![]() |
| Penulis dan buku Seabad Stadion Gajayana Malang (Foto ist.) |
Damariotimes.
Kota Malang sering kali dijuluki sebagai Paris van East Java, namun
identitas sejatinya tidak hanya terletak pada keasrian tata kota peninggalan
kolonial, melainkan pada semangat "Mbois" yang telah mendarah daging
sejak dahulu kala. Buku Seabad Stadion Gajayana yang ditulis oleh empat
puluh penulis lintas disiplin ini bukan sekadar catatan kronik sebuah bangunan
fisik, melainkan sebuah narasi besar tentang bagaimana Stadion Gajayana menjadi
pusat gravitasi budaya, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat Malang. Memahami
Stadion Gajayana berarti memahami jantung kota yang telah berdetak selama
seratus tahun, menjadi saksi bisu transformasi rupa dari sebuah Sportparkbedrijf
di era 1924 hingga menjadi simbol modernitas yang tetap menjaga marwah
"Arek Malang".
Secara
arsitektural, Stadion Gajayana adalah bukti nyata dari perkembangan tata ruang
kota yang dinamis. Melalui perspektif para arsitek dan pemerhati sejarah, kita
diajak melihat bagaimana stadion ini bertransformasi dari bentuk awalnya yang
kental dengan pengaruh politik etis dan desentralisasi pemerintahan Gemeente
Malang, hingga mengalami berbagai renovasi signifikan pada tahun 1990-an dan
2006. Transformasi ini bukan sekadar perubahan beton dan rumput, melainkan
upaya reinkarnasi spirit lokal dalam rupa modern. Stadion ini berfungsi sebagai
konsentris kota yang menyatukan berbagai lapisan masyarakat, menjadi ruang
publik di mana arsitektur bertemu dengan memori kolektif, menciptakan apa yang
disebut sebagai "Stadion Gajayana Reborn" yang tetap setia pada jejak
sejarahnya sebagai stadion tertua di Indonesia.
Lebih
dari sekadar arena olahraga, Stadion Gajayana memiliki kontribusi positif yang
luar biasa dalam merawat keberagaman dan nilai-nilai kemanusiaan. Buku ini
menggambarkan stadion sebagai "Mangkuk Keragaman", di mana fanatisme
sepak bola (footballism) bersanding dengan
humanisme. Di sinilah nasionalisme membara saat Bung Tomo melakukan orasi
perjuangan, dan di sini pula kerukunan lintas iman terjaga melalui berbagai
upacara keagamaan, seperti janji kudus gembala umat Katolik yang bergema di
tengah stadion. Kontribusi sosial ini membuktikan bahwa Stadion Gajayana adalah
perekat kohesi sosial yang efektif, sebuah ruang di mana perbedaan identitas
melebur dalam kebanggaan yang sama atas nama Malang.
Dalam
dimensi pembangunan kota, Stadion Gajayana telah menjelma menjadi motor
penggerak ekonomi kreatif dan pusat ekspresi budaya. Stadion ini tidak hanya
melahirkan legenda sepak bola, tetapi juga menjadi panggung raksasa bagi
kebangkitan musik rock, festival seni tari massal, hingga pemecahan rekor dunia
melalui Malang Sound of Unity. Aktivitas ini memberikan dampak nyata
pada subsektor ekonomi kreatif, di mana stadion berfungsi sebagai ruang
inkubasi bagi para seniman dan pelaku industri budaya. Gagasan untuk menjadikan
kawasan ini sebagai pusat Gallery, Library, Archive, and Museum (GLAM)
serta pendirian Museum Sepak Bola menunjukkan visi ke depan untuk menjadikan
sejarah sebagai aset pembangunan yang berkelanjutan, memastikan bahwa Stadion
Gajayana tetap menjadi "stadion bertuah" yang menghimpun kebersamaan
dan kebahagiaan bagi warga Malang di abad-abad berikutnya.
Penulis: R.Dt.

Posting Komentar untuk "Buku "Satu Abad Stadion Gajayana": Mozaik Identitas, Ruang Inklusif, dan Jangkar Peradaban Kota Malang"