Ludruk Seni Pertunjukan Rakyat Jawa Timur

Damariotimes. Ludruk merupakan drama rakyat yang khas sebagai kekayaan seni pertunjukan dari Jawa Timur.  Konon ludruk  dilahirkan oleh masyakarat yang sehari-harinya mengunakan bahasa Jawa dialek Jawa Timur, seperti halnya ketoprak, genre yang pada tahun 1950-an mempunyai menyaingi ketoprak di wilayah Jawa Timur; sejak awal pertumbuhnya dan berkembang di berbagai kota di Jawa Timur,  salah satunya wilayah pementasannya adalah Surabaya sebagai pusat aktivitas ludruk.

Ludruk (wikipedia)

Pada mulanya ludruk berasal dari atraksi kekebalan yang disebut Ludrug lerok, yaitu tumbuh sekitar abad XVII; sebuah demostrasi magis tentang kekebalan yang dipertunjukan dengan diiringi  seruling, gendang, dan sebuah gong kecil dari perunggu. Pertunjukan  ini disebut ludruk Bandhan. Ada cerita menarik lain bahwa Ludruk berawal dari Lerok ngamen yang dilakukan oleh Pak Santik.Pak Amir dan Pak Pono di wilayah Kecamatan Guda Kabupaten Jombang. Selama permulan abad ke XX, pertunjukan ini berubah, berkembang menjadi Ludruk Besutan. Pemain utama, yaitu besut membuat banyak saji-sajian animistik sebelum menarikan siklus kehidupan manusia, dari kelahiran lewat percumbuan, perkawinan, dan perumpamaan perbuatan dewasa sampai kepengetahauan dari diri pribadi yang terakhir. Sampai tahun 1920-an ludruk besutan adalah seni rakyat yang dipertunjukan di Jombang dan kemudian berkembang sampai ke  Surabaya sendiri dan di desa-desa di daerah Surabaya-Mojokerto.

Pertunjukan berlangsung dari pukul 10.00 malam sampai menjelang  pagi. Selagi peranan-peranan begitu menggoda, hanyalah laki-laki para pemainnya. Pada tahun 1930-an beberapa penari aktor Ludruk Besuatan laki-laki ini mulai mempertunjukan cerita-cerita petualangan yang dipinjam dari rombongan-rombongan bangsawan Malaya (khususnya berasal dari Penang) yang berkunjung, pertunjukan komersial itu pada saat-saat tertentu mengadakan pertunjukan di kota-toka besar di Jawa, termasuk ke Surabaya.

Selama dan setelah perang dunia II, Ludruk membentuk menjadi romboang-rombongan professional. Mereka menyebut diri secara sederhana sebagai  Ludruk dan mungkin karena rombongan-rombongan Ketoprak telah  memiliki lebih dahulu repertoar sejarah dan lakon-lakon petualangan, mulailah Ludruk memanggungkan lakon-lakon yang mengambarkan kehidupan Jawa modern.

Ludruk sekarang adalah sebuah bentuk drama ujar yang  realistik. Setiap pertunjukan  dimulai dengan sebuah tari tradisional Ngremo dan nyanyian modern, serta tari-tarian biasa disisipkan di antara adegan, tetapi kebanyakan lakon adalah komedi domestik kontemporer. Musik gamelan biasa dipergunakan sebagai latar  belakang atau efek perasaan. Hubungan  utama antara Ludruk sekarang dengan yang lampau adalah bahwa kaum pria masih memainkan semua peranan. Kehadiran peniruan wanita dalam sebuah kebalikan bentuk seni pertunjukan realistik adalah satu penyimpangan artistik. Oleh  sebab itu penonton di Jwa memandang Ludruk sebagai sesuatu keanehan seksual.

Pertunjukan-pertunjukan lakon-lakon  modern dari Ludruk terutama menarik penonton muda di kota-kota. Para  mahasiswa dan pemuda pemudi dan para penonton dari segala usia di wilayah-wilayah pedesaan. Rombongan dengan pemeranan laki-laki semuanya bisa menarik dengan sendirinya perasaan penonton akan hal yang sangat ganjil sehingga beberapa gadis muda keluar karena adanya dorongan keinginan yang tak sehat, beberapa  pria homoseks untuk mencari teman, dan beberapa pemuda-pemudi dewasa dari kedua jenis kelamin menyaksikan diri mereka sendiri tentang semua kecerewetan. Rombongan-rombongan terbaik dengan dasar tidak memainkan perbalikan (trasvestit) tetapi berdasarkan pada daya tarik cerita dari lakon-lakon mereka dan kemampuan berakting dari para pemeran untuk menarik penonton.

