Jebakan "Viral": Ketika Wisata Urban Dibanjiri "Bukti Sosial" dan Keterjebakan FOMO

 


kerungunan dan atria pengunjung yang penasaran bukti sosial (Foto ist.)



Damariotimes. Fenomena keramaian luar biasa di lokasi wisata urban, yang seolah terjadi secara tiba-tiba dan hanya berdasarkan desakan media sosial, telah menjadi pemandangan yang tak terhindarkan di kota-kota besar. Sebuah kedai kopi yang tadinya sepi, sebuah taman kota yang baru diresmikan, atau bahkan lorong sempit dengan mural unik, mendadak menjadi magnet antrean panjang dan lautan manusia. Mereka datang bukan semata-mata karena ketertarikan autentik pada tempat itu, melainkan karena sugesti visual yang terus diembuskan oleh platform digital. Kita sedang menyaksikan sebuah anomali pariwisata urban: destinasi menjadi populer karena media sosial mengatakannya populer. Analisis mendalam menunjukkan bahwa akar dari fenomena ini terletak pada dua pilar psikologis modern: "Social Proof" (Bukti Sosial) dan "Fear of Missing Out" (FOMO).

 

Bukti Sosial: Naluri untuk Mengikuti Kerumunan

Inti dari fenomena ini adalah konsep Social Proof. Secara naluriah, manusia adalah makhluk sosial yang cenderung mencari petunjuk perilaku dari orang lain, terutama dalam situasi yang ambigu atau saat mengambil keputusan. Jika seseorang melihat banyak orang mengantre untuk membeli sesuatu, secara otomatis ia akan menganggap barang itu bernilai tinggi. Dalam konteks pariwisata, ketika linimasa media sosial dipenuhi foto dan video dari suatu tempat—mulai dari influencer, selebritas, hingga teman dekat—kerumunan visual ini berfungsi sebagai bukti sosial yang meyakinkan. Pesan implisitnya jelas: "Tempat ini pasti bagus, menarik, dan penting untuk dikunjungi, karena semua orang melakukannya."

Media sosial berperan sebagai megafon yang memperkuat sinyal bukti sosial ini hingga ke tingkat eksponensial. Unggahan yang dilengkapi dengan lokasi, tagar yang viral, dan tampilan visual yang "instagramable" menciptakan ilusi konsensus massal. Keramaian yang ditampilkan dalam gambar, alih-alih dihindari, justru menjadi daya tarik utama. Orang merasa bahwa berpartisipasi dalam kerumunan ini adalah cara untuk menunjukkan status sosial, relevansi, atau sekadar menjadi bagian dari hype yang sedang berlangsung. Mereka tidak hanya mengunjungi tempat itu; mereka mengonsumsi dan mereproduksi bukti sosial tersebut melalui unggahan mereka sendiri, sehingga menciptakan lingkaran umpan balik yang terus-menerus memicu lebih banyak kunjungan.

 

FOMO: Kecemasan di Balik Layar Gawai

Melengkapi Social Proof, ada faktor psikologis lain yang tak kalah kuat: Fear of Missing Out (FOMO). Di era digital, FOMO telah berevolusi dari sekadar takut melewatkan sebuah acara menjadi ketakutan untuk tidak memiliki pengalaman yang diidealkan di dunia maya. Ketika unggahan teman atau idola menunjukkan kesenangan, vibe yang keren, atau makanan yang lezat di suatu lokasi viral, individu yang rentan FOMO merasakan kecemasan dan dorongan kuat untuk segera mengalami hal yang sama.

