![]() |
“Badut
Terakhir” karya Teater Pelangi (Foto ist.) |
Damariotimes. MALANG – Teater Pelangi, organisasi intra kampus Universitas Negeri Malang
(UM), kembali menghidupkan panggung dengan pementasan yang mendalam bertajuk “Badut Terakhir”. Pertunjukan yang
digelar pada Sabtu malam, 28 September 2025, di Gedung Sasana Budaya A13 UM ini
bukan sekadar tontonan, melainkan ajakan merenungi ironi kehidupan: ketika tawa
berubah menjadi luka.
Teater Pelangi, yang berdiri sejak 1994, konsisten
memadukan hiburan dengan kritik sosial. Kali ini, mereka menyuguhkan kisah
tragis Dodo, seorang badut
sirkus yang gagal menghibur dan berakhir bunuh diri. Lakon yang disutradarai oleh Davina Aulia Yerlita dan digarap oleh Destana dan Allein ini
menghadirkan pesan mendalam tentang empati,
penghinaan, dan rapuhnya kemanusiaan.
Kisah bermula dari Dodo, yang hidupnya bergulir dari
tawa ke penghinaan. Ketidakmampuannya membuat orang lain bahagia justru menjadi
awal kejatuhan. Setelah Dodo mengakhiri hidupnya, kisah berlanjut ketika tiga
remaja tanpa etika datang ke sirkus peninggalan sang badut. Permainan mereka
dengan peninggalan Dodo menyeret mereka masuk ke dunia arwahnya. Inti dari
pertunjukan ini adalah mengajak penonton merenungi ironi: tawa yang semestinya
menjadi obat justru berubah menjadi senjata yang mematikan ketika tanpa empati.
“Badut
Terakhir” berhasil menciptakan atmosfer mencekam sekaligus mengharukan melalui
sinergi tim produksi lintas prodi. Secara artistik, tata artistik yang digarap
oleh Bejo, Zaky, Revangga, dan Darto menghadirkan nuansa sirkus terbengkalai yang kelam. Tata
cahaya oleh Arek-Arek Pelangi memperkuat transisi emosi dari ceria, muram,
hingga mistis. Rias dan kostum oleh Marsha, Kamila, dan Icha menciptakan
kontras wajah badut yang penuh warna namun menyembunyikan kepedihan.
Musik menjadi elemen vital yang
menghidupkan emosi setiap adegan. Tim musik yang digawangi Cahaya (violin), Eka
(keyboard), Sena (vokal/pengisi suara), dan Diva (gitar) mampu menciptakan
dimensi megah. Cahaya dan Eka, yang memiliki latar akademik dari Prodi
Pendidikan Seni Tari dan Musik (PSTM), mengungkap tantangan menciptakan musik
teater yang abstrak dan responsif terhadap situasi panggung,
berbeda dengan notasi baku orkestra.
Sena, mahasiswa Ilmu Perpustakaan semester 3, juga
menyoroti tantangan terbesar adalah komunikasi
dan jadwal latihan karena anggota tim berasal dari prodi yang berbeda.
Namun, hal ini justru menegaskan bahwa teater adalah kerja kolektif lintas latar yang mengusung motto "Banyak
warna, satu tujuan".
Pesan moral dari lakon ini terasa kuat bagi penonton. Yuni, mahasiswa baru PBSID, mengaku
tersentuh oleh adegan Dodo diejek hingga bunuh diri. "Itu seperti realitas
di sekitar kita; ejekan kecil bisa berdampak besar. Pertunjukan ini
mengingatkan kita untuk lebih
menghargai orang lain,” ungkapnya.
“Badut Terakhir” bukan sekadar lakon kampus, melainkan
refleksi sosial yang relevan
hari ini. Dalam era di mana ejekan dan komentar pedas mudah dilontarkan, kisah
Dodo mengingatkan bahwa tidak semua orang mampu menanggung luka yang ditutupi
senyuman.
Pertunjukan ini menegaskan fungsi teater sebagai
medium kritik sosial:
menyampaikan pesan kemanusiaan lewat estetika panggung. Meski ada ruang
perbaikan dalam pengolahan dialog dan tempo, kekuatan musik, akting, dan
artistik membuat lakon ini layak diapresiasi. Teater Pelangi melalui karyanya
ini telah memantulkan kenyataan getir: tawa
tanpa empati bisa membunuh, dan penghormatan adalah bentuk kemanusiaan yang
paling abadi.
Kontributor
: Debora Gabriela Aristanti Timbalo
Artikel ini mampu menggambarkan bahwa dibalik keceriaan topeng badut tersimpan tragedi kehidupan manusia,sehingga seni teater bukan hanya hiburan ,tetapi juga media kritik sosial dan refleksi kemanusiaan.
BalasHapusArtikel ini mengungkapkan bahwa di balik topeng badut yang penuh tawa, terdapat tragedi kemanusiaan yang dalam. Teater Pelangi UM berhasil menyajikan kisah Dodo, seorang badut sirkus yang berakhir tragis akibat ejekan dan kurangnya empati. Pertunjukan ini menegaskan bahwa seni teater bukan hanya hiburan, tetapi juga medium refleksi sosial dan kritik terhadap perilaku manusia.
BalasHapusArtikel ini berhasil menyampaikan bahwa di balik wajah badut yang seharusnya lucu, bisa tersimpan luka yang dalam. Ia menekankan bahwa seni teater dapat menjadi medium kuat untuk menyuarakan kritik sosial dan mengundang empati. Meski ada ruang untuk pendalaman kritis atau data pendukung, karya ini patut diapresiasi sebagai usaha menyatukan estetika, pesan, dan kesadaran manusiawi.
BalasHapus