Topeng Madura dan Mitos Tokoh Baladewa (Bagian 3)

Damariotimes.Topeng Dhalang Madura di masa silam sempat pula menyebar ke berbagai daerah di luar Sumenep, namun agarknya sebagaian besar terbatas di kalangan para bangsawan yang menyebar di seluruh pulau Madura, dan kemudian membentuk semacam  dinasti-dinasti penguasa (raja) di Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Hubungan kekerabatan, politik, dan sosial budaya yang terjalin antara kerajaan Jawa dan kerajaan Madura di masa-masa berikutnya, sedikit banyak membawa pengaruh pula terhadap perkembangan Topeng Dhalang Madura. Tampak nyata  sekali penaruh itu pada busana, terutama pada irah-irahan kepala yang sudah mengambil alih pola irah-irahan  wayang wong dari Jawa Tengah (Sala). Juga mengenai lakon yang banyak sekali mengambil dari pakem-pakem pedhalangan Jawa. Hanya satu hal yang unik, yang tidak ada samanya dengan isi pakem pedhalangan di Jawa, yaitu, bahwa  tokoh Baladewa sangat dipuja dan diagungkan seperti dewa layaknya, sehingga apa pun tindakannya harus benar atau harus dibenarkan. Tokoh ini pun tidak pernah dikalahkan dalam peperangan manapun. Ini adalah semacam fanatisme kebanggan kesukuan, sebab tokoh Baladewa adalah raja dari kerajaan Mandura (menurut istilah pedhalangan Jawa), atau Madhura (menurut ejaan aslinya dari India), yang oleh masyarakat Madura diidentikkan dengan pulau (negara) Madura, tanah tumpah darah mereka (1979/1980: 28-30).

Pada abad XX, setelah kerajaan-kerajaan mulai hilang dari bumi Madura, Topeng Dalang kembali menjadi seni pertunjukan rakyat dan mencapai puncak kesuburannya sampai tahun 1960-an. hal itu dapat dilihat dari banyaknya group seni pertunjukan. Pertumbuhan seniman, baik penari ataupun dalang,  dan juga  pengrajin topeng muncul di berbagai pelosok desa.

Wayang Topeng Madura (Sumber: Seputarmadura.com)

Memasuki dekade 1960-an, topeng dalang mengalami masa surut. Hal ini disebabkan oleh kondisi politik di Indonesia mengalami tragedi, sehingga banyaknya tokoh-tokoh topeng yang meninggal menjadi korban. Sementara regenerasi yang menguasai seni Topeng Dalang belum muncul.

Pada tahun 1970-an Topeng Dalang kembali bangkit dan itu tidak terlepas dari jasa dalang tua yang bernama Sabidin (dari Sumenep). Dalang tersebut mulai mengadakan revitalisasi Topeng Dalang, dan  sekaligus menngadakan peremajaan kader-kader muda yang berasal dari beberapa daerah di wilayah Sumenep. Regenerasi  diprioritaskan pada penguasaan materi pedalangan, dan juga  penari-penari topeng. Kerja keras dalang Sabidin membuahkan hasil, murid-muridnya hasil menguasai dan melestarikan kembali seni Topeng Dalang Madura.

Pada abad ke-18 topeng dalang yang semula merupakan teater rakyat, kemudian diangkat menjadi kesenian istana. Di dalam lingkungan istana, ragam hias topeng yang sederhana dimodifikasi kembali. Bentuk dan kehalusan ukirannya diperindah, begitu pula dengan seni karawitannya, seni pedalangan sekaligus pemanggungan/pementasan. Sehingga pada masa itu, merupakan masa berkembangnya sastra Madura. Apalagi hubungan antara raja Madura dengan kerajaan Mataram semakin erat, sehingga pengaruh Mataram tak dapat dielakkan lagi.

Perkawinan antara seorang keluarga kerajaan Mataram dengan keluarga Madura, yaitu Pangeran Buwono VII (1830-1850) dengan salah satu putri raja Madura (Bangkalan), semakin mengokohkan jalinan kekeluargaan. Karena mertuanya senang dengan topeng dalang, Paku Buwono VII memberikan hadiah seperangkat topeng lengkap dengan busana dan perlengkapannya. Kehadiran topeng hadiah dari Solo ini sedikit banyak berpengaruh pada seni topeng Madura, terutama kehalusan ukiran-ukirannya.

Fenomena trasformasi budaya ini yang membuat penulis memutuskan tidak memasukan topeng Jawa Tengah (khususnya Topeng Surakarta) sebagai bagian yang dikomparatifkan. Selain dari pada itu, topeng Surakarta dianggap sebagai topeng yang mengalami proses pengklasikan, sehingga menjadi bagian dari tradisi besar. Sementara yang sedang di kaji adalah budaya yang dikembangkan dalam tradisi kecil, yaitu tradisi masyarakat yang pada umumnya memiliki latar belakang yang sama yaitu budaya agraris.

 


Penulis             : R. Hidajat
Editor              : Harda Gumelar

Posting Komentar untuk "Topeng Madura dan Mitos Tokoh Baladewa (Bagian 3)"