Problematika Ludruk di Malang

        Damariotimes. Ludruk di Malang mengalami berbagai problematika, utamanya diinternal perkumpulan ludruk. Kondisi ini mulai menurun dan terus menumpuk problematika internal ini sekitar tahun 1980-an. Masuk tahun 1990-an mulai melemah. Banyak perkumpulan yang mengalami krisis pemain, bahkan para ‘juragan’ ludruk juga mengalami kondisi yang tidak menentu. Para pemain lama tidak mempunyai alternatif dan pilihan yang membuat motivasi mereka meningkat. Ada beberapa pemain yang menyerah dengan kondisi mereka ‘apa adanya.’
Para jawara ludruk (Foto koleksi Marsam Hidayat)
Beberapa pemain ludruk hanya mengharapkan ada yang mau mengundang dalam acara apapun. Disatu sisi para pengelola ludruk juga mengalami tarik ulur dengan para penanggap ludruk. Karena mereka mengharapkan penanggap mau menampilkan ludruk yang full dekor. Karena dekor panggung itu merupakan investasi yang mengharapkan dapat kembali modal. 
Biaya penyelenggaraan ludruk kurang lebih 50% untuk peralatan dan transportasi. Sementara pemain hanya menerima kurang lebih 30% yang harus dibagi dengan lebih kurang 40 orang pemain. Hal ini yang menjadi probelematika besar ludruk di Malang. Selain dari pada itu juga sejumlah problematika, khususnya peremajaan ludruk yang tidak kian tumbuh. Hal ini mungkin juga terkait dengan kondisi dan situasi minat penanggap yang tidak kunjung membaik.
Pada tahun 2018 semua orang yang memiliki hajatan sudah tidak ada yang berminat untuk menanggap ludruk. Karena biayanya tinggi.
Wacana di atas merupakan perbincangan antara dua tokoh legendrasi Ludruk Malang, yaitu Cak Totok Suprapto dan Cak Jamil. Mereka sempat memandang pesimis perkembangan ludruk di Malang, terus bagaimana yang lain ikut mendiskusikan. Tentunya ada pemikiran yang lebih menarik untuk merivitalisasi ludruk.
 
 
 
Reporter     : R. Hidajat
Editor          : Muhammad ‘Afaf Hasyimy

Posting Komentar untuk "Problematika Ludruk di Malang"