![]() |
Topeng Malang merupakan representasi dari bentuk rupa wayang (Foto ist.) |
Damariotimes.
Topeng, lebih dari sekadar penutup wajah atau properti seni, adalah cermin
sejarah dan spiritualitas masyarakat Jawa. Sejak zaman kuno, topeng telah
menjadi artefak sakral yang memiliki kaitan erat dengan ritual dan upacara
keagamaan. Jejaknya bisa dilacak jauh hingga ke masa Kerajaan Majapahit,
khususnya pada era Raja Hayam Wuruk yang terkenal.
Pada
masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M), Majapahit dikenal sebagai
puncak kejayaan kebudayaan Hindu-Buddha di Nusantara. Salah satu ritual penting
yang tercatat dalam Kakawin Nagarakretagama adalah upacara Sraddha,
sebuah upacara pemujaan arwah leluhur yang diselenggarakan 12 tahun setelah
kematian seseorang yang dianggap agung. Salah satu sumber sejarah menyebutkan
bahwa Raja Hayam Wuruk sendiri terlibat dalam tari topeng sebagai bagian dari
upacara tersebut, bahkan beliau mendapat gelar "Dalang Tritaraju".
Dalam
konteks ini, topeng bukan sekadar alat hiburan, melainkan wujud penggambaran
dewa atau roh leluhur yang disakralkan. Topeng dipercaya memiliki kekuatan
magis, berfungsi sebagai pelengkap sesaji, penolak bala, dan simbol kekuatan.
Hal ini menunjukkan betapa mendalamnya fungsi topeng sebagai jembatan antara
dunia manusia dengan alam gaib, sebuah tradisi yang telah berakar kuat di Jawa
bahkan sebelum masuknya pengaruh Islam.
Setelah
Majapahit runtuh, kesenian topeng tidak lantas mati. Sebaliknya, ia
bertransformasi dan menyebar, terutama di Jawa Timur. Topeng-topeng
ritual di wilayah ini banyak mengadopsi lakon Panji yang legendaris,
sebuah cerita asli Jawa yang menceritakan tentang perjalanan spiritual dan
pencarian jati diri. Tokoh Panji Asmarabangun sering digambarkan dengan wajah
yang halus dan penuh kelembutan, melambangkan watak kesatria yang bijaksana.
Menariknya,
topeng-topeng Panji ini juga memiliki pola visual yang sangat mirip dengan wayang
purwa atau wayang kulit. Pola ini terlihat dari bentuk mata, hidung, hingga
garis wajah yang dibuat detail, menunjukkan adanya hubungan erat antara seni
topeng dan wayang kulit.
Hubungan
ini semakin diperkaya dengan masuknya pengaruh dari Topeng Madura yang
melakonkan cerita wayang purwa. Tradisi ini, yang konon mendapat
pengaruh dari Kerajaan Kartasura (tradisi masyarakat Mataraman),
memperkaya perbendaharaan topeng dengan tokoh-tokoh dari epos Mahabharata dan
Ramayana. Pengaruh Kartasura ke Madura membawa tokoh-tokoh wayang purwa seperti
Togog, Bilung, dan berbagai tokoh dewa serta raksasa ke dalam pertunjukan
topeng.
Dari
fenomena tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa ada benang merah yang kuat
antara topeng-topeng Jawa, khususnya di Jawa Timur, dengan seni wayang. Baik
topeng berlakon Panji maupun wayang purwa, keduanya memiliki pola visual yang
serupa. Hal ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari akulturasi budaya yang
panjang.
Topeng
di Jawa Timur, yang secara umum dikenal dengan sebutan Wayang Topeng,
adalah perpaduan harmonis antara drama, tari, dan seni rupa. Ia tidak hanya
menyajikan cerita-cerita adiluhung, tetapi juga melestarikan nilai-nilai
filosofis dan spiritual yang telah diwariskan turun-temurun. Pola wayang pada
topeng menunjukkan bagaimana seni pertunjukan ini tumbuh dan berkembang dalam
ekosistem budaya yang saling memengaruhi, dari ritual kuno Majapahit hingga
pertunjukan wayang di masa kerajaan-kerajaan Mataram.
Dengan
demikian, topeng bukan hanya benda mati. Ia adalah artefak hidup yang bercerita
tentang perjalanan peradaban, keyakinan, dan seni masyarakat Jawa, yang terus
bertransformasi seiring waktu namun tetap memegang teguh akarnya.
Penulis : R.Dt.
Topeng berlakon panji dan wayang purwa ternyata mempunyai lakon yang viasual serupa
BalasHapusSaya menjadi tau mengenai makna simbolis dari topeng
BalasHapusnilai nilai kearifan lokal yang diwariskan mampu memperkuat identitas bangsa sekaligus memberi inspirasi bagi generasi muda
BalasHapus