![]() |
Bayangan pink di perpustakaan kampus (Sumber AI) |
Hildan, seorang mahasiswa matematika
di salah satu perguruan tinggi swasta terkemuka di ibu kota, adalah
personifikasi dari akal dan logika. Dengan ayah seorang ahli bedah dan ibu
seorang akuntan, sejak kecil ia dididik untuk percaya hanya pada hal-hal yang
dapat diukur, dihitung, dan dibuktikan secara ilmiah. Mitos dan takhayul adalah
anomali yang tak punya tempat dalam kamusnya. Hidupnya datar, tanpa gejolak
berarti; materi tercukupi, jauh dari kesulitan, dan tak punya ikatan dengan
“dunia desa” yang konon penuh cerita mistis.
Di kampus, obrolan tentang penunggu,
hantu, atau makhluk astral kerap mewarnai diskusi mahasiswa. Hildan selalu
menjadi yang terdepan dalam menyangkalnya, menertawakan cerita-cerita itu
sebagai produk imajinasi semata. Baginya, semua itu hanyalah manifestasi dari
stres dan kurang tidur. Ia sendiri, dengan hobinya bermain bola, menonton
pertandingan, dan larut dalam gim sepak bola, tak pernah merasakan hal aneh,
setidaknya begitulah yang ia pikirkan.
Namun, beberapa minggu belakangan,
ada sesuatu yang mulai meresahkan. Ini bermula saat Hildan seringkali
menghabiskan malam di perpustakaan kampus, tenggelam dalam rumus-rumus abstrak
dan deret tak hingga. Di tengah keheningan, ia sering merasakan kehadiran.
Bukan, bukan rasa takut, hanya seperti ada seseorang di dekatnya. Awalnya ia
mengabaikan, menganggap itu hanya kelelahan.
Tapi, keberadaan itu semakin jelas.
Seringkali, saat ia tengah memelototi buku tebal atau layar laptop, samar-samar
ia melihatnya: bayangan seorang wanita muda yang cantik, mengenakan gaun pink
lembut. Bayangan itu seolah duduk di meja seberang, atau berdiri di dekat
rak buku, dengan pandangan yang entah mengapa terasa menenangkan. Yang paling
aneh, bayangan itu seolah menunggunya.
Suatu malam, Hildan sedang bergelut
dengan sebuah soal kalkulus lanjut yang rumit. Jam sudah menunjukkan pukul dua
dini hari. Kantuk mulai menyerang, namun otaknya enggan menyerah. Tiba-tiba,
sebuah suara, lembut dan sejuk seperti embun pagi, terdengar di telinganya.
"Hildan, sudah larut.
Istirahatlah."
Suara itu begitu nyata, begitu
dekat. Jantung Hildan berdesir. Ini bukan halusinasi pendengaran akibat kurang
tidur. Ia mendongak cepat, mencari sumber suara. Di sudut matanya, ia melihat
bayangan wanita bergaun pink itu berdiri tak jauh dari mejanya, menatapnya
dengan senyum tipis. Namun, ketika ia benar-benar memfokuskan pandangannya,
bayangan itu menghilang, seperti asap yang ditiup angin.
Hildan menghela napas.
Rasionalitasnya berteriak untuk mencari penjelasan. Mungkin ia memang terlalu
lelah. Mungkin ia butuh liburan. Tapi, suara itu... Suara itu terlalu jernih
untuk sekadar imajinasi. Ia mencoba mengusir pikiran aneh, kembali fokus pada
soal. Namun, konsentrasinya buyar.
Kejadian serupa terus berulang.
Bayangan itu akan muncul ketika Hildan larut dalam belajarnya, dan selalu
menghilang ketika ia mencoba menatapnya langsung. Suara peringatan untuk
istirahat juga semakin sering terdengar, kadang disusul bisikan-bisikan lain
yang tak bisa ia tangkap maknanya.
Hildan mulai merasa terganggu. Ini
bukan lagi sekadar kelelahan. Bagaimana bisa sesuatu yang "tidak ada"
terasa begitu nyata? Konflik batinnya memuncak. Seluruh fondasi pemikiran
rasionalnya mulai retak. Ia mulai mencari jawaban, bukan dalam rumus
matematika, melainkan dalam hal-hal yang selama ini ia tolak mentah-mentah.
Suatu siang, saat ia sedang makan di
kantin, Hildan tak sengaja mendengar percakapan beberapa seniornya.
"Gila, itu si Rina. Udah dua
tahun dia meninggal, tapi katanya masih sering nongol di perpustakaan."
"Iya, terutama kalau ada anak
yang belajar sampai larut malam. Katanya dia juga mahasiswa matematika, rajin
banget sampai sakit-sakitan."
"Dan katanya, dia suka pakai
gaun pink favoritnya..."
Sendok di tangan Hildan nyaris
terjatuh. Rina? Mahasiswa matematika? Gaun pink? Sebuah kepingan teka-teki mulai
terhubung, namun akal sehatnya masih berontak. Apakah mungkin? Apakah hal-hal
yang selama ini ia anggap takhayul, takhayul itu... nyata?
Malamnya, Hildan kembali ke
perpustakaan, bukan untuk belajar, tapi untuk mencari. Ia mencari nama Rina di
arsip mahasiswa. Dan ia menemukannya. Rina Ayu Lestari, mahasiswa Matematika,
meninggal dua tahun lalu karena kelelahan kronis. Ada foto kecil bersamanya,
dan di foto itu, Rina mengenakan gaun pink yang sama.
Hildan terpaku. Selama ini, ia
selalu percaya bahwa hanya ada hal-hal yang dapat disentuh, dilihat, dan
dibuktikan. Namun, bayangan wanita bergaun pink itu, suara lembut yang
mengingatkannya, kini memiliki nama dan sebuah kisah tragis. Apakah ini
peringatan? Atau sebuah ikatan yang tak terduga antara dua jiwa yang terpaut
oleh deret angka dan larutnya malam?
Misteri itu kini bukan lagi hanya tentang bayangan. Ini tentang Hildan sendiri, tentang batas antara yang nyata dan yang tak kasat mata, tentang sebuah dunia yang selama ini ia sangkal, kini perlahan-lahan membuka diri di hadapannya.
Tim Damariotimes.
Posting Komentar untuk "Bayangan Pink di Perpustakan Kampus"