Tradisi Baritan Ritus Tahun Baru Jawa, Menyatukan Manusia, Alam, Dan Tuhan

DAMARIOTIMES - Baritan atau sebutan lainnya seperti Barikan dan sebagainya merupakan sebuah ritus yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dalam menghadapi setiap pergantian tahun. Ritus ini dilakukan setiap menyongsong tahun baru Jawa baik yang menggunakan pedoman Asapon (Alip Selasa Pon) maupun Aboge (Alip Rabo Wage). Masyarakat melaksanakan ritus ini sesuai dengan tempatnya yakni di setiap perempatan jalan yang ada di kampung masing masing. Mengapa dilakukan di perempatan? Barangkali pertanyaan ini sering muncul dikalangan kaum millennial atau kaum muda.


Ritus Sura Baritan (Foto: Maryani)


            Dalam edukasi budaya jawa terdapat selogan “Empan Gawa Papan”. Barangkali inilah salah satu alasan mengapa Baritan dilaksanakan di perempatan jalan. Bagi masyarakat Jawa yang masih memedomani budayanya permohonan akan lebih yakin jika dilaksanakan di tempat yang sesuai dengan tujuannya. Misalnya ritus “methik” dilakukan di sawah sebagai bentuk rasa sukur kepada tuhan dan penghormatan kepada tanaman Padi; Nyekar atau geren dilakukan di makam sebagai bentuk permohonan kepada tuhan untuk orang yang di makamkan di tempat tersebut; Nyadran dilakukan di tempat sadranan atau tempat cikal bakal wilayahnya yang biasanya ditandai dengan pohon yang besar sebagai wujud rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan atas dan untuk keselamatan dalam hidupnya, sekaligus penghormatan kepada leluhur yang sudah berjasa dan alam yang sudah membantu memenuhi kebutuhan hidupnya.

            Demikian pula Baritan dilakukan di perempatan jalan dan dilakukan saat pergantian tahun yakni sore hari (Sehabis Maghrib) saat matahari sudah terbenam dan munculnya bulan sabit yang pertama di bulan sura. Ritus ini mengandung maksud ungkapan rasa sukur atau terima kasih kepada Tuhan atas segala pancaran kasih sayangnya selama tahun yang sudah dilalui dan permohonan doa kepada tuhan agar ditahun yang akan dilaluinya mendapatkan pancaran segala cinta kasih Tuhan, sehingga dihindarkan dari mala petaka.

            Perempatan merupakan simbol persimpangan mengandung maksud bahwa di tempat tersebut merupakan pertemuan dari delapan arah mata angin baik timur, selatan, barat, utara, timur laut, tenggaradan barat daya. Hal ini mengandung maksud bahwa aktivitas warga yang selalu melewati arah tersebut untuk mencampai tujuan dan mencukupi kebutuhan hidup diharapkan mendapat keselamatan dan terhindar dari marabahaya.

            Oleh sebab itu dalam Ujuban kenduri sering disebut makhluk Tuhan yang menguasai baik itu tanah (Baginda Ilyas), air Baginda Kidlir), angin (Baginda Bayu), api (Baginda agni), hewan piaraan (Nyai Dhadhung awuk Kaki Dhadhung Awuk), penguasa jalan (Nyai Sambang dalan Kaki Sambang dalan) dan para leluhur yang mendahului kehidupan wilayah tersebut disebutkan. Penyebutan tersebut merupakan manifestasi penghargaan kepada mereka agar mendaptkan ridho dari tujuan doa yakni Tuhan yang maha Kuasa.

