![]() |
Leo Tolstoy: "What is Art?" (Foti ist.) |
Damariotimes. Leo Tolstoy, seorang
maestro sastra yang mendalam seperti diakui lewat War and Peace dan Anna
Karenina, tak hanya berhenti pada narasi fiksi. Ia adalah seorang pemikir
kritis yang menantang pemahaman konvensional tentang kehidupan, moralitas, dan
tak terkecuali, seni. Dalam esainya yang fenomenal, "What is
Art?" (Apakah Seni Itu?), Tolstoy menyajikan sebuah kritik pedas
terhadap dunia seni pada zamannya, menelanjangi apa yang ia anggap sebagai
kepalsuan dan kemunafikan, dan menggagas kembali definisi seni yang seharusnya.
Karya klasik ini, yang tetap relevan hingga kini, hadir bagi pembaca Indonesia
dalam terjemahan Siska Nurrohmah pada tahun 2020, diterbitkan
oleh Penerbit Basabasi Yogyakarta.
Krisis Identitas Seni Abad ke-19
Tolstoy memulai polemiknya dengan
sebuah pertanyaan fundamental yang mengusik: mengapa begitu banyak uang,
tenaga, dan waktu dihabiskan untuk sesuatu yang disebut "seni",
padahal manfaatnya bagi masyarakat luas tampaknya minim, bahkan cenderung
merusak? Ia merasakan adanya krisis parah dalam seni kontemporer yang
kala itu didominasi oleh aliran-aliran seperti Romantisisme, Simbolisme, dan
Dekadensi. Bagi Tolstoy, seni-seni ini telah kehilangan akar moralnya, menjadi
eksklusif, dan hanya melayani selera segelintir kaum elit yang kaya.
Ia mengkritik keras pementasan opera
dan drama yang absurd, lukisan yang ambigu, dan musik yang hanya bisa dinikmati
oleh kalangan tertentu. Tolstoy berpendapat bahwa karya-karya ini seringkali
dibuat-buat, tidak tulus, dan sengaja dibuat rumit untuk menciptakan kesan
mendalam yang sebenarnya kosong. Baginya, seni telah menjadi industri yang
mencari keuntungan dan pengakuan, bukan sebuah ekspresi jiwa yang otentik.
Para seniman pun, menurutnya, terjebak dalam lingkaran kompetisi untuk
menciptakan sesuatu yang "baru" dan "orisinil", tanpa
mempertimbangkan dampak moral atau spiritualnya.
Mencari Definisi Seni yang Autentik:
Komunikasi Emosi
Setelah meruntuhkan berbagai teori
estetika yang ia anggap sesat—mulai dari teori yang mendefinisikan seni sebagai
imitasi keindahan, hingga yang mengaitkannya dengan kesenangan—Tolstoy
mengajukan definisinya sendiri yang revolusioner. Ia dengan tegas menyatakan
bahwa seni bukanlah tentang keindahan, kesenangan, atau bahkan kesempurnaan
teknis semata. Lebih dari itu, seni adalah alat komunikasi, sebuah cara
bagi seseorang untuk menularkan perasaan yang ia alami kepada orang lain.
Kriteria utama dari seni yang
sejati, menurut Tolstoy, adalah "infektivitas" atau daya
menularnya. Jika sebuah karya seni mampu menularkan perasaan yang sama dari
seniman kepada penonton, sehingga penonton merasakan emosi yang sama dengan
seniman saat menciptakan karya itu, maka itulah seni yang autentik. Semakin
kuat dan tulus penularan emosi tersebut, semakin baik pula seni tersebut. Emosi
yang ditularkan bisa beragam, mulai dari kegembiraan, kesedihan, kemarahan,
kasih sayang, hingga rasa takut. Intinya adalah kemampuan seniman untuk membuat
orang lain ikut merasakan apa yang ia rasakan, seolah-olah pengalaman emosional
itu menjadi milik bersama.
