![]() |
tari Jawa dan Bali penggunaan bahu dan kaki tampak dominan (Foto ist.) |
Damariotimes. Tari Nusantara, sebuah
permadani gerak yang kaya, memendam "DNA kinetik" yang unik, sebuah
esensi gerak yang melampaui sekadar estetika visual. Dalam eksplorasi ini,
fokus dialihkan pada pemahaman proksimal, yaitu yang dimaksud adalah sesuatu
yang lebih dekat dengan pusat tubuh atau titik perlekatan. dalam
gerak tari, yakni gerakan yang lebih dekat dengan pusat tubuh atau titik
perlekatan, dan gerak yang berpusat pada tungkai dan kaki. Analisis ini sebagai
usaha mengungkap pola-pola gerak yang fundamental, namun juga menyelaminya
dalam balutan mitos masyarakat pemangkunya, menawarkan perspektif baru terhadap
kedalaman filosofis tari-tarian tradisional di berbagai daerah Nusantara.
Gerak proksimal, dalam konteks
anatomi, merujuk pada bagian tubuh yang lebih dekat dengan batang tubuh atau
titik referensi, seperti bahu atau lutut. Dalam tari Nusantara, banyak gerakan
esensial berakar pada prinsip ini, bahkan ada juga yang berpusat pada tungkai
dan kaki. Gerakan-gerakan seperti melangkah, menghentak, menekuk lutut, atau
menggeser telapak kaki, meskipun tampak sederhana, merupakan fondasi dari
berbagai koreografi kompleks. Gerak-gerak ini seringkali melibatkan koordinasi
otot-otot inti dan panggul, yang secara inheren merupakan bagian proksimal
tubuh. Perhatikan tari-tarian dari Jawa dengan kehalusan gerak kakinya yang
menekuk lutut (misalnya dalam tari Bedhaya), atau tari-tarian dari Sumatera
yang menampilkan hentakan kaki kuat sebagai ekspresi energi. Gerakan-gerakan
ini, yang berpusat pada tungkai dan kaki, bukanlah sekadar perpindahan posisi,
melainkan manifestasi dari koneksi yang mendalam dengan bumi, dengan pijakan,
dan dengan pusat gravitasi penari itu sendiri.
Gagasan ini dapat diperkuat oleh
beberapa dasar teori. Pertama, teori antropologi tari yang menekankan
bahwa gerak tari seringkali merupakan cerminan dari sistem nilai, kepercayaan,
dan pandangan dunia suatu masyarakat. Gerak proksimal pada tungkai dan kaki,
yang begitu fundamental, dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari
hubungan manusia dengan tanah, dengan akar budaya, dan dengan kekuatan alam
yang lebih besar. Dalam banyak mitos Nusantara, bumi dipandang sebagai Ibu,
sebagai sumber kehidupan dan kekuatan. Gerakan kaki yang kuat dan menjejak
bumi, atau lutut yang ditekuk sebagai bentuk penghormatan, dapat dilihat
sebagai ekspresi kinetik dari hubungan sakral ini.
Kedua, prinsip kinestetik dan
biomekanika tari memberikan landasan ilmiah. Gerak proksimal pada
tungkai dan kaki seringkali lebih efisien secara biomekanik untuk menghasilkan
kekuatan, keseimbangan, dan perpindahan yang stabil. Tarian tradisional, yang
seringkali dilakukan di atas tanah yang tidak rata atau dalam durasi yang
panjang, membutuhkan fondasi gerak yang kuat dan efisien. Fokus pada prinsif proksimal
atau gerakan yang berpusat pada tungkai
dan kaki memungkinkan penari untuk menjaga keseimbangan dan menyalurkan energi
dari pusat tubuh, menghasilkan gerak yang kokoh namun tetap ekspresif.
Ketiga, teori ritual dan performa.
Dalam banyak masyarakat pemangku tari Nusantara, tarian bukan hanya sekadar
hiburan, melainkan bagian integral dari ritual atau upacara keagamaan. Gerakan
kaki yang berulang, pola langkah yang spesifik, atau hentakan yang ritmis,
seringkali berfungsi sebagai sarana untuk mencapai kondisi trans, berkomunikasi
dengan leluhur, atau memohon berkat. Mitos-mitos tentang dewa-dewi yang turun
ke bumi, roh penjaga, atau kekuatan magis yang bersemayam di alam, seringkali
termanifestasi dalam pola-pola gerak kaki ini. Sebagai contoh, tari-tarian
ritual di Bali, seperti tari Sanghyang Jaran dengan gerakan kaki yang kokoh dan
penuh energi, seringkali diyakini dapat mengundang kehadiran dewa atau roh.
Mitos tentang kekuatan spiritual yang mengalir dari bumi, atau tentang leluhur
yang bersemayam di dalamnya, menemukan perwujudan konkret dalam setiap hentakan
dan pijakan kaki penari.
Latar belakang mitos masyarakat
pemangku tari adalah benang merah yang mengikat segala gagasan ini. Di Jawa,
konsep "manunggaling kawula Gusti" (penyatuan hamba dengan Tuhan)
sering diwujudkan dalam gerak tari yang tenang dan berpusat, di mana gerak
proksimal pada tungkai dan kaki menjadi dasar dari ekspresi spiritual. Gerak "sembah"
dengan posisi lutut ditekuk, atau langkah "lumaksono" yang berwibawa,
mencerminkan kerendahan hati dan koneksi dengan yang Ilahi. Di Kalimantan,
tarian-tarian Dayak yang bertenaga dengan hentakan kaki yang kuat, seringkali
diasosiasikan dengan mitos keberanian, kekuatan alam, atau perlindungan dari
roh-roh hutan. Setiap gerak kaki, setiap pijakan, mengandung narasi mitologis
yang mendalam, menceritakan kisah tentang penciptaan, kepahlawanan, atau
hubungan harmonis dengan alam semesta.
Dengan demikian, "DNA kinetik"
tari Nusantara, khususnya melalui lensa proksimal dan pusat gerak pada tungkai
dan kaki, merupakan sebuah warisan tak ternilai. Hal ini merupakan gagasan tentang
esensi budaya, spiritual, dan filosofis yang tertanam di dalamnya. Memahami
gerak proksimal ini berarti menyelami akar-akar tari Nusantara, menyingkap
hubungan intim antara gerak, tubuh, bumi, dan alam mitos yang membentuk
identitas bangsa.
Penulis: R.Dt.
Posting Komentar untuk "DNA Kinetik Tari Nusantara: Jejak Proksimal dan Gerak Tungkai dan Kaki dalam Pemahaman Mitos Budaya Lokal "