![]() |
Tampilan Wayang Topeng yang telah mengalami inovasi (Foto ist.) |
Damariotimes.
Fenomena pementasan Wayang Topeng sebagai seni pertunjukan yang digelar
beberapa kali di Taman Krida Budaya Malang Jawa Timur. Tentunya sebagai upaya pengembangan
dan inovasi. Fenomena pergelaran Wayang Topeng yang telah mengalami modivikasi
dan sentuhan inovasi itu seringkali
menghasilkan paradoks: memajukan teknologi, namun abai terhadap warisan
mendasar. Wayang Topeng Malang, sebagai salah satu warisan budaya adiluhung
Jawa Timur, kini berada di persimpangan paradoks ini. Pelestariannya bukan
sekadar upaya menjaga bentuk tari atau ukiran, tetapi sebuah pertarungan
multi-dimensi di dalam Ranah (Field)
seni dan budaya, yang sangat ditentukan oleh Habitus dan Modal yang
dimiliki para pelakunya, termasuk Generasi Z.
1. Ranah Seni Tradisi vs. Ranah Hiburan Global
Wayang
Topeng Malang secara tradisional berada di Ranah Seni Ritual dan Adat. Pertunjukan diadakan dalam konteks
upacara desa atau hajatan, menjadikannya sarana transmisi nilai moral dan
spiritual. Di ranah ini, Modal Simbolik
tertinggi dipegang oleh para sesepuh dalang atau maestro (seperti di pimpinan
Sangar atau Padepokan) yang menguasai pakem, mantra, dan ritual.
Namun,
di era modern, seni ini ditarik ke dalam Ranah Hiburan Global dan Pasar Wisata. Agar "laku,"
Wayang Topeng harus bersaing dengan konser K-Pop, film blockbuster, atau
streaming game. Inovasi yang muncul—seperti penyederhanaan durasi,
modifikasi kostum dan topeng dengan bahan yang lebih modern, hingga penggunaan
media sosial—adalah strategi untuk memenangkan pertarungan di Ranah baru ini.
Paradoksnya:
Inovasi ini mungkin menyelamatkan Wayang Topeng dari kepunahan ekonomi
(mengumpulkan Modal Ekonomi),
namun pada saat yang sama berisiko menggerus Modal Budaya aslinya (nilai sakral, pakem tari yang rumit, dan
filosofi topeng), yang justru menjadi daya tawar utamanya di mata UNESCO atau
kalangan purist.
2. Pergulatan Pewaris dan Generasi Z
Inti
dari pelestarian Wayang Topeng terletak pada pewarisan Habitus dari maestro kepada generasi muda, khususnya Generasi Z.
- Habitus Maestro (Warisan): Habitus para seniman tua terbentuk melalui
internalisasi jangka panjang, disiplin yang ketat, dan dedikasi
ritualistik. Bagi mereka, menari atau mengukir topeng adalah disposisi
yang sudah mendarah daging, sebuah panggilan yang melampaui logika pasar.
Ini adalah Habitus yang sangat kaya Modal Budaya terwujud (embodied cultural capital)
dalam bentuk gestur, intonasi, dan pemahaman mendalam tentang lakon
Panji.
- Habitus Gen Z (Inovasi): Generasi Z, dengan Habitus yang didominasi oleh
kecepatan, visualitas, dan kebutuhan akan validasi instan dari media
sosial, seringkali menghadapi gegar budaya saat bersentuhan dengan
seni tradisional. Mereka mungkin melihat proses belajar yang lambat,
ritual yang kuno, dan pakem yang kaku sebagai "tidak efisien"
atau "tidak relevan".
Di sinilah upaya pelestarian
menemukan hambatan terbesar:
- Modal Waktu: Habitus Gen Z tidak 'menganggarkan' waktu yang cukup
untuk proses magang panjang yang dibutuhkan untuk menyerap Habitus
maestro.
- Modal Simbolik yang Bergeser: Di mata Gen Z dan masyarakat umum, profesi influencer
atau content creator kini menawarkan Modal Simbolik (ketenaran, pengakuan) yang jauh lebih cepat
dan lebih besar daripada menjadi seorang penari Topeng yang hanya pentas
sesekali.
