![]() |
| Ujian Matakuliah Metode Penelitian Seni Pertunjukan di UNESA (Foto ist.) |
Damariotimes.
Suasana akademis yang intens menyelimuti gedung rektorat Universitas Negeri
Surabaya (UNESA) pada 23 November 2025. Di sana, dalam ruang kuliah Metode
Penelitian Seni Pertunjukan yang diampu oleh Prof. Dr. H. Setya Yuwana, M.A., para mahasiswa S3 Pendidikan Seni
tengah menyampaikan pokok-pokok pikiran mereka. Salah satu gagasan yang menarik
perhatian dilontarkan oleh Muhammad
Sirojul Muniir, mahasiswa dari Batu, Malang, yang menggarisbawahi
pentingnya pertunjukan agraris sebagai pondasi kebijakan kebudayaan.
Negara
kepulauan Indonesia, yang secara historis memiliki akar yang kuat dalam sektor
agraris, menyimpan khazanah budaya yang tak terpisahkan dari siklus kehidupan
pertanian. Di tengah deru globalisasi dan arus modernisasi yang kerap mengikis
tradisi, pertunjukan agraris—yang
mencakup semua bentuk seni, ritual, dan perayaan yang tumbuh dari interaksi
manusia dengan alam, serta siklus tanam dan panen—tidak lagi sekadar dipandang
sebagai hiburan sesaat atau warisan usang. Sebaliknya, Muniir menekankan bahwa ornamentasi atau pengayaan serta
penempatan strategis pertunjukan-pertunjukan ini dalam bingkai kebijakan
kebudayaan nasional dapat menjelma menjadi landasan yang sangat kokoh bagi arah
kebudayaan Indonesia di masa depan. Fokusnya bukan sekadar pada aksi
pelestarian tarian sawah atau upacara bersih desa, melainkan pada pengakuan dan
pemanfaatan daya rekat filosofis dan kultural mendalam yang terkandung di
dalamnya.
Meresapi Kedalaman Filosofis dalam Setiap Gerak dan
Ritual
Pertunjukan
agraris menyimpan kedalaman makna yang luar biasa, berabad-abad diwariskan dari
generasi ke generasi. Di dalamnya terajut erat kearifan lokal yang bertindak sebagai pemandu dalam mengatur
hubungan yang harmonis antara entitas manusia, alam, dan kekuatan Tuhan.
Sebagai ilustrasi, kita dapat menyaksikan tarian penyambutan panen atau
berbagai ritual penolak hama. Setiap gerakan yang diekspresikan, setiap irama
yang dimainkan, dan setiap narasi yang dibawakan adalah cerminan hidup dari etika lingkungan yang menjunjung
tinggi prinsip keseimbangan ekologis, rasa syukur yang mendalam, dan kesadaran
penuh akan keterbatasan sumber daya alam.
Secara
filosofis, pertunjukan-pertunjukan ini berfungsi sebagai representasi kosmos petani yang utuh.
Di sana tersembunyi pelajaran berharga tentang kesabaran yang tak terbatas—seperti kesabaran menunggu musim yang
tepat, semangat gotong royong
yang termanifestasi dalam kerja bersama di ladang, serta penghargaan yang tulus terhadap setiap
tetes kerja keras. Ketika elemen-elemen sarat makna ini secara sengaja "di-ornamentasi" ke dalam
kebijakan kebudayaan, hal itu menuntut kebijakan tersebut untuk secara
eksplisit mengakui dan mempromosikan nilai-nilai inti ini sebagai penentu utama
karakter bangsa. Dengan
demikian, kebijakan kebudayaan yang bersandar pada fondasi pertunjukan agraris
adalah sebuah deklarasi untuk mendefinisikan "kebudayaan" bukan
sebagai artefak yang membisu di museum, melainkan sebagai cara hidup yang lestari,
berkelanjutan, dan bermartabat.
Menjadikan Agraris sebagai Modal Sosial dan Ekonomi
Kreatif
Pengangkatan
pertunjukan agraris sebagai fondasi kebijakan kebudayaan juga menjanjikan
keuntungan yang sangat praktis, khususnya dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pengembangan ekonomi kreatif. Ketika pertunjukan-pertunjukan berharga ini
diangkat statusnya, didokumentasikan dengan baik, dan diintegrasikan secara
profesional ke dalam sektor pariwisata dan ekonomi, mereka secara otomatis
menciptakan nilai ekonomi baru
yang mengalir langsung ke masyarakat pedesaan.
