Jejak Seni Pertunjukan Wayang Topeng Jatiduwur: Jombang dalam Kisah Panji

 


wayang Topeng yang menyajikan lakon Panji (Foto ist.)


Damariotimes. Wayang topeng Jatiduwur merupakan permata kesenian tradisional yang bersemayam di Desa Jatiduwur, Kecamatan Kesamben, Jombang. Uniknya, kesenian ini adalah satu-satunya pertunjukan wayang topeng yang dimiliki oleh Kabupaten Jombang. Lebih dari sekadar tarian, Wayang Topeng Jatiduwur adalah sebuah teater total rakyat tradisional, memadukan unsur tari, drama, sastra, musik, dan rupa yang telah mengakar lama di desa tersebut.

Pertunjukan ini mengusung gaya dan bentuk yang khas, menampilkan cerita-cerita Panji dalam wujud drama tari tradisional. Seluruh alur cerita disampaikan melalui dialog verbal yang dituturkan oleh seorang dalang, di mana semua penari mengenakan topeng lengkap dengan perlengkapannya, sesuai dengan karakter tokoh yang mereka bawakan.

 

Ciri Khas dan Struktur Pertunjukan

Struktur pertunjukan Wayang Topeng Jatiduwur memiliki ciri khas yang kuat. Cerita dihidupkan melalui paduan dialog, tarian, dan nyanyian. Tak ketinggalan, unsur lawakan yang dibawakan oleh tokoh-tokoh punakawan menjadi penyegar suasana. Semua adegan diiringi dengan alunan musik gamelan Jawa berlaras Slendro. Tempat pertunjukannya pun unik, seringkali berbentuk arena yang digelar di halaman rumah atau di atas panggung sederhana.

Dua cerita yang paling sering diangkat dalam pertunjukan ini adalah Patah Kuda Narawangsa dan Wiruncana Murca. Kedua cerita tersebut memuat tujuh gerakan tari yang menjadi kekhasan Wayang Topeng Jatiduwur, sekaligus merepresentasikan alur cerita, lakon, dan karakter tokoh. Ketujuh gerakan tari tersebut meliputi: Alen-alen, Gantungan Bodolan, Lumaksono Miring, Lumaksono Putri, Lumaksono Buto Terong, Lumaksono Mincik, dan Perang.

 

Dari Ritual Sakral Menjadi Hiburan Rakyat

Menurut budayawan Jombang, Bapak Dian Sukarno, pada awalnya wayang topeng Jatiduwur memiliki fungsi yang sangat sakral. Kesenian ini digunakan sebagai bagian dari upacara ritual, ruwatan, atau untuk memenuhi nadzar. Sifatnya yang dikeramatkan membuat Wayang Topeng Jatiduwur dulunya hanya boleh dipentaskan untuk kalangan tertentu.

Namun, laju zaman tak terhindarkan. Pada tahun 1993, Ibu Sumarni, keturunan keenam pewaris dan pemilik topeng Jatiduwur, sempat berpikir untuk mengubur topeng tersebut karena ketiadaan penerus dan kurangnya peminat. Beruntung, pada tahun 1995, Bapak Supriyo, seorang pelestari dan penggiat, kembali mengangkat kesenian ini menjadi hiburan rakyat atau tanggapan (sebagaimana ia sampaikan dalam wawancara 25 Januari 2015). Beliau gigih mempertahankan keaslian bentuk pertunjukannya hingga kini.

 

Tantangan Eksistensi di Tengah Arus Modernisasi

Meskipun telah diupayakan pelestariannya, Wayang Topeng Jatiduwur kini menghadapi tantangan berat. Kesenian ini dapat dikatakan tidak berdaya lagi eksistensinya dan mulai dilupakan oleh beberapa kalangan masyarakat Jombang. Faktor utama kemunduran ini adalah derasnya arus modernisasi.

Ironisnya, saat ini kesenian ini diperparah dengan ketidaktahuan masyarakat Jombang sendiri akan seni lokalnya. Sebuah data kuesioner menunjukkan bahwa hampir 87,6% masyarakat Jombang (usia 10 hingga 45 tahun) tidak mengetahui eksistensi dan keberadaan Wayang Topeng Jatiduwur sebagai warisan budaya mereka.

Upaya pelestarian yang dilakukan oleh Bapak Supriyo dan pegiat lainnya adalah sebuah perjuangan untuk menjaga agar kisah Panji yang dibawakan oleh topeng-topeng berkarakter ini tidak hanya menjadi kenangan, tetapi terus bernapas dan dikenal sebagai jati diri budaya Jombang.

 

Penulis: R.Dt.

 

7 komentar untuk "Jejak Seni Pertunjukan Wayang Topeng Jatiduwur: Jombang dalam Kisah Panji"

  1. Seni pertunjukan tradisional Wayang Topeng Jatiduwur dari Jombang memiliki cerita Panji dan dikemas dalam bentuk drama tari yang menggabungkan elemen tari, drama, musik, dan seni rupa. Sejak awal abad ke-19, cerita topeng ini telah diwariskan dari generasi ke generasi. Itu terkenal dengan topengnya yang unik dengan ornamen bunga matahari yang melambangkan Kerajaan Majapahit. Kesenian ini tidak hanya digunakan sebagai hiburan, tetapi juga digunakan sebagai ritual dan pengikat nilai budaya masyarakat Jatiduwur. Sekarang pertunjukan ini berkurang dan terancam terlupakan, tetapi seniman setempat, terutama keturunan Ki Purwo sang pendiri, berusaha melestarikan warisan budaya ini sebagai bagian dari identitas dan pendidikan generasi muda. Mereka berusaha memastikan bahwa nilai-nilai dan cerita Panji tetap hidup dan dikenal luas. Wayang Topeng Jatiduwur menunjukkan sejarah panjang seni tradisional Jawa Timur dan kekayaan budaya Jombang.

    BalasHapus
  2. Setelah saya membaca Artikel ini menyoroti pentingnya pelestarian Wayang Topeng Jatiduwur sebagai warisan budaya yang sarat nilai sejarah dan identitas lokal. Di tengah arus modernisasi, seni ini menghadapi tantangan besar, namun upaya masyarakat lokal menunjukkan bahwa tradisi bisa tetap hidup jika dijaga dengan kesadaran, kebanggaan, dan keterlibatan generasi muda.

    BalasHapus
  3. Alkindy Salsa Nabila29 September 2025 pukul 18.31

    Artikel ini menggambarkan keindahan seni sekaligus nilai budaya yang terkandung didalamnya.dan menegaskan pentingnya melestarikan wayang topeng sebagai warisan tradisi dan identitas bangsa

    BalasHapus
  4. setelah saya membaca artikel ini saya jadi tau bagaimana jejak seni pertunjukan seni topeng jatiduwur

    BalasHapus
  5. Artikel ini membuka mata bahwa Wayang Topeng bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarat makna spiritual dan nilai kehidupan. Festival budaya, pertunjukan rutin, serta dukungan dana bisa menjadi langkah konkret agar Wayang Topeng tetap hidup.

    BalasHapus
  6. perjuangan para pelestari menjadi bukti betapa pentingnya kesadaran masyarakat untuk menjaga warisan seni agar tidak hilang ditelan modernisasi

    BalasHapus
  7. artikel ini membahas tentang Wayang Topeng Jatiduwur adalah kesenian tradisional Jombang berbasis cerita Panji yang dulu bersifat sakral, kini menjadi hiburan rakyat, namun terancam punah karena minimnya penerus dan kurang dikenal masyarakat.

    BalasHapus