Akhir Wayang Orang Sistem Tobongan

      Damariotimes. Pada awal millenium II ini, pertunjukan wayang wong di Indonesia sudah tidak tampak lagi yang digelar di Tobong. Sistem Tobong yang terakhir dilakukan oleh perkumpulan Ketoprak Siswa Budhoyo dari Tulungagung. Berakhirnya sistem Tobong dalam penyajian wayang wong, maka berakhirlah panggung wayang wong komersial.
Foto Kejayaan Wayang Orang: (Sumber koleksi Abdul Malik)
         Tobong merupakan sebuah simbol, simbol komersialisai pertunjukan kalangan bawah; rakyat. Masyarakat pada strata bawah pada umumnya tidak mampu menonton pertunjukan yang digelar di gedung yang bagus. Mereka merasa puas dan sangat bergembira dapat menghibur diri mereka dengan menikmati pertunjukan di gedung darurat yang berdinding dari bambu, dan beratap rumbia. Namun di dalam Tobong tersebut, khususnya di dalam panggung sangat megah, lukisan, lukisan interior istana, gapura alun-alun, hutan-hutan yang hijau di lereng pegunungan, dan berbagai bentuk dekorasi panggung yang berkilau keemasan. Selain dari pada itu, kemegahan panggung wayang wong sangat terasa ketika pertunjukan digelar. Lampu warna-warni menimpa dekorasi dan pemain demikian megah.
         Di dalam Tobong disediakan kursi lipat dari besi (seng), atau dari kayu, atau bambu berbentuk dipasang memanjang. Tempat duduk tersebut dibedakan setidaknya tiga tahap, yaitu kelas 1 (VIP) kelas 2, dan Kelas 3 yang berada dideretan paling belakang. Pada kejayaan wayang wong, selain tempat duduk kelas 3 ada tempat berdiri dideretan paling belakang. Menonton wayang wong cukup santai, di dalam juga terdapat penjual makanan kecil, di depan atau di dalam gedung juga disediakan toko makanan kecil. Toko makanan kecil ini pada umumnya diusahakan keluarga anggota wayang wong, mengingat ada beberapa keluarga yang pekerjaannya bukan pemain, seperti: Pengerek layar, atau crew panggung. Penghasilan mereka tergolong cukup rendah, untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut, mereka berusaha untuk berdagang kecil-kecilan.
          Wayang wong yang tegak sebagai pertunjukan kaum bangsawan terus melangkah ke panggung-panggung megah di luar istana, dan kemudian juga merangkak di Tobong-tobong. Perjalanan ini sangat historikal, bahkan membentuk sebuah citra tersendiri bagi mereka yang pernah mengalaminya. Para pendekar wayang wong panggung komersial dimanapun, termasuk di Malang selalu memimpikan masa kejayaan wayang wong. Mereka tidak hanya bergelimang uang tetapi juga popularitas yang tak henti-hentinya ditunggu-tunggu oleh penggemarnya. Kini mereka mulai dilupakan, dan mulai tidak dikenal oleh orang-orang muda, sebuah kisah yang cukup memperihatinkan.
          Para artis-artis muda yang mencoba untuk menelusuri perjalanan mereka juga ikut merasakan, tetapi kondisi ini tidak mudah membalik telapak tangan dalam mengembalikan masa jaya wayang wong. Bahkan para sponsor (maicenas) wayang wong di Malang silih berganti muncul dan memperjuangkan dengan kekuasaan, kekayaan, dan pengaruh emosional. Semoga wayang wong masih memiliki kekuatan untuk bertahan.
 
 
 
Penulis            : R. Hidajat
Editor              : Muhammad ’Afaf Hasyimy

Posting Komentar untuk "Akhir Wayang Orang Sistem Tobongan"