![]() |
| Belajar dengan seni, belajar melalui seni, belajar untuk seni (sumber IA) |
Damariotimes.
Pendidikan seni di Indonesia kini berada di persimpangan jalan yang penuh
tantangan dan paradoks. Tantangan ini semakin rumit karena pentingnya seni sering kali hanya diakui oleh mereka
yang sudah berkecimpung di dalamnya, sementara di ranah publik yang lebih luas,
visibilitas dan pengakuan substansial masih minim. Salah satu kebingungan yang
muncul adalah tendensi untuk menyamakan—atau bahkan membenturkan—potensi konsep pendidikan dengan potensi konsep berkarya seni itu
sendiri. Upaya perluasan bidang memang penting untuk relevansi zaman, namun
perluasan ini tidak boleh bersifat spontan; ia harus didorong oleh fakta, data, dan analisis mendalam, bukan
sekadar hasil diskusi sesaat yang mengabaikan substansi.
Trinitas Pendidikan Seni
Pendidikan
seni di Indonesia sesungguhnya dikejar melalui sebuah kendali filosofis yang mendalam, sebuah arahan konseptual yang
bertujuan membentuk individu seutuhnya, selaras dengan pemikiran tokoh
progresif seperti Herbert Read
dan Elliot Eisner. Fondasi arah ini
terwujud dalam sebuah kerangka konseptual yang dikenal sebagai Trinitas Pendidikan Seni Trinitas ini
membagi tujuan pendidikan seni ke dalam tiga wilayah utama yang saling terkait:
yang pertama adalah Pendidikan Melalui
Seni, di mana proses kreatif seni dijadikan medium utama untuk
mengembangkan kemampuan kognitif, pemecahan masalah, dan literasi di berbagai
disiplin ilmu lainnya. Ini menekankan seni sebagai sarana pedagogis universal. Kedua adalah Pendidikan Dengan Seni, yang berfokus pada seni sebagai konten
atau disiplin ilmu itu sendiri; ini mencakup penguasaan teknik, pemahaman
sejarah, dan apresiasi mendalam terhadap bahasa artistik tertentu. Tujuan
ketiganya adalah Pendidikan Untuk Seni,
yang berakar pada nilai intrinsik seni, yaitu menumbuhkan pertumbuhan pribadi, sensitivitas
estetika, dan ekspresi diri yang otentik, menjadikannya alat utama untuk
membentuk manusia yang seimbang secara emosional.
Inti
dari Trinitas ini adalah spektrum luas pengembangan manusia, mulai dari
keterampilan praktis hingga pemahaman filosofis. Namun, kompleksitas tujuan
yang kaya ini memunculkan pertanyaan krusial: apakah fungsi vital ini, yang
begitu kaya akan spektrum tujuan, berhak dibekukan menjadi sesuatu yang kokoh dan statis? Seni, pada
esensinya, adalah proses yang cair dan responsif terhadap zaman. Jika kerangka
filosofis ini dibakukan secara kaku, ia akan kehilangan daya kritisnya dan
gagal merespons konteks sosial
yang terus berubah. Lebih lanjut, menjalankan ketiga peran tersebut secara
bersamaan—menjadi medium, disiplin ilmu, sekaligus katalis pertumbuhan—adalah
sebuah tugas yang berat dan menantang,
terutama dalam konteks evaluatif yang sering kali terlalu mengukur hasil akhir
daripada proses kontemplatif yang diinginkan. Oleh karena itu, Trinitas ini
harus dipahami sebagai panduan dinamis yang menuntut refleksi berkelanjutan,
bukan sebagai doktrin yang kaku.
Peran Ganda dan Kontemplasi
Menghadapi
kompleksitas ini, muncul keharusan untuk memahami upaya pendidikan seni secara
lebih kontemplatif dalam
menjalankan peran gandanya:
yaitu sebagai fasilitator proses kreatif dan sebagai pembentuk kesadaran kritis. Beban ini semakin berat
karena harus berhadapan dengan persoalan
konteks (sosial, historis) yang melingkupinya, sekaligus harus memiliki
instrumen evaluatif yang valid
untuk mengukur keberhasilannya.
Seni,
pada hakikatnya, adalah wilayah refleksi. Maka, pertanyaan filosofis yang
menggantung adalah: Sampai manakah seni
itu berkontemplasi? Jawaban atas kontemplasi ini bukanlah sesuatu yang
menunggu kepastian, melainkan sebuah pencarian aktif—sebuah eksplorasi yang
menarik. Mengakui dan menjelajah lebih lanjut kerumitan antara struktur
kurikulum, substansi karya, dan fungsi sosial pendidikan seni adalah kunci
untuk menjaga relevansi dan kedalaman wilayah seni itu sendiri.
Penulis: R.Dt.

Menurut saya bagi para pendidik, seniman, pembuat kebijakan, sekaligus siswa, artikel ini bisa menjadi pemantik refleksi apa sebenarnya tujuan pendidikan seni dan bagaimana kita menjalankannya agar relevan dengan zaman dan tetap berakar pada nilai seni itu sendiri.
BalasHapusWah, artikel DamarioTimes ini keren banget, bahas kontemplasi pendidikan seni yang sering terbentur struktur tapi juga punya potensi besar
BalasHapusPenulis menyadari bahwa pendidikan seni tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang statis atau mekanis ia harus bersifat dinamis, responsif terhadap konteks sosial & historis.
BalasHapusArtikel ini menekankan bahwa pendidikan seni bukan hanya soal teknik, tetapi ruang kontemplasi yang menautkan seni dengan realitas sosial dan historis. Gagasannya kuat, namun akan lebih hidup jika dilengkapi contoh konkret penerapan dan tantangan pendidikan seni di praktik lapangan.
BalasHapusPada artikel ini, ternyata pendidikan seni sangat penting oleh karena itu di dalam kurikulum sekarang juga memasukkan mengenai pendidikan seni
BalasHapusSetelah saya membaca artikel ini jadi tahu bahwa pendidikan seni di Indonesia itu penuh tantangan dan paradoks. Hal ini terjadi karena pentingnya seni hanya diakui oleh mereka yang sudah berkecimpung didalamnya, sementara di tanah publik yang lebih luas, visibilitas dan pengakuan substansial masih minim.
BalasHapusSebuah refleksi filosofis yang kuat mengenai Pendidikan Seni di Indonesia. Tantangan pengakuan publik dan menguraikan konsep Trinitas Pendidikan Seni (Melalui Seni, Dengan Seni, dan Untuk Seni). Mengingatkan bahwa kerangka ini harus dipahami secara dinamis dan membutuhkan kontemplasi berkelanjutan agar seni tetap relevan dan tidak kehilangan daya kritisnya dalam konteks sosial yang berubah.
BalasHapusartikel ini membahas tentang kontemplasi pendidikan seni yg sering terbentur struktur tetapi juga mempunyai potensi besar
BalasHapusdari artikel diatas kita dapat mengetahui penjelasan dari Kontemplasi Pendidikan Seni di Tengah Jeratan Struktur dan Potensi
BalasHapus