Kurikulum Pendidikan Seni di Indonesia: Hegemoni Negara, Konservasi Budaya, dan Penguatan Ideologi

 



praktik hasil kurikulum pendidikan seni di Indonesia (Foto ist.)


Damariotimes. Kurikulum pendidikan seni di LPTK Indonesia merupakan medan kompleks tempat berbagai kekuatan dipertemukan; baik eksplisit maupun implisit, beroperasi. Dalam konteks ini, dapat ditelaah tentang kurikulum yang merefleksikan teori hegemoni negara, berupaya melakukan konservasi budaya, dan secara simultan diarahkan pada penguatan ideologi negara. Analisis ini melampaui deskripsi semata tentang materi ajar, menelusuri lapisan-lapisan pengaruh yang membentuk pengalaman belajar seni di institusi pendidikan formal.

Hegemoni negara, seperti yang diutarakan oleh Antonio Gramsci, merujuk pada dominasi suatu kelompok sosial atas kelompok lain melalui persetujuan, bukan paksaan langsung. Dalam ranah pendidikan seni, hegemoni ini bermanifestasi melalui penetapan standar, penentuan materi, dan penekanan pada bentuk-bentuk seni tertentu yang dianggap representatif atau desirable oleh negara. Kurikulum nasional, yang dirancang oleh pemerintah pusat, menjadi instrumen utama dalam menjalankan hegemoni. Pilihan seni yang diajarkan, misalnya, seringkali didominasi oleh bentuk-bentuk seni tradisional yang telah dikukuhkan sebagai "seni nasional" atau "warisan budaya bangsa." Meskipun hal ini bertujuan mulia untuk memperkenalkan kekayaan budaya, namun dapat pula meminggirkan bentuk-bentuk seni lokal yang kurang dikenal atau seni kontemporer yang dianggap "asing" atau tidak sesuai dengan narasi yang dibangun oleh negara. Proses standarisasi ini, meskipun seringkali dikemas sebagai upaya peningkatan mutu dan pemerataan akses, pada dasarnya merupakan mekanisme kontrol yang memastikan bahwa visi tertentu tentang seni dan budaya disemai secara luas di kalangan generasi muda.

Selaras dengan gagasan hegemoni negara, kurikulum pendidikan seni juga secara eksplisit dirancang sebagai wahana konservasi budaya. Di negara kepulauan dengan keanekaragaman etnis yang luar biasa seperti Indonesia, upaya melestarikan warisan budaya menjadi prioritas. Kurikulum seni lantas menjadi garis depan dalam transmisi pengetahuan dan praktik seni tradisional dari generasi ke generasi. Materi pembelajaran yang mencakup tari, musik, teater, dan seni rupa tradisional, lengkap dengan sejarah, filosofi, dan tekniknya, adalah inti dari upaya konservasi ini. Penekanan pada penguasaan teknik-teknik tradisional, meskipun esensial untuk menjaga keberlangsungan seni tersebut, terkadang dapat membatasi ruang bagi eksperimentasi dan inovasi. Terdapat sebuah dikotomi halus antara melestarikan bentuk asli dan mendorong adaptasi yang diperlukan agar seni tetap relevan dalam konteks zaman yang berubah. Konservasi ini tidak hanya berorientasi pada pelestarian bentuk fisik atau performatif, tetapi juga pada pelestarian nilai-nilai yang terkandung dalam seni tersebut, yang seringkali merupakan cerminan dari norma-norma sosial dan etika yang dianut oleh masyarakat.

Pada akhirnya, kurikulum pendidikan seni di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sasaran penguatan ideologi. Ideologi yang dimaksud di sini adalah Pancasila, sebagai dasar filosofis negara. Melalui pendidikan seni, nilai-nilai seperti gotong royong, persatuan, toleransi, dan religiusitas dapat diinternalisasi oleh peserta didik. Sebagai contoh, tari-tarian komunal atau musik yang dirancang untuk kebersamaan dapat menumbuhkan rasa solidaritas. Seni rupa yang menggambarkan keindahan alam Indonesia atau keragaman etnis dapat memperkuat rasa cinta tanah air dan persatuan. Pemilihan lagu-lagu nasional atau daerah dalam pelajaran musik, atau pementasan drama yang mengangkat cerita rakyat dengan pesan moral, adalah strategi konkret untuk menanamkan ideologi Pancasila. Seni, dengan daya persuasifnya yang halus dan kemampuannya menyentuh emosi, menjadi media yang sangat efektif untuk menyampaikan dan memperkuat nilai-nilai ideologis ini, seringkali tanpa disadari secara eksplisit oleh peserta didik. Proses ini bukan sekadar indoktrinasi, melainkan upaya membentuk identitas warga negara yang selaras dengan cita-cita berbangsa dan bernegara.

Namun, penting untuk dicatat bahwa peran ganda kurikulum Pendidikan seni sebagai alat hegemoni, konservator budaya, dan penguat ideologi; bukanlah tanpa tantangan. Ada perdebatan tentang sejauh mana kurikulum seni harus beradaptasi dengan tren global, bagaimana menyeimbangkan pelestarian dengan inovasi, dan bagaimana memberikan ruang bagi ekspresi individu yang mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan narasi yang dominan. Fleksibilitas dalam implementasi kurikulum di tingkat daerah, serta inisiatif dari para pendidik dan seniman, menjadi krusial untuk memastikan bahwa pendidikan seni tetap relevan, inspiratif, dan mampu mencetak generasi yang tidak hanya terampil secara artistik tetapi juga berbudaya dan berkarakter. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan seni di Indonesia merupakan manifestasi dari medan tarik-menarik kepentingan dan kekuatan yang berusaha membentuk identitas kolektif melalui bahasa universal yaitu seni.

 

Penulis: R.Dt.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Posting Komentar untuk "Kurikulum Pendidikan Seni di Indonesia: Hegemoni Negara, Konservasi Budaya, dan Penguatan Ideologi"