Pendidikan Bayangan Marginalisasi Masyarakat

 

pendidikan dapat menciptakan marginalisasi masyarakat (Foti ist.)


Damariotimes. Pendidikan, seringkali digunakan sebagai tujuan untuk jalan menuju masa depan suatu masyarakat dari kondisi sosial tertentu agar dapat meningkat pada status social yang lebih tinggi. Pendidikan diletakan sebagai kunci universal yang mampu membuka jalan bagi individua atau masyarakat dalam mencapai kesejahtraan social. Walaupun pada gilirannya, bawasanya pada kenyatannya tidak seperti realitas yang diimpikan; pelaksanaan Pendidikan tidak secara signivikan dapat memerdekaan atau mencerahan harapan masyarakat. Pendidikan acapkali berbalik menjadi alat yang menciptakan jurang marginalisasi masyarakat. Hal ini dapat berdampak tentang kurangnya keinginan orang untuk belajar, karena sistem pendidikan menimbulkan kesenjangan sosial dan politik, mengunci pendidikan sebagian populasi dalam lingkaran untuk penyingkiran proses marginalisasi yang tidak dapat dielakkan.

 

Akses Penghalang  Menuju Pintar

Awal menuju marginalisasi melalui pendidikan adalah akses yang tidak merata, sebuah anomali yang terasa kontradiktif di era yang menggembar-gemborkan hak asasi manusia. Di sudut-sudut pedesaan yang jauh, di balik rimbunnya hutan atau di balik puncak-puncak gunung, banyak anak-anak yang harus menempuh perjalanan berjam-jam, melintasi medan yang sulit, hanya untuk mencapai bangunan sekolah yang seringkali rapuh dan minim fasilitas. Bayangkanlah anak-anak yang harus belajar di ruangan yang gelap, tanpa listrik, atau di bawah atap yang bocor, sementara di kota-kota besar, gedung-gedung sekolah berdiri megah dengan fasilitas canggih. Jurang geografis ini bukan hanya sekadar jarak fisik, melainkan simbol betapa jauhnya kesenjangan kualitas pendidikan yang mereka terima.

Lebih jauh, meskipun pendidikan dasar diiming-imingi dengan label "gratis," realitas di lapangan seringkali menghadirkan biaya tersembunyi yang mencekik. Biaya transportasi, seragam yang harus diganti setiap tahun, buku-buku penunjang, hingga berbagai iuran "sukarela" yang pada akhirnya menjadi wajib, menjelma menjadi tembok tak kasat mata yang menghalangi anak-anak dari keluarga miskin untuk melangkah lebih jauh. Mereka yang terlahir dalam kemiskinan seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: melanjutkan pendidikan yang mahal atau membantu orang tua mencari nafkah. Keputusan pahit ini, yang seringkali mengarah pada putus sekolah, bukan hanya merampas masa depan individu, tetapi juga mengabadikan siklus kemiskinan antargenerasi, menyeret mereka ke dalam marginalisasi sosial yang lebih dalam.

Dan jangan lupakan, dalam bayangan ini, mereka yang memiliki disabilitas dan kebutuhan khusus seringkali menjadi yang paling terpinggirkan. Ketiadaan fasilitas yang memadai, minimnya guru yang terlatih untuk menangani beragam kebutuhan, serta stigma sosial yang masih kental, menjadikan akses pendidikan bagi mereka sebuah perjuangan berat yang seringkali berakhir dengan kegagalan. Mereka, yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih, justru terdampar di pinggir sistem, terabaikan, dan terenggut hak dasarnya untuk tumbuh dan berkembang.

 

Kurikulum Membekukan

Selain akses, kurikulum dapat menjadi biang keladi marginalisasi. Ketika materi pelajaran yang diajarkan terasa asing dan tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa, seolah-olah pendidikan itu datang dari dunia lain, sebuah kurikulum yang tidak kontekstual ini dapat menimbulkan rasa keterasingan. Anak-anak dari komunitas adat atau masyarakat pedesaan seringkali merasa bahwa kearifan lokal, pengetahuan tradisional, atau keterampilan yang relevan dengan mata pencarian mereka tidak dihargai dalam sistem pendidikan formal. Ini menciptakan kekosongan, di mana identitas masyarakat seolah dikesampingkan, dan potensi unik yang mereka miliki tidak tergali.

Lebih parah, ketika kurikulum didominasi oleh bias budaya atau etnis tertentu, suara dan kisah kelompok minoritas seringkali teredam, atau bahkan dihapus. Ini dapat menumbuhkan rasa rendah diri, menghilangkan kepercayaan diri, dan membatasi pandangan tentang tempat mereka di dunia. Ketika sejarah diajarkan dari satu sudut pandang saja, atau ketika kesuksesan hanya didefinisikan oleh standar kelompok dominan, siswa dari latar belakang minoritas secara tidak langsung didorong ke pinggir, membuat mereka merasa tidak sepenuhnya menjadi bagian dari narasi nasional.