Seni yang Baik dan Seni yang Buruk:
Sebuah Pemilahan Moral
Tolstoy tidak berhenti pada
definisi; ia juga memilah antara seni yang baik (good art) dan seni yang
buruk (bad art). Seni yang baik adalah seni yang mampu menularkan perasaan
yang tulus dan jujur, perasaan yang memiliki nilai moral dan spiritual yang
tinggi. Seni yang baik adalah seni yang mempersatukan manusia, bukan memecah
belah mereka. Ia harus mampu menularkan perasaan-perasaan universal yang
mendorong persaudaraan, empati, dan kesadaran akan kesatuan umat manusia.
Contohnya adalah cerita rakyat, lagu-lagu sederhana, atau lukisan yang
menggambarkan penderitaan manusia yang universal.
Sebaliknya, seni yang buruk adalah
seni yang tidak mampu menularkan emosi secara efektif, atau seni yang
menularkan emosi-emosi dangkal, artifisial, atau bahkan merusak secara moral.
Seni yang buruk seringkali mengandalkan imitasi, sensasionalisme, atau sekadar
pamer teknik yang canggih tanpa kedalaman emosional. Tolstoy secara blak-blakan
memasukkan banyak karya seni yang dianggap "agung" pada zamannya,
termasuk beberapa opera Wagner, puisi Baudelaire, dan lukisan-lukisan
impresionis tertentu, ke dalam kategori seni yang buruk karena gagal memenuhi
kriteria infektivitas dan moralitas.
Peran Agama dan Moralitas sebagai
Kompas Seni
Bagi Tolstoy, agama adalah
fondasi utama bagi seni yang sejati. Ia percaya bahwa seni harus berakar
pada pemahaman religius tentang tujuan hidup dan nilai-nilai moral universal.
Seni yang didasarkan pada prinsip-prinsip Kristen tentang persaudaraan dan
kasih sayang, atau ajaran moral universal lainnya, adalah seni yang paling
tinggi dan paling bermanfaat bagi umat manusia. Seni yang menularkan perasaan
kasih sayang terhadap sesama, empati, dan kesadaran akan kesatuan spiritual
umat manusia adalah seni yang sesungguhnya.
Ia menentang keras seni yang
didasarkan pada konsep keindahan yang murni estetik atau yang hanya
berorientasi pada kesenangan indrawi. Tolstoy berpendapat bahwa seni harus
melayani tujuan yang lebih tinggi, yaitu untuk mengangkat moralitas manusia,
memperkuat ikatan kemanusiaan, dan membimbing umat manusia menuju kehidupan
yang lebih bermakna.
Menggagas Ulang Seni untuk
Kemanusiaan
Di bagian akhir esainya, Tolstoy
menyerukan sebuah revolusi total dalam dunia seni. Ia berharap seni
dapat kembali menjadi milik rakyat, dapat dipahami dan dinikmati oleh semua
orang, bukan hanya segelintir elit. Ia membayangkan sebuah seni yang sederhana,
tulus, dan jujur, yang tidak memerlukan pendidikan khusus untuk dipahami,
tetapi mampu menyentuh hati setiap individu.
Tolstoy percaya bahwa seni memiliki
kekuatan transformatif yang luar biasa. Jika digunakan dengan benar, seni dapat
menjadi alat yang ampuh untuk menyebarkan kebaikan, memperkuat ikatan
kemanusiaan, dan membimbing umat manusia menuju kehidupan yang lebih bermakna. "What
is Art?" adalah sebuah manifesto yang berani, menantang kita untuk melihat
melampaui permukaan estetika dan mempertanyakan esensi sejati dari apa yang
kita sebut seni. Sebuah karya yang provokatif dan sangat relevan, mendorong
kita untuk terus mencari tahu: apa sebenarnya peran seni dalam membentuk
kemanusiaan kita?.
Tim Damariotimes.
Posting Komentar untuk "Leo Tolstoy Membongkar Keindahan Sejati"