            Saat ritus Baritan dilaksanakan seluruh warga berkumpul di perempatan jalan dan baik yang tidak mampu berkumpul mereka akan keluar rumah berada di depan rumah masing-masing. Mereka baik yang tua, muda, anak anak,  laki maupun perempuan bersatu padu berkumpul dengan membawa Uba Rampe Ambengan yang ditempatkan di “Takir Plontang” (Takir terbuat dari daun pisang dan dihias janur menyilang) sejumlah anggota keluarganya. Sesepuh lingkungan biasanya menyedikan Buceng Petren beberapa bubur (Bubur sura, bubur sepuh, bubur sengkala, bubur merah, bubur putih maupun bubur mancawarna)


Kegiatan dilaksanakan di perempatan jalan desa (Foto: Maryani)

              

            Esensi ritus Baritan ini syarat edukasi terhadap manusia, yakni bagaimana tetap mempertahankan persatuan, kegotongroyongan karena saat tiba waktunya tanpa dikomando masyarakat berduyun-duyun berkumpul di perempatan. Edukasi bagaimana menghargai sesama umat tuhan baik yang nampak maupun yang tidak nampak, karena pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup sendirian. Edukasi bagaimana penghargaan terhadap alam, penghargaan terhadap leluhur dengan tidak melupakan sejarah dan bagaimana hubungan manusia dengan Tuhannya (Mensyukuri nikmat dan memohon keselamatan)

            Baritan tahun ini bertepatan dengan pergantian hari bulan dan tahun, yakni berakhirnya hari Selasa Pon bulan Besar Tahun Jimakir windu Sengara menuju hari Rabu bulan Sura tahun Alip windu Sancaya, merupakan hari yang sangat istimewa bagi warga masyarakat Jawa karena selama Windu Sengara (8 Tahun) dirasakan banyak musibah menuju Windu Sancaya diharapkan musibah segera berakhir dan digantikan oleh Tuhan dengan cahaya kemakmuran, keselamatan, kebahagiaan dan tentu kesuksesan dalam segala hal sesuai dengan tempat dan profesi masyarakat sekitarnya.

            Masih banyak masyarakat yang meyakini bahwa perubahan waktu baik hari bulan tahun maupun windu akan berpengaruh terhadap kondisi alam. Kondisi alam akan sangat mempengaruhi kondisi kehidupan baik manusia maupun makhluk lainnya. Oleh sebab itu, pergantian tahun ini yakni berakhirnya tahun Jimakir windu Sengara menuju tahun Alip awal dari Windu Sancaya, masyarakat dan tentu kita semua berharap pagebluk atau pandemi Covid 19 yang melanda dunia ini segera diakhiri oleh Tuhan dan digantikan dengan Kebahagian, kesuksesan, kedamaian dan kehidupan yang penuh dengan keharmonisan baik lahir maupun batin.

            Di bawah ini saya lampirkan foto kegiatan Ritus Baritan yang diadakan diperempatan RW. 3 desa Mangunan Kecamatan Udanawu Kabupaten Blitar yang menjadi tempat berkumpulnya sebagian warga RT. 1/RW. 3, RT. 2/RW. 3 RT. 3/RW. 3, RT. 4/RW. 3 dan RT. 1/RW. 4. Mengapa sebagian karena di desa Mangunan terdapat beberapa perempatan ketika berlangsungnya pergantian tahun baru Jawa dipakai sebagai tempat berkumpulnya masyarakat untuk melakukan Ritus 1 Sura yakni Baritan.

            Setelah melakukan Ritus Baritan masyarakat akan melaksanakan ritus pribadi yakni dengan melakukan “Melekan” (tidak tidur semalam suntuk) sambil berdoa untuk keselamatan pada kehidupan ditahun yang akan dilaluinya.

            Selama bulan sura biasanya banyak ritus yang dilakukan oleh masyarakat seperti Tapel Adaman, Mandi di sungai tempur, Ritus Purnama, Jamasan Pusaka, wejangan kawruh  maupun Ritus Purnama Tilem. Semuanya dilakukan untuk memohon kepada Tuhan yang Maha Esa dan penghargaan terhadap makhluk Tuhan yang lain baik yang nampak maupun yang tidak nampak dan dilaksanakan sesuai dengan “Empan Papan” nya’

 

 

Penulis            : Maryani
Penasehat Dewan Seni Budaya 
Kab. Blitar dan Penasehat FPK Jatim
Editor             : Robby Hidajat

Posting Komentar untuk "Tradisi Baritan Ritus Tahun Baru Jawa, Menyatukan Manusia, Alam, Dan Tuhan"