KARNIVAL DI KOTA MALANG HILANG SIRNA TAK TERKUMANDANGKAN

Karnaval atau disebut arak-arakan Jawa sudah ada sejak zaman kejayaan raja-raja. Cerita Raja yang melakukan arak-arakan di berbeadai daerah mengunjungi situs makam leluhurnya dan menghapiri rakyatnya adalah raja Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Berita itu dituliskan pada buku Negarakertagama karya empu Prapanca.

Ilustrasi karnaval (solopos.com)
            Sebelum tersebarnya cerita arak-arakan raja Hayam Wuruk, pada berbagai dongeng tentang raja yang bijak selalu mengunjungi dan melihat kondisi rakyatnya dengan cara menyamar. Raja atau pangeran yang penyamarannya menjadi legenda adalah Panji Inukertapati, dia adalah putra mahkota kerajaan Jenggala. Kisah cintanya dengan Dewi Sekartaji tidak hanya mampu menguji kesetiaan calon istrinya, namaun juga mengetahui kondisi dan situasi rakyatnya yang hidup diberbagai desa sangat sederhana.

            Pada zaman kerajaan-kerajaan di Jawa tidak dikenal istilah ‘carnival.’ Masyarakat mengenal istilah arak-arakan atau grebek. Grebeg dikenal seiring dengan ritual Mauled (peringtan hari lahir) nabi Muhammad SAW. Namun setelah kemerdekaan Republik Indonsia karnaval menjadi istilah umum untuk menyebut barisan dengan menggunakan kostum yang beraneka ragam. Setiap tahun di Malang Jawa Timur selalu menyelengarakan karnaval dalam rangka memerihakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia.

            Pada awal tahun 1970-an, di Kota Malang Propensi Jawa Timur selalu menyelenggerakan karnaval, waktu itu disebut ‘pawai pembanguan.’  Istilah ‘pembangunan’ muncul sebagai tema dikarenakan waktu itu awal zaman orde baru yang diperintah oleh Presiden Soeharto. Kemudian beliau dikenal sebagai ‘bapak pembangunan.’ Hampir setiap tahun pawai pembangunan memerihakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonsia di Kota Malang. Acara berkala setiap tahun itu selalu ditunggu-tunggu masyarakat. Penulis selalu mengikuti perhelatan akbar itu setiap tahun. Waktu itu yang penulis menunggu tampilan  kontingen  yang bertema kerajaan, tiga hingga empat kali tema kerajaan selalu ditampilkan kecamatan Singosari. Tema itu salah satu penampilan paporit, Ataksinya sungguh luar biasa, laki-laki dan wanita dewasa tampil dengan kostum kerajaan masa lalu. Penunggang kuda tampak sangat gagah, bahkan pemeran raja dan ratu duduk disinggasana kereta.

Sejak tengah hari, para penonton sudah  padat memenuhi sisi kanan dan kiri sepanjang jalan yang akan dilalui kontingen dari berbagai kelurahan dan atau kecamatan. Bahkan dari berbagai instansi pemerintah dan swasta yang bergerak di bidang produksi atau jasa juga ikut serta. Rata-rata penampilannya menggunakan mobil hias dengan berbagai model. Istansi pendidikan juga tidak ketinggalan, seragam sekolah dan berbagai slogan yang bertekad memajukan pengajaran untuk meraih kualitas generasi muda.

Memasuki akhir tahun 1990 acara pawai pembangunan tidak lagi diselengarakan, hal ini adanya perpindahan kondisi politis. Era Repormasi mulai merubah kondisi dan situasi sosial budaya di Indonesia. Masyarakat sudah tidak lagi menyaksikan karnaval, namun hampir setiap waktu disuguhkan arak-arakan kelompok yang melakukan unjuk rasa (demonstasi). Mereka juga melakukan konpoi disepanjang jalan menuju ke titik areal politik, depan Balai Kota atau di depan kantor DPRD (Dewan perwakilan Rakyat Daerah).

Memasuki pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, situasi sosial budaya mulai stabil. Masyarakat tidak terlalu terbawa pada situasi politis, sungguhpun bencana alam dan kecelakaan transportasi silih berganti. Penulis mulai menyadari kembali pada dua hingga tiga tahun terakhir ini. Ada asepek yang signivikan tentang kehadiran ‘karnaal’ dengan situasi politik. Sungguhpun fokus mengamatan tidak diarahkan ke aspek itu. Namun lebih ada penekanan yang membutuhkan obserasi agak mendalam tentang aspek solidaritas sosial dan revitalisasi budaya masyarakat Indonesia. Observasi penelitian ini menemukan jawaban, bahwa ada aspek yang sangat kuat mempengaruhi masyrakat suatu negara, yaitu stabilitas sosial. Upaya itu dapat dicapai melalui pengkondisian yang mengarah pada pembentukan perekatan sosial, ekspresi solidaritas sosial dibutuhkan saranan. Terlebih dilingkungan masyarakat urban, mereka sepanjang pertumbuhan politik Repoblik Indonesia, yaitu masa orde lama, orde baru, dan memasuki orde repormasi. Mereka secara alamiah menggali pertumbuhan sosial yang sesuai dengan kondisi dan situasi sosial yang dapat diwujudkan. Pengamatan diarahkan pada aspek penampilan karnaval yang terjadi di pinggiran kota. Karena pemerintah kota sudah tidak lagi mempedulikan aspek tersebut. Mereka mulai sibuk merancang citra masyarkat metropolis. Karnaval yang selenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kota Malang adalah karnaval fashion. Pola ini diadaptasi dari poplernya Jember Fashion Carnival  (JFC), pawai peragaan busana yang digagas oleh Dynand Fariz (alm.) itu  diselenggarakan setiap tahun di Kabupaten Jember sejak tahun 2001.

Model karnival seperti yang diselenggarakan Pemerintah Daerah Kota Malang pada tahun 1970-an seolah-oleh hilang tanpa bekas. Namun, peneliti mengamati sejak 2-3 tahun terakhir. Model pawai pembangunan muncul di daerah urban, kampung-kampung di pinggiran Kota Malang, seperti di Kecamatan Dinoyo, Kecamatan Sukun, dan Lowokwaru. Bahkan hampir setiap kelurahan menyelenggarakan.

Para pengamat perkembangan sosial budaya membahas fenomena ‘kakrnaval model JFC’ sebagai gerakan sosial masyarakat metropolis. Masyarakat dan seniman tradisional diarahkan untuk membangun dunia baru yang bersifat imajiner. Hal ini peneliti juga mengapresiasi fenomena karnaval model JFC sebagai pelompatan proses kreatif dari panggung ke jalanan.

 

 

Penulis            : R. Hidajat
Editor              : Harda Gumelar

Posting Komentar untuk "KARNIVAL DI KOTA MALANG HILANG SIRNA TAK TERKUMANDANGKAN"