Dorongan ini sering kali mengalahkan pertimbangan logis. Kekhawatiran akan dianggap "ketinggalan zaman" (kudet) atau terputus dari tren sosial mendorong mereka untuk mengikuti kerumunan. Tujuan berwisata pun bergeser; bukan lagi tentang penemuan diri atau pengalaman autentik, melainkan tentang pengumpulan "bukti" visual yang bisa diunggah ke media sosial. Kunjungan itu menjadi sebuah transaksi: menukarkan waktu dan kenyamanan dengan validasi sosial dan rasa puas karena telah berpartisipasi dalam fenomena yang sedang tren. Fenomena ini menunjukkan bagaimana identitas sosial kini semakin terikat pada konsumsi pengalaman yang "layak diposting" (post-worthy), dan FOMO adalah mesin yang mendorong konsumsi tersebut.

 

Dampak yang Merusak: Hilangnya Keaslian dan Kenyamanan

Ironisnya, perburuan pengalaman yang dipicu oleh social proof dan FOMO ini sering kali berujung pada kehampaan dan ketidaknyamanan. Ketika ribuan orang membanjiri lokasi yang relatif kecil atau tidak dirancang untuk menampung volume wisatawan sebesar itu, pengalaman wisata yang dijanjikan dalam unggahan media sosial segera sirna.

Yang terjadi adalah over-tourism skala urban: antrean panjang yang melelahkan, tempat yang terlalu padat, kualitas pelayanan yang menurun karena kewalahan, serta kerusakan lingkungan atau keaslian lokal. Pengalaman yang seharusnya menjadi momen relaksasi atau eksplorasi berubah menjadi perjuangan mencari sudut foto yang minim kerumunan dan rasa frustrasi karena tidak dapat menikmati suasana secara tenang. Pada akhirnya, wisatawan pulang dengan foto-foto yang mirip dengan jutaan orang lain, namun dengan pengalaman langsung yang jauh dari ideal. Keaslian destinasi pun ikut terkikis; pengelola tempat cenderung mengubah dan mendesain ulang area agar semakin instagramable, terkadang mengorbankan fungsi awal atau karakter uniknya demi daya tarik visual yang bersifat sementara.

 

Menuju Wisata yang Lebih Otentik dan Berkesadaran

Fenomena ini adalah cerminan dari budaya kontemporer yang sangat terikat pada validasi eksternal. Namun, sebagai penjelajah urban, kita memiliki pilihan. Solusinya bukanlah dengan menghapus media sosial, melainkan dengan menumbuhkan kesadaran dan otonomi dalam memilih destinasi.

Langkah pertama adalah melawan desakan FOMO dan merangkul JOMO (Joy of Missing Out). Prioritaskan apa yang benar-benar memberikan nilai dan ketenangan bagi diri sendiri, bukan apa yang terlihat keren di mata orang lain. Alih-alih mengunjungi tempat yang sudah dibanjiri kerumunan karena viral, cobalah mencari destinasi yang lebih sepi, unik, dan menawarkan interaksi yang lebih otentik dengan budaya atau komunitas lokal. Carilah lokasi yang belum terjamah hype masif, di mana kita dapat menjadi penemu, bukan hanya pengikut.

Bagi pengelola destinasi dan pemerintah kota, tantangan ini membutuhkan strategi cerdas: Diversifikasi dan Distribusi. Promosikan secara aktif permata-permata tersembunyi (hidden gems) di luar pusat keramaian, sebarkan arus wisatawan, dan fokus pada peningkatan kualitas pengalaman serta keberlanjutan, bukan hanya jumlah pengunjung. Media sosial harus digunakan untuk edukasi mengenai etika berwisata dan pentingnya menghargai lingkungan lokal, bukan sekadar untuk memicu keramaian.

Pada akhirnya, esensi dari sebuah perjalanan adalah pengalaman yang kita dapatkan secara pribadi, bukan jumlah likes yang kita kumpulkan. Mari kita merebut kembali makna sejati dari wisata urban: menemukan kejutan, menikmati ketenangan, dan berinteraksi secara tulus dengan lingkungan, jauh dari bayang-bayang kerumunan yang diciptakan oleh algoritma.

 

Penulis: R.Dt.



Posting Komentar untuk "Jebakan "Viral": Ketika Wisata Urban Dibanjiri "Bukti Sosial" dan Keterjebakan FOMO"