Rebab Arbanat Musisi Penjual Arbanat Keliling Kampung

Pak Miari, sedang mewadahi gula-gula arbanat yang sedang dipesan anak-anak (Foto Ist.)
             DAMARIOTIMES - Miari, demikian laki-laki usia 47 tahun yang keliling antar sekolah menjajakan gula arbanat (gula kapuk), manisan (gula-gula) seperti serat fiber itu memiliki aroma yang harum dan terasa manis, anak-anak sangat menyukai.

Orang dewasa tampak tidak menaruh perhatian besar terhadap pedagang gula-gula keliling ini. Pasalnya sejak tahun 1950-an sudah banyak tersebar di Kota Malang ini. Beberapa etnograf dari Belanda juga mencatat profesi pedagang keliling ini, dimungkinkan manisan yang dijual keliling itu penganan kuna.

            Jika diperhatikan dari teknik pembuatannya, tidak berbeda dengan pembuatan ‘permen’ atau gulali. Hanya saja gulali menggunakan bahan baku gula. Arbanat tidak hanya gula, namun 30 % dicampur dengan tepung. Teknik pembuatannya seperti membuat mie tradisional cina. Apabila tidak ada alternative lain, mungkin juga penganan gula-gula tradisional ini juga berasal dari cina. Setidaknya sudah ada pada jaman raja-raja Jawa pada abad XVII. Mengingat pengaruh cina pada abad itu sangat kuat, bahkan Raja Brawijaya juga mempersunting wanita dari Campa.

Penganan gula-gula model itu mungkin saja kegemaran wanita-wanita dari tanah sebrang itu. Jika dibandingkan, gula-gula arbanat sangat berbeda dengan gula kapuk yang memiliki rasa Barat (Eropa).

            Gula-gula arbanat, merupakan jajanan tradisional yang sudah mulai langka. Di Malang kini tinggal 5-7 orang yang tersebar di berbagai wilayah. Mereka mulai keliling ke berbagai sekolah sekitar pukul 8. Sasaran utama pedagang gula-gula arbanat itu adalah kesekolah taman kanak-kanan dan sekolah dasar. Mungkin kalangan anak-anak itu yang menjadi konsumen yang paling besar, meningat pesaing dari pangan yang manis kurang kompetitif. Di samping harganya juga tidak mahal, hanya Rp. 1000,-  sudah dapat satu bungkus. Kurang lebih 50 gram. Walaupun demikian, jajanan gula-gula arbanat yang sudah langka ini juga perlu diwaspadai. Warna gula-gula arbanat ataupun gula kapuk tampak tidak alami, ada pewarna. Gula yang dicairkan diberikan pewarna, kadang orang tidak dapat mengenali secara cepat pewarna apa yang mereka gunakan. Semoga mereka tidak menggunakan pewarna tekstil, hal itu tentu sangat membahayakan kesehatan.

Pedagang Arbanat

            Pedagang gula-gula arbanat ini sejak tahun 1950-60-an hingga kini tampak tidak mengalami perubahan yang besar. Pada umumnya mereka mengenakan pakian yang gelap, kadang bagian atas mengenakan pakaian baju Madura. Di dalamnya mengenakan kaus atau kemeja warna muda atau terang. Tempat gula-gula terbuat dari kaleng bekas minyak kelapa yang dimodivikasi sedeimikian rupa, sehingga di bagian atasnya ada pembuka, di bagian depan ada kaca tembus pandang. Gula-gula arbanat dapat terlihat dengan jelas. Di bagian samping ada tempat mengkait gula-gula yang tebuat dari garpu, sementara bagian sisi kiri ada bagian yang ditutup seperti penutup kaleng krupuk, itu tempat uang.

           Alat untuk menarik perhatian masyarakat, utamanya anak-anak adalah rebab. Rebab itu memiliki dua dawai yang larasnya mendekati laras selendro. Jika diperhatikan cara memainkan yang diletakan di pinggang, rebab ini lebih dekat dengan rebab cina dari pada rebab Jawa. Ini tentu masih menarik bagi para peneliti ornanologi. Sungguhpun secara fenomena tidak mempunyai isu yang kuat, jika hal ini dilacak asal –usulnya tentu tidak memberikan pengaruh yang besar pada rebab Jawa yang sudah sangat canggih.

            Alat sederhana yang dapat menyuarakan melodi berbagai macam lagu, baik lagu langgam Jawa atau lagu-lagu pop, terlebih lagu-lagu Banyuwangi. Terdengar sangat menarik, sepanjang jalan yang dilalui terasa sangat terhibur. Miari yang tinggal dekat rel kereta api di kampung Mergosono itu sudah lebih dari 15 tahun. Dia mengaku berasal dari Lamongan, keluarganya memang penjual gula-gula arbanat di berbagai kota di Jawa Timur.

Pada tahun 1960-an, ayahnya berjualan di Surabaya. Sekarang dia bergabung dengan beberapa teman dari beberapa kota, seperti Kediri, Sidoarjo, dan Tulungagung. Bahkan kepiawaian pak Miari menggesek biola arbanat itu tidak karena ayahnya, namun belajar dari temannya Tukino. Dia berasal dari Tulungagung, berbaai jenis musik, terutama langgam Jawa sungguh sangat jago. Saya membayangkan, alat musik langka ini jika dapat diproduksi dan diajarkan di sekolah dan diciptakan ensambel gesek biola arbanat sungguh sangat menarik. Sekolah-sekolah tentu tidak mengharapkan gula-gula arbanat yang mungkin tidak sehat, namun alat musik itu menjadi kekayaan lokal yang nilainya tentu tidak dapat diabaikan begitu saja.

 


Reporter          : Harda Gumelar
Editor              : Marsam Hidajat

Posting Komentar untuk "Rebab Arbanat Musisi Penjual Arbanat Keliling Kampung"