Identitas Cair di Era Digital: Ketika Tubuh Bukan Lagi Milik Sendiri

 

tubuh yang rentan tertukar (Foto ist.)


Damariotimes. Di tengah hiruk-pikuk jagat maya yang tak berbatas, di mana sekat-sekat budaya, etnis, agama, dan komunitas telah luruh seperti embun pagi, sebuah fenomena yang jarang disadari mulai merayap dalam keberadaan: pertukaran tubuh. Bukan dalam pengertian fisik yang ajaib, melainkan sebuah metamorfosis identitas yang terjadi secara halus, namun mendalam, mengubah cara memandang diri dan orang lain. Tubuh, yang selama ini diyakini sebagai penanda identitas paling fundamental, kini menjadi arena transisi, sebuah kanvas yang mudah diisi ulang dengan warna dan bentuk yang berbeda, seringkali tanpa disadari.

Hidup di era modernitas cair, sebuah konsep yang dicetuskan oleh sosiolog Zygmunt Bauman. Jika dahulu identitas bersifat "solid" – terpahat kuat dalam tradisi, keluarga, dan komunitas – kini ia telah mencair, fleksibel, dan terus-menerus dinegosiasikan. Media sosial adalah katalis utama dalam proses pencairan ini. Melalui platform-platform digital, dihadapkan pada jutaan representasi diri, gaya hidup, dan norma estetika yang tak henti-hentinya. Tubuh, dalam konteks ini, bukan lagi sekadar wadah biologis, melainkan menjadi sebuah ikon yang dapat diadaptasi, disesuaikan, dan bahkan diproyeksikan dalam berbagai persona.

Pikirkan tentang seorang individu yang di dunia nyata adalah mahasiswa pendiam, namun di Instagram ia menjelma menjadi influencer gaya hidup yang riang dan penuh petualangan. Atau seorang profesional yang di siang hari mengenakan jas rapi, tetapi di TikTok ia berubah menjadi cosplayer karakter anime favoritnya. Ini bukan sekadar memakai kostum, melainkan sebuah pertukaran peran yang melibatkan tubuh sebagai medium. Tubuh mereka "meminjam" identitas yang berbeda, mengadopsi gestur, ekspresi, bahkan postur yang sesuai dengan persona yang sedang dipertukarkan. Fenomena ini diperkuat oleh teori dramaturgi sosial Erving Goffman, di mana kehidupan adalah panggung dan individu adalah aktor yang menampilkan diri di "depan panggung" media sosial, seringkali dengan mengorbankan "belakang panggung" diri yang otentik.

Konsekuensi dari pertukaran tubuh yang terus-menerus ini adalah dislokasi identitas. Ketika individu terlalu sering mengadopsi persona yang berbeda, garis antara diri yang "sejati" dan diri yang "dipertunjukkan" menjadi kabur. Tubuh, yang seharusnya menjadi jangkar bagi kejati-dirian, kini menjadi rentan. Ia kehilangan pengikat kuat yang selama ini dipegang oleh norma-norma sosial yang lebih stabil. Dorongan untuk "bertukar" identitas seringkali dipicu oleh keinginan akan validasi sosial, tekanan untuk konformitas terhadap tren, atau sekadar eksplorasi diri di ruang tanpa batas. Namun, di balik kebebasan bereksplorasi ini, tersembunyi risiko ketiadaan fondasi identitas yang kokoh.

Dalam masyarakat yang didominasi oleh spektakel, seperti yang diutarakan Guy Debord, realitas seringkali digantikan oleh citra. Tubuh di media sosial adalah citra yang diedit, difilter, dan diproyeksikan, jauh dari realitas fisik yang sebenarnya. Pertukaran tubuh ini terjadi ketika berusaha menyelaraskan tubuh fisik dengan citra ideal yang dilihat, atau yang diciptakan. Operasi plastik, diet ekstrem, filler, atau filter media sosial adalah manifestasi dari upaya ini. Tubuh bukan lagi entitas otonom yang inheren, melainkan menjadi proyek yang terus-menerus dibentuk ulang agar sesuai dengan tuntutan "pasar" citra digital.

Implikasi dari fenomena ini sangat luas. Bagi individu, ini bisa memicu krisis otentisitas, perasaan terasing dari diri sendiri, atau bahkan masalah kesehatan mental akibat tekanan untuk terus-menerus menampilkan citra yang tidak sesuai dengan diri sejati. Bagi masyarakat, hilangnya identitas yang mapan bisa mengikis kohesi sosial, karena batasan-batasan yang dulu menjaga struktur sosial kini memudar. Pertukaran tubuh ini, meski sering tak disadari, adalah cerminan dari evolusi sosial yang tak terhindarkan. Semakin maju suatu kondisi sosial, semakin rentan tubuh manusia untuk kehilangan ikatan kuatnya, dan semakin mudah ia menjadi arena bagi pertukaran identitas yang terus-menerus. Pertanyaannya kemudian, di mana letak "diri", ketika tubuh tak lagi memiliki identitas yang mapan?.

 

Penulis : R.Dt.

 

Posting Komentar untuk "Identitas Cair di Era Digital: Ketika Tubuh Bukan Lagi Milik Sendiri"