Oleh
karena itu, upaya pelestarian yang sukses harus mampu menciptakan inovasi yang
mengubah Habitus Gen Z, yaitu dengan:
- Menciptakan Ranah
baru (seperti sanggar yang dioperasikan dengan manajemen modern atau
festival Topeng yang dikemas secara estetik) yang membuat Modal Budaya Wayang Topeng
(seperti ketrampilan menari) menjadi sesuatu yang berharga di Ranah Gen Z (misalnya, diakui sebagai performance
art yang keren dan diunggah ke TikTok atau YouTube).
3. Mengubah Modal dan Ranah
Untuk
Gen Z dapat mewarisi dan melestarikan Wayang Topeng tanpa terperangkap dalam
paradoks, upaya yang dilakukan harus bersifat struktural:
- Konversi Modal Budaya: Sekolah dan sanggar harus inovatif dalam mengkonversi Modal Budaya tradisional (pakem
tari) menjadi Modal Budaya
terlembaga (kurikulum, sertifikasi) yang diakui secara resmi, dan
menjadi Modal Simbolik
(penghargaan seni, status sosial) yang menarik bagi Gen Z.
- Demokratisasi Ranah: Wayang Topeng harus dibawa keluar dari Ranah
"seni eksklusif" di desa tertentu dan masuk ke Ranah Pendidikan Formal (sekolah
dan universitas di Malang) dan Ranah
Digital (YouTube, VR/AR). Ini bukan hanya menyebarkan tontonan,
tetapi menyebarkan kemungkinan
akses untuk membangun Habitus yang mencintai warisan ini.
- Inovasi Habitus: Yang paling penting, pengembangan harus diarahkan
untuk mengubah Habitus Gen Z agar mereka melihat pelestarian Wayang Topeng
sebagai sumber kebanggaan
identitas lokal (sebuah bentuk Modal Simbolik yang unik di tengah globalisasi), bukan
sebagai beban masa lalu.
Dengan
memahami bahwa pelestarian adalah pertarungan untuk melegitimasi nilai
dan disposisi di dalam sebuah Ranah, kita bisa menyadari bahwa Topeng Malang
tidak akan lestari hanya dengan uang (Modal Ekonomi), tetapi dengan meyakinkan
Generasi Z bahwa topeng itu adalah kunci menuju Modal Simbolik yang paling otentik dan berharga di dunia yang
serba sama.
Penulis: R.Dt.
Dari pembahasan artikel di atas, melalui pendekatan teori Pierre Bourdieu, penulis menyoroti bagaimana seni tradisi ini berjuang mempertahankan nilai sakralnya di tengah budaya populer Gen Z. Analisisnya tajam, meski kurang menampilkan contoh konkret di lapangan
BalasHapusArtikel tentang pertarungan wayang topeng Malang ini menarik, karena seni tradisional ini bukan sekadar hiburan, melainkan cerminan struktur sosial yang kompleks. Dari kacamata Bourdieu, pertarungan wayang topeng bisa dilihat sebagai "bidang" (field) di mana habitus masyarakat Malang—nilai-nilai budaya Jawa Timur seperti kesopanan, hierarki, dan solidaritas kelompok—berinteraksi dengan kapital budaya dan sosial. Para dalang atau pemain memiliki kapital budaya yang diwariskan, tapi dalam era modern, kapital ekonomi (misalnya, pendanaan acara) sering menentukan siapa yang dominan, sehingga seni ini bisa terpinggirkan oleh budaya populer yang lebih menguntungkan. Ini menciptakan ketegangan antara tradisi otentik dan komodifikasi.
BalasHapusTulisan ini menggugah sehingga menyoroti dilema autentisitas dan inovasi dalam warisan budaya Wayang Topeng Malang secara tajam.
BalasHapusArtikel Pertarungan Wayang Topeng Malang dalam Kacamata Bourdieu dan Gen Z sangat relevan dan kritis! Tulisan ini berhasil memadukan teori sosial Bourdieu dengan realitas budaya generasi muda, menunjukkan bagaimana habitus, modal budaya, dan medan seni berperan dalam menjaga sekaligus menantang eksistensi Wayang Topeng Malang di era digital. Analisisnya membuka perspektif baru tentang bagaimana seni tradisi dapat beradaptasi, bertahan, dan tetap bermakna di tengah pola pikir dan gaya hidup Gen Z yang serba modern.
BalasHapusWah, keren banget cara artikelnya ngeliat Wayang Topeng Malang dari sudut pandang Bourdieu dan Gen Z. Jadi makin ngerti gimana seni tradisional bisa tetap hidup dan relate sama anak muda sekarang. Seru deh, semoga budaya kita terus dilestarikan
BalasHapus