![]() |
para pemain di atas panggung akan berbeda permainannya di ruang sosial (Foto ist.) |
Damariotimes.
Wayang Topeng Malang, sebuah seni pertunjukan tradisional dari Jawa Timur yang
tumbuh dan berkembang di Malang. Seni pertunjukan yang hadir sebagai bentuk tarian
dan cerita di atas panggung dengan pola bentuk menyerupai wayang kulit. Di
dalamnya terjalin kompleksitas sosial dan budaya yang menentukan kelangsungan
hidupnya. Untuk memahami seni pertunjukan ini terus berupaya menjaga
konsistensinya di tengah arus modernisasi, kita dapat menggunakan kerangka
berpikir sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, dengan konsep utamanya: Habitus,
Modal, dan Arena (Field).
Arena:
Panggung Wayang Topeng sebagai Medan Perjuangan Legitimasi
Pertama, Wayang Topeng Malang dapat dilihat sebagai sebuah Arena
(Field). Ini adalah ruang kompetisi dan interaksi sosial di mana para
pelaku seni (dalang, penari, senior) berjuang untuk mempertahankan dan
mendefinisikan apa yang dianggap "otentik" dan "bernilai"
dalam tradisi. Di arena ini, isu tentang konsistensi—kesamaan gerak, musik,
hingga narasi—menjadi patokan utama. Kelompok yang berhasil menguasai arena ini
adalah mereka yang memiliki Modal yang paling besar, yang kemudian
menentukan Praksis (tindakan nyata) seni pertunjukan.
Habitus:
Internalisisasi Tradisi Sang Penjaga Warisan
Inti
dari upaya menjaga konsistensi tradisi terletak pada Habitus para
seniman. Habitus adalah sistem disposisi yang diinternalisasi—cara berpikir,
merasa, dan bertindak—yang dibentuk oleh pengalaman masa lalu dan posisi sosial
dalam kelompok. Senior dan Dalang memiliki Habitus yang telah
terukir mendalam melalui proses pewarisan yang panjang. Habitus mereka memancarkan
rasa tanggung jawab dan "rasa tempat" (sense of place) untuk
tradisi Wayang Topeng. Inilah yang secara otomatis mendorong mereka untuk
menolak perubahan yang dianggap merusak pakem, seperti memodifikasi topeng atau
mempersingkat durasi pementasan yang krusial.
Bagi
seorang Penari, Habitus terbentuk melalui latihan fisik yang repetitif
dan disiplin spiritual, menghasilkan gestur tari yang khas (seperti ngithing
atau nyekiting) yang secara tak sadar mereproduksi gaya otentik Malang.
Ketika Penari baru muncul, Habitus ini memastikan bahwa gerak tubuh mereka akan
secara alami selaras dengan konsistensi yang telah ditetapkan leluhur.
Modal:
Sumber Daya di Tangan Para Pelaku
Dalam
upaya mempertahankan tradisi, setiap aktor memanfaatkan jenis Modal yang
berbeda:
1.
Modal
Budaya: Ini adalah modal terpenting. Ia
dimiliki dalam bentuk objektif (koleksi topeng kuno, naskah lakon), terinstitusionalisasi
(gelar dan pengakuan), dan terinkorporasi (keahlian menari, kemampuan
mendalang, pengetahuan mendalam tentang filosofi topeng). Senior dan Dalang
memiliki Modal Budaya terinkorporasi yang paling tinggi, memberikan mereka
otoritas untuk menjadi penjaga gawang konsistensi.
2.
Modal
Sosial: Ini adalah jaringan relasi. Dalam
konteks Wayang Topeng, Modal Sosial ditunjukkan melalui hubungan yang kuat
antara sanggar dengan Masyarakat Penanggap. Masyarakat Penanggap, yang
memiliki otoritas sebagai 'pemilik hajat', menyediakan kesempatan pertunjukan
(panggung) dan dengan demikian, memberikan legitimasi sosial dan ekonomi kepada
perkumpulan Wayang Topeng. Hubungan ini memaksa seniman untuk terus menjaga
standar dan konsistensi agar tetap "ditanggap."
