mengangkat karya berbasis medium tradisional sekaligus mendapatkan apresiasi luas dari masyarakat Kota Batu dan pengunjung seni nasional, sekaligus mengingatkan pentingnya pelestarian budaya dan peran seni dalam menjaga memori kolektif dan identitas lokal di era modern.

Kontributor : Radot Sahattua Nainggolan

4 komentar untuk "Jejak Arang: Dari Sisa Pembakaran Menjadi Simbol Refleksi Budaya di Kota Batu"

  1. Alkindy Salsa Nabila29 September 2025 pukul 18.37

    Artikel ini mampu menggangkat hal sederhana seperti arang menjadi simbol refleksi budaya yang penuh makna.dan menunjukkan kepekaan penulis dalam melihat seni dan tradisi sebagai cermin kehidupan masyarakat.

    BalasHapus
  2. Dengan bahan sederhana seperti arang dapat menciptakan suatu kesan ekspresi yang kuat, sarat makna dan tak lekang oleh waktu. " Jejak Arang " itu sendiri memberikan warna baru bagi seniman yang menempatkan arang sebagai simbol reflektif.

    BalasHapus
  3. Artikel ini menarik karena mengangkat arang sebagai media seni yang punya makna lebih dari sekadar bahan lukis. Lewat pameran di Kota Batu, arang jadi simbol yang menggambarkan memori, budaya, dan isu sosial, menunjukkan bagaimana seni bisa menghubungkan masa lalu dengan kehidupan sekarang.

    BalasHapus
  4. dengan bahan yang sangat sederhana seperti arang pun dapat menghadirkan karya seni yang sarat makna, menyentuh emosi, sekaligus menjadi media refleksi budaya dan kehidupan

    BalasHapus