Topeng Madura dan Mitos Tokoh Baladewa (Bagian 2)

Damariotimes. Setelah abad  XV, pusat pemerintahan kerajaan Majapahit pindah ke Jawa Tengah seiring dengan perkembangan agama Islam. Maka pengaruh budaya islam juga memberikan pengaruh besar pada masyarakat di  Madura. Unsur-unsur cerita yang dipentaskan, banyak menyelipkan penjabaran nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai moral, nilai filosofi yang berlandaskan ajaran Islam. bentuk-bentuk penggarapan topeng pun mulai dihubungkan dengan hasil modifikasi topeng yang dirancang pada era para wali, terutama dalam hal kesederhanannya, tetapi mitos tengang raja Baladewa yang diangap nenek moyang orang Madura juga masih diyakini oleh masyarakat. Sunarto Timoer menjelaskan asal usul Topeng Dalang Madura sebagai berikut:Berbeda dengan daerah Malang dan sekitarnya yang merupakan daerah pedalaman yang terisolasi, Madura adalah daerah pulau yang terbuka bagi pengaruh dari luar. Berkembangnya agama Islam di daerah pesisiran utara Jawa Timur yang sudah mulai sejak priode Majapahit akhir, pengaruh besar terhadap kehidupan sosial budaya dan kepercayaan  masyarakat Madura. Sebagai besar masyarakat Madura telah beralih memeluk agama baru itu, bahkan para adipatinya yang memerintah di Madura kemudian pun telah masuk agama Islam pula, diawali oleh Pangeran Secadiningrat III (-Jaka Thole), yang memegang pemerintahan di Sumenep 1415-1460.

Wayang Topeng Madura (Sumber: pulaumadura.com)

Oleh golongan agama yang baru ini, segala macam kesenian yang berbau kehidupan ditabukan. Juga pada awal kerajaan Islam di Jawa tengah setelah runtuhnya hegemoni Majapahit, para pemimpin Negara dan pemuka agama Islam telah berminat untuk memelihara kehidupan kesenian. Mereka lebih aktif dalam lapangan  politik dan da’wah untuk memasyarakatkan  agama Islam daripada lapangan-lapangan kemasyarakatan  lainnya. Inilah  sebabnya mengapa kesenian topeng dan wayang  kulit di Madura mengalami kemunduran yang pesat, dan akhirnya sempat  tenggelam dari permukaan kehidupan masyarakat. Baru setelah tampilnya  Sunan Kalijaga sebagai salah seorang orang dari sembilan Wali’ullah (Wali Sanga) di akhir abad XV awal abad XVI, keadaan menjadi berubah.

Sunan Kalijaga adalah seorang pemuka Islam yang sangat berpengaruh. Sebagai seorang  kelahiran pribumi, putra Ki Tumenggung Wilatika, Bupati Tuban, ia sangat mengenal watak serta jiwa masyarakatnya, masyarakat pribumi. Ia berpandangan jauh dan luas, besar toleransinya, pandai memanfaatkan segala cara dan keadaan dengan penuh kebijakan dan kearifan. Dalam usahanya menarik masyarakatnya, masyarakat pribumi. Ia berpandangan jauh dari luas, besar toleransinya, pandai memanfaatkan segala cara dan keadaan dengan penuh kebijakan dan karifan. Dalam usahanya menarik masyarakatnya memasuki agama Islam, ia tidak enggan menggunakan wayang kulit yang hinduistis namun telah membudaya dalam kehidupan rakyat itu, sebagai media penerangan yang efektif dalam rangka da’wah agama Islam di kalangan rakyat dan kaum bangsawan. Sudah barang tentu setelah jiwa dan isi falsafah lakonnya disesuaikan dengan nafas ajaran Islam. Jasa Sunan Kalijaga dalam bidang kesenian maupun kebudayaan tidak sedikit.

Cara kerja sang Wali yang unit di masa itu sangat menarik dan mendapatkan sembutan yang baik dari masyarakat. Dengan demikian kesenian wayang kutilt yang semula diharamkan orang, lantas timbul lagi, bahkan mendaptkan penyempurnaan-penyempurnaan yang tidak kepalang tanggung. Dalam kesempatan itu, cepat atau lambat, kesenian topeng pun bangkit kembali, di Jawa bagian tengan, bagian timur, dan tentunya juga di Madura. Inilah barangkali yang catat oleh B. Soelarto sebagai permulaan dikenalnya Topeng Dhalang  sebagai jenis teater topeng oleh masyarakat Madura (abad XV-XVI), yang sebenarnya adalah kebangkitannya kembali setelah cukup lama tertidur dengan lelapnya. Beberapa lama? Mengingat orang sudah tidak tahu lagi, bahwa kesenian topeng pernah ada sebelumnya, dapat kiranya kita perkirakan paling tidak dua generasi atau satu abad, kalau dihitung sejak permerintahan Pangeran Secaadiningrat II (Jaka thole) awal abad XV. Atau bahkan sangat  boleh jadi lebih awal lagi, sebab proses islamisasi di berbagai daerah Jawa Timur tidak dimulai dari kalangan keraton (raja maupun bangsawan lainnya), melainkan dari lapisan rakyat di bawah di daerah pesisiran, termasuk pulau Madura. Rombongan missi Islam pertama yang datang di Jawa Timur adalah dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim, yang seterusnya bermukim di Gersik sampai wafatnya pada tahun 1419 Masehi.

Kesenian topeng yang dibawa oleh Adipati Wiraraja dari Singasari ke Madura (Sumenep) tahun 1270-an itu niscaya dari jenis yang hidup dikalangan istana, jadi kesenian kerajaan. Hal ini adalah wajar, karena  Wiraraja semula adalah seorang pembesar kerajaan Singasari bernama Arya Banyak Wide, yang sangat dekat dengan raja Kertanegara.Dengan situasi di Madura yang relative cepat mengalami proses islamisasi, terutama di kalangan rakyat, sampatlah kesenian keraton berkembang meluas menjadi kesenian rakyat?. Hal ini tidak dapat diketahui dengan pasti, karena kurangnya data-data. Tetapi yang jelas, pada waktu sekarang ini terdapat dua jenis kesenian topeng di Madura, yaitu Topeng Dhalang dan Topeng Patengten. Topeng Dhalang Madura membawakan lakon Mahabarata dan Ramayana

 


Penulis             : R. Hidajat
Editor              : Harda Gumelar

Posting Komentar untuk "Topeng Madura dan Mitos Tokoh Baladewa (Bagian 2)"