Dalam
kerangka Ekonomi Kreatif Berbasis
Budaya, ornamentasi adalah proses pengemasan warisan ini menjadi produk
budaya yang memiliki daya jual tinggi. Ini dapat diwujudkan melalui
penyelenggaraan festival budaya agraris
dalam skala nasional hingga internasional, pengembangan desa wisata budaya yang otentik, atau bahkan penciptaan konten
digital yang menceritakan narasi-narasi agraris secara menarik. Langkah-langkah
ini secara langsung berpotensi meningkatkan kesejahteraan petani dan seniman di
desa, menyediakan insentif baru bagi generasi muda agar bersedia memelihara
warisan leluhur mereka, sekaligus melawan stigma sosial yang melekatkan bertani
sebagai pekerjaan yang kurang bergengsi. Di sisi lain, sebagai Modal Sosial, pertunjukan dan ritual
agraris yang melibatkan partisipasi seluruh komunitas, efektif berfungsi
sebagai medium untuk memperkuat kohesi
sosial. Kebijakan kebudayaan yang mendukung pelaksanaan rutin
ritual-ritual ini turut andil dalam menjaga ikatan komunal yang kuat, sebuah
aspek yang krusial di tengah derasnya arus individualisme global, demi mencegah
terjadinya disintegrasi sosial.
Menyeimbangkan Tantangan dan Merumuskan Arah
Kebijakan
Tentu
saja, menjadikan ornamentasi pertunjukan agraris sebagai fondasi kebijakan bukanlah
perjalanan tanpa hambatan. Tantangan terbesar yang harus diwaspadai adalah
risiko komersialisasi berlebihan
yang berpotensi mengikis makna sakral dan otentik dari ritual-ritual tersebut.
Oleh karena itu, kebijakan kebudayaan harus memosisikan dirinya sebagai penjaga otentisitas, memastikan bahwa
dukungan dan promosi yang diberikan tidak akan mereduksi ritual luhur menjadi
sekadar komoditas hiburan yang dangkal.
Muniir
menggariskan bahwa kebijakan harus berpegangan pada tiga pilar utama: pertama, Revitalisasi dan Dokumentasi, yaitu
memberikan dukungan penuh kepada komunitas adat dan petani untuk menghidupkan
kembali pertunjukan yang terancam punah, yang harus disertai dengan dokumentasi
ilmiah dan artistik yang komprehensif; kedua, Edukasi dan Integrasi Kurikulum, yang bertujuan mengintegrasikan
nilai-nilai dan narasi dari pertunjukan agraris ke dalam kurikulum pendidikan
formal maupun informal, sehingga menanamkan penghargaan yang mendalam terhadap
sektor pangan dan budaya sejak usia dini; dan ketiga, Hilirisasi dan Jaringan, yang berfokus pada pembentukan jaringan
kerja yang kuat antara pelaku seni agraris, industri pariwisata, dan lembaga
pendidikan, guna menciptakan pasar yang etis dan berkelanjutan bagi ekspresi
budaya ini.
Sebagai
penutup, ia menegaskan bahwa dalam konteks kebijakan kebudayaan, pertunjukan
agraris adalah jangkar identitas
yang tak tergantikan bagi bangsa Indonesia. Ia menyajikan narasi yang jelas dan
kuat tentang esensi diri kita: sebuah masyarakat yang hidup dari, dan memiliki
penghormatan yang tinggi terhadap, tanah. Dengan meng-ornamentasi kekayaan
ini—yakni dengan memberikan posisi yang strategis, dukungan kelembagaan yang
kuat, dan apresiasi yang layak—kita tidak hanya melestarikan warisan seni
semata, tetapi juga secara mendalam memperkuat filosofi hidup yang bercirikan keberlanjutan, egaliter, dan penuh
rasa syukur. Fondasi kebudayaan yang sesungguhnya kokoh adalah fondasi yang
berpijak teguh pada bumi, dan bumi itu terwujud nyata dalam sawah, ladang, dan
setiap pertunjukan agraris yang memberi kehidupan di atasnya.
Reporter: R.Dt.

Posting Komentar untuk "Ornamentasi Pertunjukan Agraris: Fondasi Kebijakan Kebudayaan"