![]() |
Kamisan Jazz. (Foto ist.) |
Damariotimes.
Kamis malam, 9 Oktober 2025, Wedangan Budhe di Kota Malang menyajikan sebuah
menu yang tak biasa. Bukan sekadar teh jahe, kopi hangat, atau gorengan renyah.
Malam itu, aroma sedap wedangan berpadu harmonis dengan alunan denting piano
dan petikan gitar. Ruang sederhana di sudut warung itu bertransformasi menjadi
panggung hangat bagi para musisi dan pecinta musik dalam acara bertajuk Kamisan
Jazz.
Lupakan
citra jazz yang identik dengan panggung mewah dan tata cahaya mencolok. Kamisan
Jazz justru merayakannya di tempat yang paling membumi. Di sini, musisi tak
berdiri di panggung tinggi. Mereka duduk santai, berbaur di antara meja kayu
dan hiasan dinding khas wedangan. Piano tua di pojok ruangan menjadi
'primadona', ditemani gitar, bass, dan drum pad mungil yang dimainkan dengan
ritme lembut.
Tak
ada batas, tak ada jarak. Penonton duduk sambil menyeruput minuman, sebagian
berdiri, semuanya berbagi ritme yang sama. Semua orang saling menyapa, tertawa,
dan ikut merasakan energi musik yang mengalir.
Jazz
yang 'Turun Tahta' dan Santai
Kamisan
Jazz sukses membawa musik jazz, yang sering dianggap eksklusif, menjadi sangat
memasyarakat. Kunci dari acara ini adalah improvisasi dan spontanitas.
Tidak ada susunan acara yang kaku; siapa pun, mulai dari mahasiswa, seniman,
hingga pengunjung biasa, bisa ikut jamming dan menyumbang warna pada
lagu yang dibawakan.
Dian,
salah satu pengunjung, mengungkapkan daya tarik acara ini, "Enaknya di
sini tuh santai banget. Bisa nonton, ngobrol, terus tiba-tiba kita bisa ikut
jamming bareng musisinya. Rasanya kayak lagi nongkrong biasa tapi ada musik
hidup di depan mata!"
Dalam
suasana santai inilah musik menjadi alat komunikasi yang cair. Improvisasi
antar pemain menciptakan 'percakapan' tanpa kata. Bahkan, salah nada yang
kadang terjadi justru disambut tawa, menambah kesan spontanitas dan kehangatan.
Tepuk tangan penonton terdengar dekat, sangat dekat, seolah semua yang hadir
malam itu adalah bagian dari pertunjukan.
Panggung
Kecil, Ruang Belajar Besar
Wedangan
Budhe mungkin bukan gedung konser megah, namun keterbatasan ruang justru
menumbuhkan kehangatan dan keakraban. Kamisan Jazz bukan hanya tempat hiburan,
tapi juga ruang belajar. Musisi muda mendapat kesempatan emas untuk berlatih
langsung bersama pemain yang lebih berpengalaman, mengasah kemampuan mendengar,
menyesuaikan harmoni, dan berani berekspresi di tengah suasana jamming
yang terbuka.
Di
tengah hiruk-pikuk kota, Kamisan Jazz menjadi jeda yang menyegarkan. Bagi
banyak orang, ini adalah lebih dari sekadar musik; ini adalah ruang sosial dan
budaya. Obrolan ringan tentang seni, pendidikan, hingga isu sosial sering
muncul di sela-sela lagu. Wedangan berhasil menjadi simpul yang menghubungkan
berbagai latar belakang di satu meja yang sama.
Kamisan
Jazz membuktikan bahwa seni dapat tumbuh subur di mana saja. Musik tak harus
menunggu panggung besar untuk menyentuh hati. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah
ruang kecil, secangkir kopi hangat, dan niat tulus untuk berbagi nada. Tanpa
panggung, tanpa batas, dan tanpa formalitas, acara ini terus menjadi ruang
jamming terbuka yang menumbuhkan keakraban, di mana seni menemukan rumahnya di
tengah kesederhanaan.
Konteributor: Regita Nurfadilah
tidak sabar jamming di wedangan budhe lagi🙌🏻
BalasHapusSaya pernah ngopi di tempat ini, memang asik sekali ada live musiknya
BalasHapusWah menarik banget, selain cafe menjadi tempat nongkrong dan tempat menghibur diri, pengunjung cafe juga dapat menikmati live musik yang di tampilkan pada cafe ini
BalasHapus