![]() |
| Marsam Hidayat, penulis Buku Lakon Ludruk dan Penerbit Pak Gedion (Foto ist.) |
Damariotimes.
Sebuah penanda penting dalam khazanah kesenian rakyat Jawa Timur baru saja
terukir. Buku Lakon Ludruk karya Marsam Hidayat, Pimpinan Ludruk Lerok
Anyar, telah diterbitkan oleh Media Nusa Creative (MNC) Malang. Karya ini bukan
sekadar koleksi naskah biasa, melainkan tonggak sejarah yang mencatatkan
manuskrip lakon ludruk pertama yang ditulis langsung oleh seorang pelaku seni
ludruk itu sendiri. Seluruh naskah di dalamnya merekam perjalanan panggung
Ludruk Lerok Anyar, sebuah perjalanan kreatif yang didukung penuh oleh Mama
Nar, tandhak sekaligus aktor wanita andalan grup tersebut.
Ludruk: Teater Rakyat yang Fleksibel
dan Kreatif
Pada
dasarnya, lakon ludruk adalah alur cerita yang dipentaskan dalam pertunjukan.
Sebagai teater rakyat, ludruk dikenal memiliki karakter yang sangat lentur,
luwes, dan fleksibel, membuka ruang kreativitas tanpa batas. Ludruk mampu
tampil di mana saja, kapan saja, serta mengadopsi cara dan bahasa apa pun.
Sumber
cerita ludruk merentang luas, mulai dari sejarah, legenda, hingga refleksi
kehidupan masyarakat sehari-hari yang sering disebut sebagai Drama Kehidupan
zaman. Namun, dalam praktiknya, lakon ludruk diklasifikasikan menjadi empat
kategori utama yang memiliki karakteristik pementasan berbeda: Ludruk Gedongan,
Ludruk Teropan, Ludruk untuk Lomba, dan Ludruk Televisi.
Kawah Candradimuka Seniman Ludruk:
Lakon Gedongan
Kategori
Lakon Ludruk Gedongan merujuk pada pertunjukan yang dipentaskan di
Gedongan atau Tobong—tempat pertunjukan yang dikarciskan—selama sebulan penuh,
dengan lakon yang harus berganti setiap malam. Arena ini dianggap sebagai
'kawah candradimuka' bagi seniman ludruk. Di sinilah sutradara ditantang
menyiapkan minimal tiga puluh lakon, dan setiap pemain dituntut mengolah
kecerdasannya, baik untuk peran, tari Remo, selingan, hingga Pelawak (pengidung)
yang wajib menyiapkan tiga puluh syair Kidungan Jula Juli yang berbeda.
Pada
era 1970-an hingga 1980-an, tata kelola pementasan Ludruk Gedongan diatur
melalui sistem organisasi yang ketat, yang dijabarkan dalam Tujuh Langkah
Tata Kelola Organisasi Ludruk Tempo Dulu. Prosesnya dimulai dari perizinan
yang berlapis—dari Desa, Muspika (Camat, Koramil, Polsek), hingga Polres untuk
Izin Keramaian, dan Dinas Pendapatan Daerah untuk PLONG KARCIS. Setelah izin
aman, proses dilanjutkan dengan mobilisasi logistik menggunakan tiga kendaraan
besar untuk mengangkut Kelir, Gamelan, Baliho, Pemain, dan Kotak Pakaian.
Tahap
selanjutnya adalah dekorasi, di mana petugas memasang lebih dari sepuluh gambar
kelir (seperti Laut, Goa, Rumah Desa, hingga Rumah Kaya) yang dilengkapi
mekanisme naik-turun menggunakan bambu dan tampar. Gamelan ditata di depan
panggung—sebuah penempatan yang krusial demi menjaga nada dan ekspresi pengidung.
Barulah kemudian kursi penonton ditata dengan klasifikasi mulai dari VIP hingga
Berdiri. Sebelum tirai dibuka, proses Ledang (wara-wara keliling
kampung) dilakukan untuk mengumumkan pertunjukan. Semua tahapan ini berpuncak
pada malam pementasan, yang biasanya diawali dengan lakon humor atau carangan
ringan.
Lakon
yang dipentaskan sangat bervariasi, terbagi antara *Lakon Pakem/Baku
(seperti Sakera atau Sawunggaling) dan Lakon Carangan
(hasil kreativitas sutradara, seperti serial Cak Tamin) serta disesuaikan
dengan hari, mulai dari lakon fantasi di malam Minggu hingga horor di malam
Jumat.
Ludruk dalam Pesta dan Kompetisi
Selain
Gedongan, terdapat Lakon Ludruk Teropan, yaitu pertunjukan di tempat
orang punya hajat, yang dibagi menjadi Lakon Siang (biasanya humor), Lakon
Malam (lakon andalan grup), dan Lakon Permintaan (pesanan lakon bertema bahagia
atau populer).
Sementara
itu, Lakon Ludruk untuk Lomba memiliki tuntutan khusus. Lakon harus
dipersiapkan matang sesuai tema dan Juknis Panitia. Isinya seringkali
mengangkat peristiwa aktual dan harus memukau Dewan Juri, bahkan panitia kerap
meminta sinopsis atau naskah lengkap untuk dokumentasi.
Kecerdasan Spontanitas: Metode Tonel
Direktur
Keunikan
lain dari ludruk terletak pada metode penyutradaraannya. Berbeda dengan drama
modern, ludruk tradisional menggunakan metode Tonel Direktur (TD).
Sutradara cukup menulis ringkasan di papan tulis atau kertas Manila yang berisi
daftar pemain, casting peran, urutan babak, lokasi, dan kode angka
pemain yang terlibat, tanpa naskah dialog tertulis.
Melalui
proses Penuangan, sutradara menceritakan alur dan karakter secara rinci.
Para pemain kemudian melakukan Spelan (latihan singkat) untuk membangun
dialog dan chemistry. Di atas panggung, mereka diberi kebebasan
berimprovisasi. Spontanitas tinggi dan kemampuan merespons lawan main menjadi
kunci kehebatan pemain ludruk. Improvisasi yang apik bahkan sering kali
dipertahankan dan menjadi "naskah baku" secara tidak tertulis. Pola
TD ini menjamin keunikan ludruk yang bertumpu pada spontanitas dan imajinasi
pemain.
Terbitnya
buku Lakon Ludruk Marsam Hidayat menjadi pelestarian penting,
membuktikan bahwa seniman ludruk tempo dulu adalah individu kreatif yang
berkesenian dengan totalitas, serta menyuguhkan kekayaan lakon yang perlu terus
dirayakan.
Reporter : R.Dt.

Posting Komentar untuk "Membaca Jejak Panggung "Lakon Ludruk Lerok Anyar" Marsam Hidayat, Penulis Manuskrip Lakon Ludruk Malang yang Menjadi Penanda Sejarah"