Dan tentu saja, ada obsesi terhadap ujian dan formalitas. Sistem pendidikan yang terlalu berfokus pada penilaian standar seringkali gagal mengenali dan menghargai beragam kecerdasan serta bakat yang dimiliki setiap individu. Anak-anak yang tidak pandai dalam mengerjakan ujian tertulis, meskipun memiliki kemampuan luar biasa di bidang lain seperti seni, musik, atau keterampilan teknis, seringkali dicap sebagai "gagal" atau "kurang pintar." Penilaian sempit ini membatasi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi mereka, mendorong mereka ke ranah ekonomi yang lebih rendah dan mengukuhkan marginalisasi.

 

Guru dan Fasilitas: Jurang yang Melebar

Pondasi kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru dan fasilitas yang tersedia. Di sinilah jurang marginalisasi seringkali melebar secara drastis. Guru-guru terbaik, yang paling berpengalaman dan berdedikasi, cenderung terkumpul di sekolah-sekolah di perkotaan atau daerah yang lebih makmur. Sebaliknya, sekolah-sekolah di daerah terpencil dan miskin seringkali diisi oleh guru-guru yang kurang berpengalaman, dengan kualifikasi yang minim, atau bahkan mengajar mata pelajaran yang bukan keahlian mereka. Perbedaan kualitas pengajaran ini menciptakan ketimpangan yang mendalam, di mana siswa di daerah miskin mendapatkan pendidikan yang jauh di bawah standar, membatasi kemampuan mereka untuk bersaing dalam skala yang lebih luas.

Kesenjangan ini diperparah oleh ketersediaan sarana dan prasarana. Bayangkanlah perpustakaan yang minim buku, laboratorium yang tidak memiliki peralatan dasar, atau bahkan tidak adanya akses internet di sekolah-sekolah pinggiran, sementara di sisi lain, sekolah-sekolah di kota besar dilengkapi dengan teknologi terbaru dan fasilitas modern. Keterbatasan akses terhadap sumber daya ini secara langsung menghambat pengembangan keterampilan krusial yang dibutuhkan di era digital, membuat siswa dari latar belakang yang kurang beruntung semakin tertinggal, dan pada akhirnya, semakin terpinggirkan dari arus utama perkembangan ekonomi dan sosial.

 

Jejak Marginalisasi Sosial dan Politik

Dampak dari indikator-indikator pendidikan yang timpang ini merambat luas hingga menyentuh inti struktur sosial dan politik masyarakat. Secara sosial, individu yang tidak memiliki akses atau kualitas pendidikan yang memadai seringkali hanya memiliki keterampilan terbatas, yang membuat mereka sulit bersaing di pasar kerja yang semakin menuntut. Mereka terjebak dalam lingkaran pekerjaan bergaji rendah, tidak stabil, atau bahkan terpaksa menjadi pengangguran, yang pada gilirannya memperparah kemiskinan dan menciptakan siklus keterpurukan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Keterbatasan pendidikan juga seringkali berkorelasi dengan minimnya akses terhadap informasi dan pemahaman mengenai hak-hak dasar, menjadikan mereka rentan terhadap eksploitasi, diskriminasi, dan ketidakadilan. Suara mereka mudah dibungkam, dan perjuangan mereka seringkali tidak terdengar.

Secara politik, marginalisasi pendidikan memiliki konsekuensi yang tak kalah serius. Rendahnya tingkat pendidikan seringkali berkorelasi langsung dengan partisipasi politik yang minim. Masyarakat yang kurang terdidik mungkin tidak memahami isu-isu politik yang kompleks, tidak merasa memiliki suara yang berarti, atau bahkan tidak mengetahui penggunakan hak pilih mereka secara efektif. Mereka rentan terhadap manipulasi politik, menjadi sasaran empuk bagi janji-janji kosong, dan seringkali tidak terwakili dalam forum-forum pengambilan keputusan. Akibatnya, kebijakan publik seringkali tidak mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masryarakat marginal, semakin memperdalam jurang kesenjangan dan memastikan bahwa suara kelompok marginal tetap tidak bergaung, terpendam dalam hiruk pikuk kepentingan kaum dominan.

 

Menuju Pendidikan yang Inklusif

Untuk mengurai benang kusut marginalisasi yang diciptakan oleh pendidikan, kita tidak bisa lagi hanya berpikir tentang membangun lebih banyak sekolah. Hal ini merupakan tugas multidimensional yang membutuhkan pendekatan holistik: memastikan akses yang setara bagi setiap anak, tidak peduli di mana mereka tinggal atau bagaimana latar belakang ekonomi mereka; berinvestasi besar-besaran dalam meningkatkan kualitas guru di seluruh pelosok negeri; mengembangkan kurikulum yang relevan dan menghargai keragaman budaya serta potensi lokal; dan secara tegas menghapus semua bentuk biaya tersembunyi yang menghalangi anak-anak miskin untuk bersekolah. Hanya dengan transformasi fundamental semacam ini, pendidikan dapat benar-benar kembali menjadi pedang keadilan yang sesungguhnya, bukan alat yang secara halus memperparah jurang marginalisasi dalam masyarakat kita. Ini adalah janji yang harus kita tebus, demi masa depan yang lebih adil dan inklusif bagi semua.

 

Tim Damariotimes.

 

Posting Komentar untuk "Pendidikan Bayangan Marginalisasi Masyarakat "