![]() |
lukisan yang membebaskan narasi (Sumber AI) |
Damariotimes. Seni modern sering
terperangkap dalam jaring-jaring narasi. Makna sebuah karya begitu terikat pada
cerita yang ingin disampaikan, pesan moral, atau konteks sosial-politik di baliknya.
Seniman seolah dituntut menjadi pencerita, dan penikmat seni diundang mengurai
benang-benang kisah tersembunyi. Namun, bagaimana jika potensi estetika sejati
justru terletak pada pelepasan dari belenggu naratif ini? Bagaimana jika
keindahan, daya tarik, dan kedalaman sebuah karya seni tidak lagi bergantung
pada "apa yang diceritakan", melainkan pada "bagaimana ia
dibuat" dan "dari apa ia terbuat"?
Gagasan ini mengarahkan pada
pemikiran radikal: bahwa material dan teknik adalah inti dari pengalaman
estetika. Bukan lagi sebagai media semata untuk menyampaikan narasi, melainkan
sebagai subjek utama yang memiliki kapasitas intrinsik menggetarkan indra dan
pikiran. Ketika fokus dialihkan dari "pesan" menuju
"proses" dan "substansi", seni mulai terlihat dalam cahaya
yang berbeda. Sebuah sapuan kuas yang tebal, tekstur kasar dari pahatan kayu,
kilauan metal yang dipoles dengan presisi, atau bahkan kesunyian ruang kosong
dalam sebuah instalasi – semua ini bukan sekadar alat bantu, melainkan esensi
dari pengalaman estetika yang membebaskan.
Material memiliki bahasanya sendiri.
Kayu hadir dalam bentukan tentang kekuatan dan kekokohan, logam tentang
ketahanan dan modernitas, cat tentang warna dan emosi. Ketika seorang seniman
memilih sebuah material, ia tidak hanya memilih sebuah medium, tetapi juga
sebuah identitas, sebuah karakteristik yang akan berdialog langsung dengan
penikmat. Demikian pula dengan teknik. Penggunaan teknik yang cermat, inovatif,
atau bahkan konvensional sekalipun, mampu menciptakan ritme visual, harmoni,
dan ketegangan yang intrinsik pada karya. Sentuhan tangan seniman, gestur
tubuhnya saat menciptakan, keputusan-keputusan teknis yang diambil – semua ini
tercetak pada material, membentuk sebuah narasi yang jauh lebih jujur dan
langsung daripada cerita yang diucapkan.
Dalam kerangka berpikir ini, lingkungan
tempat seni hadir, serta habitus seniman dan masyarakat pendukungnya, tidak
lagi menjadi penentu makna utama, melainkan penguat, penopang, atau bahkan
resonator. Lingkungan bisa menjadi panggung yang mempertegas keindahan material
dan teknik, misalnya sebuah patung batu yang memancarkan kekuatan di tengah
alam terbuka, atau sebuah lukisan minimalis yang beresonansi dengan kesunyian
galeri. Kehadiran masyarakat pendukung, baik kurator, kritikus, kolektor,
maupun penikmat, bukanlah untuk menuntut narasi, melainkan untuk mengapresiasi
kebebasan estetika yang disajikan. Mereka menjadi saksi atas "habit
seniman" dalam berinteraksi dengan material dan teknik, sebuah kebiasaan
yang termanifestasi dalam setiap detail karya. Ini adalah sebuah bentuk ritual
artistik, di mana seniman dan karyanya menyatu dalam sebuah tarian penciptaan
yang otonom.
Untuk memperkuat argumen ini,
beberapa teori yang beresonansi dengan gagasan pembebasan estetika dari narasi
dan penekanan pada materialitas serta teknik dapat ditilik:
1.
Formalisme dalam Seni
Salah satu teori yang paling relevan adalah Formalisme.
