![]() |
tari tradisi dipelajari di sekolah (Foto ist.) |
Damariotimes. Pendidikan seni,
khususnya tari tradisi, di Indonesia seringkali dihadapkan pada dilema pelik
yang mencerminkan ketegangan antara idealisme pelestarian budaya dan realitas
zaman. Kurikulum yang ada, dalam praktiknya, tampak berfokus pada peran penguat
dan transformatif terhadap materi tari tradisi, seolah-olah mengemban sebuah
misi suci untuk menjaga api warisan budaya agar tetap menyala. Namun, di balik
niat mulia ini, tersimpan sebuah ironi yang mendalam: tradisi penyangga atau
ekosistem budaya yang seharusnya menjadi fondasi utama bagi kelangsungan tari
tradisi tersebut, kini telah banyak yang tidak lagi berfungsi secara memadai,
atau bahkan telah lenyap ditelan arus modernisasi. Ketika sang penyangga
tradisi telah rapuh, bahkan runtuh, maka sekolah, dengan segala
keterbatasannya, secara tidak langsung menjadi beban dalam upaya pelestarian
yang serba timpang.
Ketika Fondasi Tradisi Tergerus
Tari tradisi, secara hakikatnya,
lahir dari rahim masyarakatnya sendiri. Ia adalah sebuah ekspresi kolektif yang
terjalin erat dengan ritual, upacara adat, nilai-nilai komunal, dan denyut
kehidupan sehari-hari. Tari tradisi hidup dan berkembang dalam sebuah ekosistem
budaya yang kompleks, melibatkan para tetua adat yang menjadi penjaga kebijaksanaan,
sanggar-sanggar lokal sebagai pusat pembelajaran, pegiat seni di tingkat desa
yang menjaga kontinuitas, dan partisipasi aktif masyarakat dalam
praktik-praktik kultural. Inilah yang kita sebut sebagai "tradisi
penyangga"—sebuah jaringan hidup yang tidak hanya memberikan makna, tetapi
juga konteks, dan ruang bagi tari tradisi untuk terus beregenerasi secara
organik, dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Namun, realitas kontemporer
menunjukkan erosi yang signifikan pada fondasi esensial ini. Gelombang
urbanisasi yang menarik penduduk ke kota-kota besar, dampak globalisasi yang
menyeragamkan selera, perubahan gaya hidup yang semakin individualistis, dan
pergeseran nilai-nilai yang mengedepankan kepraktisan telah melemahkan banyak
tradisi penyangga. Generasi muda saat ini mungkin merasa lebih akrab dengan
tarian modern dari luar negeri, menganggap kesenian tradisional sebagai sesuatu
yang kuno atau tidak relevan, atau bahkan mengalami dislokasi geografis dan
sosial yang menjauhkan mereka dari asal mula tari tradisi tersebut.
Sanggar-sanggar tradisional kini berjuang menemukan penerus, penutur asli
cerita atau simbolisme tari kian menipis karena regenerasi yang lambat, dan
ritual-ritual adat yang menjadi konteks utama tari perlahan ditinggalkan. Dalam
kondisi yang memprihatinkan seperti ini, sekolah, yang seharusnya menjadi salah
satu dari sekian banyak simpul dalam jaring pelestarian, kini seringkali
menjadi satu-satunya simpul yang tersisa, namun terbebani secara berlebihan.
Sekolah sebagai Beban: Dilema
Kurikulum Pendidikan Seni
Kurikulum pendidikan seni di
sekolah, dengan niat luhurnya untuk menjadi "penguat dan
transformatif" terhadap tari tradisi, kini menghadapi tantangan yang
sangat besar. Ketika fondasi tradisi di luar lingkungan sekolah sudah rapuh,
sekolah dipaksa untuk mengisi kekosongan yang amat besar—sebuah lubang budaya
yang menganga luas. Guru seni, yang mungkin juga kekurangan bekal mendalam
tentang konteks tradisi, dituntut untuk mengajarkan sebuah bentuk tari yang
seolah telah kehilangan akar dan makna kontekstualnya. Materi tari tradisi
seringkali diajarkan secara terpisah dari filosofi mendalam, sejarah panjang,
dan fungsi aslinya dalam masyarakat. Siswa, dalam situasi ini, akhirnya hanya
menghafal serangkaian gerakan tanpa benar-benar memahami narasi, simbolisme,
atau nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Mereka menjadi peniru
gerak, bukan pewaris makna.
Akibat yang paling mengkhawatirkan
adalah kurikulum pendidikan seni yang seharusnya menumbuhkan apresiasi dan
kecintaan yang mendalam pada tari tradisi, justru bisa berubah menjadi beban
yang memberatkan. Bagi siswa, pembelajaran tari tradisi bisa terasa asing,
tidak relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari, dan bahkan membosankan karena
terputus dari esensi kehidupan budaya yang membuatnya berarti. Bagi guru, beban
kurikulum ini menambah tekanan di tengah keterbatasan sarana dan prasarana,
alokasi waktu yang minim, serta tuntutan untuk memiliki kompetensi yang
mendalam dalam berbagai cabang seni. Sekolah, yang seharusnya menjadi ruang
eksplorasi, kreativitas, dan penemuan diri, berpotensi menjadi arena di mana
tari tradisi hanya dipraktikkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi, bukan
sebagai ekspresi hidup yang kaya dan dinamis.
