![]() |
| seni dan pendidikan di era kontemporer (foto ist.) |
Damariotimes. Pendidikan seni di era modern kian bergerak menjauh dari hakikatnya. Isu sentral yang kini mendera bukan lagi seputar adaptasi kurikulum yang relevan, melainkan sebuah bahaya besar: dikotomi yang brutal antara substansi kreatif yang otentik—jiwa dari sebuah karya seni dengan kepentingan pragmatis dan instrumental pengembangan model serta metode ajar. Kita tengah menyaksikan sebuah proses dramatis di mana karya seni, yang sejatinya merupakan hasil olah rasa, pengalaman sublimatif, dan proses kreatif mendalam seorang seniman, direduksi fungsinya menjadi sekadar kendaraan yang ditunggangi demi mencapai tujuan pendidikan yang terukur, terkotak-kotak, dan terkadang hampa makna.
Meninjau
Jebakan Modernisme dan Reduksi Karya Seni
Ideologi
modernisme dalam pendidikan cenderung mendewakan sistematisasi, efisiensi, dan
keterukuran. Ketika prinsip ini merangsek masuk ke ruang pendidikan seni, ia
menciptakan sebuah paradox yang merusak. Pengembangan model dan metode ajar,
betapa pun inovatifnya klaim mereka, seringkali mendekati karya seni utuh
dengan niat tunggal: untuk memisah-misahkannya dan mengembangkannya sebagai
'potensi pembelajaran'. Dalam konsep ini, karya seni tidak lagi dilihat sebagai
entitas spiritual dan estetis yang paripurna, melainkan sebagai sumber daya
mentah yang dapat diolah.
Ironisnya,
proses ini secara diam-diam merelakan karya hanya dimanfaatkan secara
instrumental, tanpa memikul beban untuk memahami atau mengapresiasi secara
mendalam substansi, persoalan estetis, atau proses sublimatif yang telah
diperjuangkan oleh sang seniman dalam ruang kreatifnya. Ambil contoh fenomena
ketika sebuah praktik seni tradisi, seperti Topeng Malangan, 'diangkat' menjadi
studi kasus atau model pembelajaran. Setelah proses pedagogis selesai, yang
tertinggal bukanlah pemahaman mendalam tentang mitologi topeng, sejarah
sosialnya, atau pergulatan seniman/dalang, melainkan hanya cerita dari
pengembang model atau metode tentang bagaimana ia berhasil memilah gerak,
musik, atau tata busana topeng tersebut untuk mencapai target Kompetensi Dasar
(KD) tertentu. Esensi artistik, makna filosofis terdalam, dan otentisitas
spiritual yang melekat pada karya tersebut pun menguap, meninggalkan kerangka
metodologis yang kering.
Mengubah
Budaya Menjadi Materi Ajar
Inti
persoalan ini menjadi sangat telanjang dan menyakitkan ketika kita mengamati
bagaimana seni pertunjukan diperlakukan di dalam sistem pendidikan formal.
Ketika dimasukkan ke dalam ruang kelas, ia mengalami proses yang kritis disebut
pedagogisasi. Ini adalah sebuah transformasi—bukan evolusi—dari praktik
budaya yang hidup dan dinamis menjadi materi ajar yang kaku, terfragmentasi,
dan steril.
Seni
pertunjukan, yang merupakan kesatuan utuh antara energi, relasi sosial, dan
pengalaman estetik komunal, dipaksa untuk dipecah. Gerak-gerik tubuh, struktur
musik, pola ritmik, bahkan alur dramaturgi, dipilah-pilah menjadi unit-unit
pembelajaran (learning units)
yang harus diajarkan secara bertahap, linear, dan yang paling ditekankan, dievaluasi
secara terukur berdasarkan rubrik penilaian.
Seperti
yang dikritik keras oleh Hadi (2014) dalam konteks ini, konsekuensi langsung
dari pemilahan yang terobsesi pada keterukuran adalah sangat merugikan bagi
jiwa seni:
Dimensi
krusial seperti pengalaman estetik, relasi sosial, serta makna simbolik
yang melekat pada praktik seni pertunjukan sering kali ditempatkan sebagai aspek
tambahan, sebagai bumbu pelengkap, yang ironisnya tidak menentukan inti
pengetahuan yang harus dikuasai oleh siswa.
Fokus
pengajaran pun bergeser secara radikal. Ia beralih dari tujuan luhur bagaimana
seorang siswa dapat merasakan, memahami kedalaman simbolis, dan mengalami karya
secara utuh menjadi bagaimana seorang siswa dapat mengukur komponen
fisiknya—berapa kali dia mampu melakukan gerak X, atau seberapa akurat dia
memainkan not Y. Pendidikan seni modern, dengan obsesi sistematika dan
standardisasi, secara tidak sadar namun efektif, membunuh jiwa, otentisitas,
dan energi estetis dari karya itu sendiri. Seni, yang seharusnya menjadi
ruang eksplorasi bebas, terjerat dalam area pendidikan yang asing, terasing,
dan kering dari roh sublimasi.
Membangkitkan
Kembali Pendidikan Seni yang Sublimatif
Maka,
sudah saatnya kita menyadari dan berani keluar dari jebakan pendidikan modern
yang hanya berfokus pada proses demi proses, model demi model, tanpa
mempertanyakan substansi yang dikorbankan. Pendidikan seni yang sesungguhnya
harus menolak keras dikotomi yang menempatkan karya seni hanya sebagai alat
bantu ajar.
Pendidikan
seni wajib hukumnya untuk kembali menghormati dan menyelami sublimasi,
kedalaman estetis, dan proses kreatif orisinal seniman sebagai inti
pengetahuan yang wajib dipelajari, bukan sekadar pelengkap metodologis yang
bisa dibuang setelah evaluasi selesai. Sublimasi adalah proses mentransformasi
pengalaman dan emosi menjadi bentuk seni; proses ini harus diajarkan, bukan
hasilnya yang dipecah-pecah.
Tanpa
adanya penghormatan mendalam pada substansi, yang akan tersisa dari pendidikan
seni hanyalah kurikulum tanpa jiwa, model pembelajaran yang hanya menjadi kisah
pameran bagi pengembangnya, dan generasi siswa yang mampu meniru teknik tetapi
gagal merasakan esensi seni. Tugas kita adalah mengembalikan hakikat seni di
ruang kelas: dari sekadar diukur, menjadi kembali dirayakan dan dialami secara
utuh.
Kontributor Kota Batu: Mounit

Posting Komentar untuk "Kritik atas Pedagogisasi Karya Seni dan Modernisme Pendidikan"