MENYIKAPI KEMBALI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI ‘TUNTUAN’ DAN ‘TONTONAN’ (Part 1)

Makalah di Sajikan Pada Seminar dan Sarasehan

Peningkatan Mutu Berkesenian Berbasis Tontonan dan Tuntunan

Penelienggara Dewan KIesenian Kabupaten Malan (DKKM) 12 Juli 2022

Para Narasumber Senubar (Foto Ist.)
                 Berbagai problematika dalam perkembangan seni pertunjukan tradisional telah menjadi bahan pelajaran, pengalaman, dan introspeksi. Sehingga berbagai rasa yang membuat seniman dan penonton timbul perasaan menyenangkan dan menyedihkan yang tidak dapat dilupakan, artinya telah menjadi kenangan. Namun tentunya tidak hanya berhenti di situ, seniman dengan berbagai pengalaman dapat menjadi ‘sumber referensi’ yang dapat digunakan bagi seniman muda. Ini yang mulai dapat ditarik suatu manfaat, bahwa pengalaman berkesenian itu dapat menjadi ‘sumber referensi’. Kata orang dapat digunakan sebagai jujukan pitakonan. Kenapa demikian, karena orang muda selalu ingin tahu tentang pengalaman dari orang tua. Hal ini adalah rumus untuk menjadi maju, karena malu bertanya sesat jalannya.

                Maka yang dimaksud dengan sen sebagai ‘tuntunan’ dapat dikupas lagi secara praktis, yaitu tuntunan yang membuat orang mampu mempelajari segala sesuatu yang telah dilakukan seniman pada masanya. Dengan demikian, tidak hanya tuntunan itu dimaknai terlalu jauh yang berisi tentang nilai-nilai filosofis. Sungguhpun tidak menolak adanya nilai yang terkandung dalam seni pertunjukan, baik sederhana atau sangat mendalam, bahwa nilai filosofis itu memang ada, bahkan semua seniman yang dalam penghayatan kehidupan berkeseniannya benar-benar mampu mengupas secara mendalam, sehingga seni itu dimaknai sebagi ngelmu. Hal ini yang secara terhubung adanya pemahaman, bahwa ngelmu iku kelakone kanti laku, laku ne kas nyantosani. Jika seniman muda yakin, bahwa apa yang dilakukan oleh seniman-seniman tradisional itu menjadi ‘pengetahuan’ dan akan dapat membuat orang muda lebih mampu bertahan di masa yang akan datang.

                Pengalaman para leluhur seni pertunjukan tradisional di Malang, atau Jawa Timur yang telah dijadikan referensi, tampaknya pengalaman mereka berkesenian tidak sia-sia, sungguhpun dalam hal materi tidak serta merta menjadi orang yang cukup untuk membiayai hidup. Bisa jadi kondisi mereka memang jauh dari kondisi yang layak. Namun filsafat dari pohon pisang mungkin berlaku, untuk menumbuhkan tunas-tunas baru, pohon pisang yang telah berbuah akan mati, atau bait puisi Diponegoro karya Chairil Anwar: Sekali berarti sesudah itu mati. 

                Seni tradisional tidak hanya dipandang memiliki isi yang dapat digunakan sebagai pelajaran, namun senimannya juga penting didudukan sebagai sumber belajar. Mereka merupakan contoh tauladan baik untuk dapat menjalankan hidup yang baik. Sehingga dapat disetarakan, bahwa seniman itu adalah contoh hidup yang baik.

                Jika semuanya yakin, bahwa tuntuan itu adalah referensi, ketauladanan, atau contoh yang baik bagi hidup. Maka seni dan seniman (satu kesatuan) merupakan sebuah cara untuk dapat hidup di masa depan dengan baik. Maka etika moral menjadi seorang seniman adalah sebuah tuntunan untuk mencapai hidup di masa depan secara baik. Karena kehidupan yang akan datang hanya ‘kebaikan’ saja yang benar-benar dapat membantu mewujudkan kehidupan yang dicita-citakan oleh semua umat manusia, yaitu kesempurnaan.



Penulis                  : R. Hidajat
Editor                    : Marsam Hidayat

Posting Komentar untuk "MENYIKAPI KEMBALI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI ‘TUNTUAN’ DAN ‘TONTONAN’ (Part 1)"