Bayangan di Ujung Randu: Kisah Nenek Penjaga Kuburan

 


nenek penunggu pohon randu (sumber AI)


Di batas desa Cindera, tempat jalan setapak terakhir berbisik sebelum belukar hutan menelan semuanya, berdirilah sebuah gubuk reyot. Gubuk itu, seolah-olah ditelan waktu dan terlupakan oleh ingatan kolektif, adalah kediaman Nenek Sari. Namanya sendiri jarang terucap, lebih sering terganti dengan bisikan-bisikan gugup: "Nenek Randu," "Penjaga Kuburan," atau yang paling menakutkan, "Perempuan Pohon Randu."

Tidak ada yang tahu persis kapan Nenek Sari pertama kali muncul di sana, di ambang antara kehidupan dan kematian, antara dunia manusia dan dunia lain yang bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Cerita-cerita yang beredar dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, semuanya samar dan diselimuti ketakutan. Ada yang mengatakan dia sudah ada bahkan sebelum kakek-nenek mereka lahir. Ada pula yang berbisik bahwa dia adalah korban kutukan, atau bahkan, makhluk itu sendiri.

Gubuk Nenek Sari hanya berjarak sepelemparan batu dari pemakaman desa yang sunyi. Di sana, nisan-nisan tua berlumut menjadi saksi bisu waktu yang terus berjalan, sementara bayangan pohon randu raksasa menjulang tinggi, menaungi sebagian besar area pekuburan. Pohon randu itu, dengan akar-akarnya yang mencengkeram tanah seperti jari-jari raksasa, adalah pusat dari segala ketakutan dan misteri yang menyelimuti Nenek Sari.

Penduduk Cindera tidak pernah benar-benar mendekati gubuk itu, kecuali jika ada keperluan mendesak yang berkaitan dengan pemakaman. Bahkan saat itu pun, langkah mereka cepat, mata mereka menunduk, dan napas mereka tertahan. Mereka selalu merasa seolah-olah ada sepasang mata tak terlihat yang mengawasi dari balik tirai jendela yang usang.

Nenek Sari sendiri adalah sosok yang enigma. Rambutnya putih seluruhnya, tergerai panjang hingga ke pinggang. Wajahnya dipenuhi kerutan yang dalam, peta kehidupan yang penuh teka-teki, dan matanya... matanya adalah hal yang paling sering diceritakan. Hitam, dalam, dan seolah-olah menembus jiwa, namun kadang-kadang, terbersit kesedihan yang tak terlukiskan di sana. Dia jarang terlihat di desa, hanya sesekali muncul untuk membeli sedikit bahan makanan dari warung ujung kampung, dan setiap kemunculannya selalu disambut dengan keheningan mendadak. Anak-anak yang sedang bermain akan segera berlari masuk ke dalam rumah, dan para ibu akan menarik anak-anak mereka mendekat, seolah melindungi mereka dari sesuatu yang tak kasat mata.

Kisah tentang hantu penunggu pohon randu sudah mengakar kuat dalam kepercayaan penduduk Cindera. Konon, arwah penasaran bersemayam di sana, kadang menampakkan diri dalam wujud wanita berambut panjang, kadang pula hanya berupa suara rintihan pelan di tengah malam. Dan secara tak terhindarkan, setiap cerita tentang hantu pohon randu akan berakhir dengan tautan ke Nenek Sari. "Dia berhubungan dengan mereka," bisik seorang kakek tua suatu malam di kedai kopi, "Dia yang menjaganya." Atau, "Dia adalah salah satu dari mereka," ujar seorang ibu sambil menghela napas panjang.

Hubungan misterius Nenek Sari dengan pohon randu itu semakin diperkuat oleh kebiasaannya. Di malam hari, terutama saat bulan purnama, beberapa penduduk desa yang berani mengintip dari kejauhan pernah melihat siluet Nenek Sari berdiri di bawah pohon randu, seolah-olah berbicara dengan angin, atau mungkin, dengan entitas lain yang tak terlihat. Tidak ada suara yang terdengar, hanya gerak-gerik tubuh yang samar, menciptakan bayangan-bayangan aneh di antara cahaya bulan yang temaram.

Suatu kali, seorang pemuda bernama Rio, yang baru kembali dari kota dengan gagasan modernitas di kepalanya, mencoba mendekati Nenek Sari. Dia tak percaya pada takhayul kuno. Baginya, Nenek Sari hanyalah seorang wanita tua yang kesepian. Rio mencoba menyapa, menawarkan bantuan untuk memperbaiki atap gubuk yang bocor. Nenek Sari menoleh, tatapan matanya yang dalam mengunci pandangan Rio. Tidak ada kemarahan, tidak ada permusuhan, hanya sebuah tatapan yang terlalu dalam, terlalu tahu. Dan kemudian, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Nenek Sari kembali masuk ke dalam gubuknya, meninggalkan Rio berdiri terpaku, dengan rasa dingin yang menjalari punggungnya. Rio tidak pernah lagi mencoba mendekati Nenek Sari.

Kehidupan Nenek Sari adalah sebuah lingkaran misteri. Tidak ada sanak keluarga yang pernah datang mengunjunginya. Dia hidup terasing, sebuah anomali di tengah masyarakat yang erat. Orang-orang bertanya-tanya bagaimana dia bertahan hidup di usia senjanya tanpa bantuan siapa pun. Beberapa berteori bahwa dia memiliki harta tersembunyi, peninggalan dari masa lalu yang tak diketahui. Yang lain berbisik bahwa dia diberi persembahan oleh entitas tak kasat mata, sebagai imbalan atas pengabdiannya.

Meskipun ketakutan melingkupi namanya, tidak pernah ada laporan tentang Nenek Sari yang melakukan tindakan jahat. Dia tidak pernah mencuri, tidak pernah mengganggu siapa pun. Keberadaannya hanyalah sebuah bayangan, sebuah tanda tanya besar di tengah desa yang damai. Justru, ketidakberdayaan untuk memahami Nenek Sari inilah yang melahirkan ketakutan. Manusia selalu takut pada apa yang tidak bisa mereka pahami, pada apa yang berada di luar lingkup logika mereka.

Beberapa tahun terakhir, desas-desus baru mulai beredar. Beberapa penduduk desa mengklaim melihat Nenek Sari tidak menua sedikit pun. Wajahnya yang berkerut dan rambutnya yang putih sudah seperti itu selama puluhan tahun. Konon, dia abadi, penjaga gerbang antara dunia ini dan dunia arwah, terikat pada pohon randu dan kuburan yang sunyi.

Hingga hari ini, gubuk Nenek Sari tetap berdiri tegak di tepi hutan, dekat kuburan, di bawah bayangan pohon randu raksasa. Sebuah misteri yang tak terpecahkan, sebuah kisah yang terus diceritakan dengan nada berbisik, dari bibir ke bibir, di bawah langit Cindera yang diselimuti kabut malam. Nenek Sari tetap menjadi "Perempuan Pohon Randu," sebuah entitas yang hidup di antara dua dunia, penjaga rahasia yang tak terkatakan, dan selamanya, bagian dari bayangan di ujung randu. Apakah dia seorang wanita tua yang kesepian dan disalahpahami, ataukah dia adalah sesuatu yang lebih... sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh akal sehat? Pertanyaan itu tetap menggantung di udara, sama seperti kabut yang sering menyelimuti pohon randu di pagi hari.

Tim Damariotimes. 

 

Posting Komentar untuk "Bayangan di Ujung Randu: Kisah Nenek Penjaga Kuburan"