3.
Modal
Ekonomi: Meskipun seringkali paling kecil
dalam seni tradisional, Modal Ekonomi yang diperoleh dari hasil tanggap
(pertunjukan) memungkinkan perkumpulan membeli bahan baku, merawat alat musik
(gamelan), dan yang terpenting, mendanai proses pelatihan dan pewarisan kepada
generasi muda.
Otoritas
dan Konsistensi: Hubungan Dialektis
Hubungan
antara modal dan otoritas menciptakan sebuah dialektika yang menjaga
konsistensi. Senior dan Dalang dengan Modal Budaya yang tinggi
memegang Otoritas Simbolik. Otoritas ini memungkinkan mereka mengontrol
produksi seni dan memastikan bahwa setiap pementasan sesuai dengan Habitus
kolektif kelompok. Jika seorang penari muda mencoba berinovasi terlalu jauh,
otoritas senior akan bertindak untuk menariknya kembali ke pakem yang
konsisten.
Pada
sisi lain, Masyarakat Penanggap menggunakan Modal Sosial dan Otoritas
mereka sebagai konsumen budaya. Mereka memilih kelompok yang secara konsisten
menyajikan kualitas dan tradisi yang mereka harapkan. Dengan demikian, tuntutan
pasar tradisional ini menjadi mekanisme kontrol eksternal yang kuat, memaksa perkumpulan
Wayang Topeng untuk tetap berada dalam garis konsistensi demi kelangsungan
hidup mereka di Arena.
Melalui
lensa Bourdieu, Wayang Topeng Malang bukan sekadar pertunjukan statis. Ia
adalah Arena dinamis tempat Habitus yang diwariskan berinteraksi dengan
berbagai bentuk Modal. Konsistensi tradisi yang kita saksikan di panggung
adalah hasil dari perjuangan sehari-hari yang berulang—sebuah Praksis yang
terus-menerus mereproduksi tatanan sosial, di mana setiap ayunan topeng dan
denting gamelan adalah afirmasi dari warisan budaya yang tak terputus.
Penulis : R.Dt.
dari artikel ini saya bisa tau bagaimana penjelasan dari Menjaga Konsistensi Wayang Topeng Malang melalui Lensa Bourdieu
BalasHapusWayang Topeng Malang patut kita jaga kelestariannya dan konsistensi nya
BalasHapusSemoga kajian ini bisa membuka kesadaran lebih luas tentang nilai budaya lokal dan menginspirasi langkah konkret dalam menjaga keberlanjutan seni tradisi yang kaya ini.
BalasHapusSaya berharap dengan adanya artikel ini dapat membuat orang banyak lebih mengetahui budaya lokal dan tetap menjaga serta merawat kesenian yang ada, termasuk pemeliharan menjaga topeng wayang Malang
BalasHapusSeni topeng Malangan ini sangat kaya akan budaya dan nilai nilai lokal
BalasHapusAnalisis wayang topeng Malang lewat lensa Bourdieu mengungkap bagaimana praktik budaya ini mempertahankan konsistensi identitas dan nilai sosialnya secara dinamis
BalasHapusDi tengah modernisasai ini, kita sangat perlu mengupayakan pelestarian wayang topeng sebagai kesenian khas Malang
BalasHapusWayang topeng Malang butuh analisis yang tidak hanya estetis, tetapi juga sosiologis dan budaya. Dengan lensa bourdieu, kita memperoleh pemahaman yang lebih kaya tentang proses pelestarian, perubahan, dan tantangan yang dihadapi.
BalasHapusWayang Topeng malang memang best
BalasHapusHarapan saya dalam artikel ini semoga orang² senantiasa manjaga budaya lokal tersbut ..
BalasHapuswayang topeng malang memang sangat keren
BalasHapusSetelah membaca artikel di atas dapat disimpulkan bahwa, Upaya pelestarian bukan hanya mempertahankan “pakem”, tetapi juga memahami bahwa seni tradisi adalah praktik sosial yang dinamis dan terus dihadapkan pada perubahan.
BalasHapus