Di kota Surabaya  sejak tahun 1930-an Ludruk mengalami perkembangan yang baru sekali. Ketika itu rombongan yang paling terkenal adalah yang berada di bawah pimpian Gondo Durasim. Oleh  masyarakat Surabaya grup Ludruk pimpinannya  ini dikenal dengan  nama ludruk Durasim. Cak Durasim, panggilan akrapnya, ingin sekali  tetap melestarikan Ludruk Besutan, yang dalam garapannya ia sendiri bermain sebagai pelawak, Ngari sebagai Besut, dan Dauk sebagai Asmunah. Kemudian  Besut  dimainkan sendiri oleh Cak Durasim yang  ditampilkannya sebagai pelawak.

Tokoh Besut dan Asmunah ternyata sudah sangat dikenal di kalangan masyarakat luas yang selalu menjadi corong berbagai perasaan. Baik yang dilakukan oleh partai politik maupun oleh pemerintah, Fenomena ini mampu mengilhami Pak Wardoyo, seorang wartawan  kompas

Dengan  berperan sebagai pelawak ini Durasim memiliki peluang untuk mengekspresikan kemampuannya dalam memapilkan sindiran-sindiran lewat kidungan-kidungannya. Dr. Soetomo, tokoh Pergerakan Nasional saat itu sangat tertarik pada  kemampuan Durasim dalam melantunkan sindiran-sindiran yang selalu  mengena, hingga ia diberi kesempatan untuk tampil tetap sampai tahun 1936. Nyanyian kidungannya bisa mengobarkan semangat juang bagi pergerakan Nasional, antara lain sebagai berikut:

 

Jumat Legi nyang Pasar Genteng

Tuku apel nyang wonokromo

Merah Putih kepala Banteng

Genderane Dr. Soetomo

 

Pada zaman pendudukan Jepang, sejak tahun 1942 pertunukan ludruk komersial masih terus berjalan dengan baik, walaupun selalu mendapat pengawasan. Bahkan, pemerintah Jepang sendiri sering pula memanfaatkan untuk keperluan propaganda. Hanya saja grup Ludruk Durasim yang memang bersal dari kalangan rakyat, sering ingin mengungkapkan perasaan-perasan rakyat. Ada  beberapa kidungnya yang melontarkan perasaan kekecewaannya kepada pemerintah Jepang, sebagai beikut

 

Pegupon omahe doro

Melok Nipon tamah sengsara

 

Tuku klepon dhuk setasiun

Melok Nippon ga oleh pension

 

Dengan sindiran-sindiran itu pemerintah Jepang mulai khawatir akan akibat yang lebih jauh. Maka  dipanggillah Cak Durasim, dan  sampai kini tidak kita ketahui di mana ia berada. Kidung yang merupakan  ciri khas dari pertunjukan ludruk memang mampu menyindir apa saja  dan siapa saja.

Ludruk, memainkan lakon-lakon secara improvisasi yang hanya berdasarkan pada tema-tema masa kini, Nyanyian dan  tarian tidak pernah merupakan bagian dari lakon, tetapi seringkali dipetunjukan  sebagai hibungan [selingan] dari lakon tetapi seringkali dipetunjukan sebagai hiburan di antara adegan-adegan [mengawali pertunjukan]. Pemeranan yang semuanya pria mempertunjukan peranan-peranan pria dan wanita dengan gaya realistik. Seorang aktor berbicara dengan bahasa apa saja yang cocok dengan tokoh yang digambarkan – bisanya bahasa  Jawa tetapi juga bahasa Indonesia dan Madura. Komedi-komedi  keadaan modern dan melodrama adalah popular. Tata busana dan  tata rias adalah sama yang dipergunakan bagi busana biasa sehari-hari. Skenari adalah drop dan wing, pertunjukan-pertunjukan berlangsung tiga sampai empat jam pada malam hari.

 


Penulis          : R. Hidajat
Editor            : Marsam Hidajat

Posting Komentar untuk "Ludruk Seni Pertunjukan Rakyat Jawa Timur"