Pergelaran "Roda Zaman": Harmoni Tradisi dan Modernitas dari Mahasiswa Universitas Negeri Malang di Jantung Wisata Batu

 



“Roda Zaman” digelar  di Kusuma Agrowisata (Foto ist.).


Damariotimes. Dalam pusaran zaman yang terus berputar, seni menjadi penanda arah: merawat akar sekaligus melambungkan mimpi. Inilah semangat yang diusung oleh tim Lintang Laku Swara, mahasiswa Prodi Pendidikan Seni Tari dan Musik Angkatan 2024 Universitas Negeri Malang (UM), dalam Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Entrepreneurship Seni Pertunjukan. Di bawah bimbingan Ibu Tri Wahyuningtyas, S.Pd., M.Si., mereka berhasil menggelar pagelaran lintas dimensi bertajuk “Roda Zaman” di dua destinasi wisata unggulan Kota Batu: Kusuma Agrowisata (25 Mei 2025) dan Batu Ekonomis Park (29 Mei 2025).

Dipimpin oleh Eka Wahyu Stioko sebagai ketua tim, Lintang Laku Swara tidak sekadar menyajikan tontonan seni, tetapi menanamkan pesan filosofis: bahwa roda zaman adalah simbol perjalanan waktu dan pencerminan dinamika masyarakat yang terus bergerak, menuntut adaptasi antara warisan budaya dan perubahan zaman. Tema ini dipilih bukan tanpa alasan, mengingat Kota Batu, di mana denyut tradisi masih terasa di tengah pesatnya laju modernisasi wisata, menjadi latar yang sempurna. Di antara lanskap alam dan geliat ekonomi, seni hadir sebagai jembatan antara yang lampau dan yang akan datang.

 

Membangun Jembatan Waktu Melalui Seni

Di antara semilir angin kebun apel dan panorama hijau khas Batu, babak pertama “Roda Zaman” dibuka di Kusuma Agrowisata. Pertunjukan ini menyuguhkan pengalaman multisensori: tradisi lokal yang disulam dengan estetika modern melalui musik elektronik dan koreografi kontemporer. Penonton dibawa menyusuri perjalanan gerak, dari tari klasik yang anggun hingga gerakan modern yang penuh energi. Transisi ini bukan penghapusan tradisi, melainkan transformasi, menampilkan kekayaan budaya dengan bahasa yang lebih komunikatif bagi generasi hari ini.

“Kami belajar bahwa menyatukan visi artistik dalam satu tim bukan hal mudah, tetapi di sinilah kami belajar tentang komunikasi, toleransi, dan kerja tim,” ujar salah satu talent Lintang Laku Swara, penuh semangat.

Empat hari kemudian, roda pertunjukan bergulir ke titik berikutnya: Batu Ekonomis Park. Berbeda dari sebelumnya, suasana di sini lebih terbuka dan kasual. Di tengah lalu-lalang wisatawan dan warga sekitar, seni hadir menyapa tanpa sekat. Unsur modern dance berpadu dengan suara musik tradisional dalam sebuah simfoni yang menyentuh lintas usia dan latar belakang. Di tempat ini, penonton tak hanya menjadi penikmat, tapi juga bagian dari dinamika pertunjukan. Interaksi spontan, tawa anak-anak, hingga tepuk tangan dari warga menjadi bagian dari panggung hidup yang terus bergerak.

 

Melangkah Melampaui Batas Panggung

“Kami belajar bahwa ketika tampil di luar panggung formal, tantangan bukan sekadar teknis, tetapi bagaimana membuat penonton umum tetap tertarik. Dari situlah kami banyak belajar tentang pendekatan pertunjukan yang komunikatif. Prosesnya tidak mudah, tapi justru di sanalah kami merasa benar-benar belajar, bukan hanya sebagai penari atau pemusik, melainkan sebagai pelaku seni yang juga bisa berpikir manajerial,” ungkap salah satu anggota tim.

Pagelaran “Roda Zaman” bukan sekadar proyek tugas akhir. Ia adalah cermin dari kondisi riil masyarakat, khususnya Kota Batu, yang berada di tengah arus deras pariwisata, konsumerisme, dan globalisasi. Di tengah derasnya modernitas, masyarakat membutuhkan ruang untuk tetap terhubung dengan nilai-nilai tradisi, dan seni menjelma sebagai alat pengikat.

Melalui pertunjukan ini, mahasiswa tidak hanya menampilkan kemampuan estetis, tetapi juga menunjukkan kapasitas sebagai seniman-entrepreneur: menyusun proposal, membangun komunikasi lintas sektor, menjalin sponsor, mengatur teknis lapangan, hingga membangun keterlibatan publik.

Lintang Laku Swara telah membuktikan bahwa dari ruang kelas hingga tengah keramaian wisata, seni dapat menjadi medium yang menjembatani masa lalu dan masa depan. Dari Wisata Batu, mereka tak hanya menyuguhkan hiburan, tapi juga menyemai nilai dan semangat zaman baru.

“Kreativitas adalah jembatan antara apa yang diwariskan dan apa yang akan kita wariskan.” Sebuah roda mungkin berputar kembali ke titik semula, tetapi pemahaman dan kesan yang tertinggal, itulah yang menggerakkan masa depan.

 

Konstributor: Hanifah

 

Posting Komentar untuk "Pergelaran "Roda Zaman": Harmoni Tradisi dan Modernitas dari Mahasiswa Universitas Negeri Malang di Jantung Wisata Batu"