Tokoh-tokoh seperti Clive Bell dan Roger Fry pada awal abad ke-20 berpendapat
bahwa nilai estetika sebuah karya seni terletak pada "signifikan
form" atau "bentuk signifikan". Mereka meyakini bahwa
elemen-elemen formal seperti garis, warna, bentuk, dan komposisi, terlepas dari
konten naratif atau representasionalnya, memiliki kemampuan menggetarkan emosi
dan memberikan pengalaman estetika yang murni. Bell bahkan menyatakan bahwa
seni sejati tidak perlu "memiliki arti" di luar efek visualnya
sendiri. Dalam konteks ide yang disampaikan, ini berarti bahwa keindahan yang
dimaksudkan melalui material dan teknik adalah bentuk signifikan yang
menggerakkan penikmat, tanpa perlu dibebani oleh cerita atau pesan.
2.
Seni untuk Seni (L'art pour l'art)
Meskipun lebih merupakan sebuah slogan atau gerakan daripada
teori formal, prinsip "Seni untuk Seni" (L'art pour l'art) sangat
mendukung ide ini. Gerakan ini muncul pada abad ke-19 sebagai reaksi terhadap
pandangan bahwa seni harus melayani tujuan moral, politik, atau didaktis. Para
penganutnya percaya bahwa seni memiliki nilai intrinsik dan tidak perlu
memiliki tujuan di luar dirinya sendiri. Keindahan adalah tujuannya. Ini sangat
selaras dengan gagasan bahwa material dan teknik, dalam kemurnian estetikanya,
sudah cukup untuk membentuk sebuah karya seni yang berharga, tanpa perlu narasi
yang membenarkan keberadaannya.
3.
Fenomenologi dalam Estetika
Meskipun bukan teori seni secara langsung, Fenomenologi
(khususnya yang dikembangkan oleh Maurice Merleau-Ponty) menawarkan lensa yang
kuat untuk melihat bagaimana pengalaman estetika terbentuk melalui interaksi
langsung antara subjek (penikmat) dan objek (karya seni). Fenomenologi
menekankan pengalaman sensorik dan persepsi tubuh sebagai fondasi kesadaran.
Dalam konteks ini, ketika material dan teknik disoroti, penikmat diundang
merasakan tekstur, melihat warna, mengamati jejak tangan seniman, dan terlibat
secara fisik dengan karya. Pengalaman estetika bukan lagi tentang
"menguraikan makna" melainkan tentang "mengalami kehadiran"
material dan teknik tersebut secara langsung dan non-konseptual. Lingkungan dan
habitus, dalam pandangan fenomenologis, menjadi bagian dari medan persepsi yang
membentuk pengalaman tersebut, namun bukan sebagai narasi utama, melainkan
sebagai latar atau penguat kehadiran material dan teknik.
4.
Kritik Modernisme dan Post-Modernisme Terhadap Narasi
Dalam sejarah seni, terdapat banyak kritik terhadap hegemoni
narasi, terutama dalam perkembangan modernisme dan postmodernisme. Misalnya, seni
Abstrak secara eksplisit menolak representasi naratif. Seniman seperti Jackson
Pollock atau Mark Rothko berfokus pada pengalaman visual murni melalui warna,
bentuk, dan gestur. Meskipun mereka mungkin memiliki intensi pribadi,
interpretasi mereka lebih terbuka dan tidak terikat pada narasi spesifik.
Postmodernisme, di sisi lain, sering mendekonstruksi narasi besar dan
mempertanyakan otoritasnya, membuka ruang bagi apresiasi yang lebih
fragmentaris dan fokus pada elemen-elemen individual, termasuk materialitas dan
teknik.
Dengan memadukan pemikiran ini,
sebuah kerangka yang kokoh dapat dibangun untuk membahas ide ini. Ini adalah
panggilan untuk melihat seni dengan mata yang lebih segar, merasakan keindahan
yang melekat pada substansi dan proses, dan membebaskan seniman dari kewajiban
untuk selalu "bercerita". Estetika yang demikian adalah estetika
keheningan, di mana material berbicara dan teknik bernyanyi, tanpa perlu
kata-kata.
Tim Damariotimes.
Posting Komentar untuk "Membebaskan Estetika: Materialitas, Teknik, dan Hilangnnya Narasi"