Kurikulum Pendidikan Seni yang
Transformatif
Untuk mengatasi beban yang kian
menumpuk ini dan menjadikan pendidikan seni yang bersifat penguat serta
transformatif secara holistik, diperlukan sebuah analisis ulang mendalam
terhadap praktik kurikulum, baik sebagai kegiatan intra-kurikuler maupun
ekstrakurikuler di sekolah saat ini. Paradigma harus bergeser dari sekadar
"mengajar tari" menjadi "menghidupkan tari".
Dalam kurikulum intra-sekolah,
pendekatan harus beralih dari hafalan gerakan menuju pemahaman konteks dan
fungsi yang lebih mendalam. Pembelajaran tari tradisi tidak bisa lagi berdiri
sendiri; ia harus dirancang secara interdisipliner. Ini berarti
mengaitkan tari dengan pelajaran sejarah untuk memahami evolusi dan peristiwa
di baliknya, dengan geografi untuk mengidentifikasi asal-usul komunalnya,
dengan sosiologi untuk menganalisis fungsi sosialnya, bahkan dengan bahasa
untuk mengurai narasi atau lirik yang menyertainya. Sebagai contoh, mengajarkan
tari tradisional tertentu dapat diawali dengan menceritakan sejarah komunitas
asalnya, menjelaskan fungsi ritualnya dalam upacara adat, serta menguraikan
makna setiap elemen pakaian adat yang digunakan. Pendekatan ini akan memberikan
siswa pemahaman yang jauh lebih kaya dan terintegrasi tentang konteks budaya di
mana tari itu hidup. Lebih lanjut, fokus harus bergeser pada prinsip dan
filosofi di balik tari tradisi. Daripada hanya mengajarkan serangkaian
gerakan yang diulang, kurikulum dapat memperkenalkan prinsip-prinsip dasar
estetika, filosofi hidup, dan simbolisme yang tersembunyi di balik setiap gerak
tari. Pemahaman "mengapa" sebuah gerakan dilakukan, bukan hanya
"bagaimana" melakukannya, akan menumbuhkan apresiasi yang lebih dalam
dan berdaya tahan ketimbang sekadar hafalan mekanis. Jika tradisi penyangga
masih ada walau dalam skala kecil, sekolah dapat berperan sebagai jembatan
yang vital. Mengundang penari tradisi, sesepuh adat, atau bahkan pembuat kostum
dari komunitas lokal untuk berbagi cerita dan pengalaman langsung dapat
menghidupkan kembali konteks yang hilang, menjadikan pembelajaran lebih otentik
dan inspiratif bagi siswa.
Sementara itu, kegiatan
ekstrakurikuler dapat dioptimalkan sebagai ruang eksplorasi dan regenerasi
aktif. Program ekstrakurikuler tari tradisi dapat difokuskan pada proyek-proyek
berbasis komunitas. Ini bisa berarti bekerja sama dengan sanggar lokal
untuk pementasan bersama, atau bahkan mendorong siswa untuk meneliti dan
merekonstruksi tarian-tarian yang hampir punah dari dokumentasi arsip.
Pendekatan ini memberikan siswa pengalaman nyata dalam "menghidupkan"
kembali tradisi dan merasa menjadi bagian dari proses pelestarian. Untuk
mendorong sifat "transformatif", ekstrakurikuler dapat mendorong
siswa untuk menciptakan karya tari baru yang berakar pada tradisi. Ini
bukan berarti mengubah tradisi secara radikal, tetapi mencari cara-cara
inovatif untuk mengekspresikan nilai-nilai, estetika, atau elemen gerak tari
tradisi dalam konteks kontemporer, menjadikan tradisi relevan bagi generasi
sekarang. Akhirnya, mengadakan festival dan pertukaran budaya antar
sekolah atau dengan komunitas lain dapat menjadi wadah penting untuk memamerkan
karya, berbagi pengetahuan, dan menumbuhkan rasa bangga serta apresiasi yang
lebih luas terhadap kekayaan tari tradisi. Ini juga menciptakan audiens dan
tujuan performa yang melampaui sekadar penilaian kelas, memberikan motivasi
intrinsik bagi para siswa.
Ketika tradisi penyangga di luar
sekolah melemah, beban pelestarian tari tradisi memang akan terasa berat di
pundak institusi pendidikan. Namun, dengan analisis kurikulum yang lebih
mendalam dan implementasi praktik yang lebih strategis, sekolah dapat beralih
dari sekadar menjadi "beban" menjadi pusat regenerasi budaya yang
vital. Transformasi ini memerlukan perubahan paradigma: dari sekadar
mengajarkan "apa" tariannya, menjadi memahami "mengapa"
tari itu ada dan "bagaimana" ia dapat terus hidup dan bermakna dalam
kehidupan modern. Dengan demikian, pendidikan seni dapat menjadi jembatan yang
kokoh antara warisan masa lalu dan ekspresi masa kini, memastikan bahwa tari
tradisi tidak hanya bertahan, tetapi juga terus relevan dan menginspirasi
generasi yang akan datang. Ini bukan hanya tentang melestarikan gerak, tetapi
melestarikan ruh dan cerita yang terkandung di dalamnya, sehingga budaya dapat
terus bernapas di tengah laju zaman.
Tim Damariotimes.
Posting Komentar untuk "Tari Tradisi di Titik Nadir Kurikulum: Ketika Sekolah Menjadi Penjaga Terakhir yang Terbebani Konservasi"