Para Narasumber yang tampil pada konfrensi AP2Seni ke 6 di UNY (Foto ist.) |
Yogyakarta, 10 September 2025. Prof. Dr. Robby
Hidajat, M.Sn. dan Hartono, M.Sn menyampaikan makalahnya berjudul: Skill Baru Dan Inovasi Membongkar
Lanskap Kurikulum Pendidikan Seni Tari Di Era Digital.
Pada forum konfrensi AP2Seni ke 6 di UNY. Isi materi yang
dipaparkan diawali dari penyampaikan tentang anggapan lama yang menempatkan seni sebagai mata pelajaran tambahan,
hanya untuk “anak berbakat,” telah membekas. Jika memperhatikan pernyataan
Ramalis Hakim, pandangan ini masih lazim di tingkat pendidikan dasar dan
menengah. Seni dipandang sebelah mata, bukan sebagai ruh material untuk memberdayakan intelektual dan kreativitas peserta didik. Fenomena ini, ditambah
dengan metode pengajaran yang masih sangat imitatif dan berfokus pada teknik,
seperti tulisan dari Suwarjiyo; seorang maestro tari di Banjarmasin, membuat kita harus bertanya:
Apakah pendekatan ini masih cukup untuk mencetak pendidik seni yang siap menghadapi tantangan abad ke-21?
Transformasi Kurikulum untuk Keterampilan Baru
Revolusi
digital telah membuka gerbang bagi peluang-peluang baru yang sebelumnya tak
terbayangkan. Artikel ini menawarkan sebuah gagasan radikal: integrasi keterampilan baru ke dalam kurikulum
pendidikan seni tari. Keterampilan ini tidak bertujuan menggantikan fondasi
seni tari klasik, melainkan melengkapinya.
Ini adalah sebuah hibridisasi budaya,
perpaduan antara tradisi dan inovasi yang menciptakan seniman-seniman yang
adaptif, cerdas, dan mandiri.
Kita
tidak bisa lagi mengajar tari hanya di dalam studio. Era digital menuntut
kemampuan untuk berkreasi dan mempresentasikan karya di ranah virtual.
Kurikulum harus memasukkan materi tentang visualisasi dan penciptaan digital. Ini berarti mengajarkan
penggunaan perangkat lunak seperti animasi
3D, kecerdasan buatan (AI),
Realitas Tertambah (AR), dan Realitas Virtual (VR). Dengan
teknologi motion capture,
misalnya, mahasiswa dapat memvisualisasikan koreografi secara detail sebelum
dipraktikkan. Bayangkan koreografi yang terintegrasi dengan karakter virtual di
atas panggung! Selain itu, literasi
digital menjadi krusial. Kemampuan mengemas dan mempromosikan karya di
platform seperti Instagram, TikTok, dan
YouTube sama pentingnya dengan kemampuan menari. Mahasiswa harus
diajarkan bagaimana membuat video singkat yang menarik, membangun komunitas, dan
memperluas audiens mereka.
Proif. Dr. RobbyHidajat, M.Sn dan Hartono, M.Sn. memaparkan makalahnya di depan peserta konfrensi AP2Seni ke 6 di UNY |
Seorang
pendidik seni tidak bisa lagi hanya menjadi pengajar yang tampil di depan
siswa-siswanya. Mereka harus menjadi kreator,
peneliti, dan pengusaha. Kurikulum harus diperkaya dengan riset etnografi digital, di mana
mahasiswa perlu menguasai riset tentang bagaimana media sosial memengaruhi
popularitas gaya tari atau menganalisis konsep koreografi yang viral. Ini akan
memperdalam wawasan teoritis dan analitis mereka. Lebih jauh, manajemen dan kewirausahaan menjadi
bagian tak terpisahkan. Kemampuan untuk memasarkan karya, mengelola studio,
atau membuat kostum adalah kunci untuk karier yang berkelanjutan. Pengalaman magang kewirausahaan sangat berharga
untuk menyiapkan mereka.
Interdisipliner: Melampaui Batas-Batas Tradisional
Tawaran
ini mengusung pendekatan interdisipliner.
Pendidikan seni tari harus membuka diri terhadap kolaborasi dengan jurusan
lain, seperti teknologi informasi, psikologi, atau bahkan filsafat. Misalnya,
kolaborasi dengan mahasiswa IT dapat menghasilkan aplikasi interaktif untuk
pembelajaran tari. Pendekatan ini akan memperkaya karya seni dan memberikan
pemahaman yang lebih dalam tentang dampaknya terhadap masyarakat.
Beberapa
institusi telah memulai langkah ini, salah satunya adalah Universitas
Negeri Malang (UM) dan Institut
Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta di bidang kewirausahaan seni pertunjukan.
Melalui penelitian dan kolaborasi seperti yang dilakukan penulis menciptakan koreografi
Yuwawira Dwipantara yang diikutkan pada
festival seni pertunjukan di Thailand (2024), Hal ini menjadi bukti nyata bahwa perpaduan antara seni dan
teknologi bisa menghasilkan karya yang luar biasa dan relevan.
Tantangan Ke Depan
Transformasi
pendidikan seni tari adalah sebuah keniscayaan. Kita harus berani membongkar
kurikulum konvensional dan melengkapinya dengan keterampilan digital, analitis,
dan kewirausahaan. Namun, perjalanan ini tidak mudah. Ada tiga tantangan besar
yang harus kita hadapi. Pertama, resistensi
terhadap perubahan masih nyata. Banyak yang melihat inovasi digital
sebagai ancaman. Kita perlu meyakinkan mereka bahwa teknologi adalah alat yang
dapat memperkaya, bukan merusak,
esensi seni. Kedua, kesenjangan
infrastruktur menjadi hambatan. Mengintegrasikan teknologi canggih
membutuhkan investasi besar yang tidak semua institusi mampu sediakan. Kita
perlu mencari solusi strategis untuk mengatasi kesenjangan ini. Terakhir, pengembangan kompetensi pendidik
adalah kunci. Banyak pendidik seni tari saat ini mungkin tidak memiliki latar
belakang yang memadai dalam teknologi. Program pelatihan dan pengembangan
profesional yang berkelanjutan sangatlah krusial.
Penulis
mengajaak bersama-sama mewujudkan
pendidikan seni tari yang holistik dan berkelanjutan. Dengan memadukan tradisi
dan inovasi, hal ini didasaarkan agen perubahan yang akan membawa seni tari ke
era yang lebih modern, relevan, dan berkelanjutan.
Reporter MAH
Posting Komentar untuk "Membongkar Kurikulum Pendidikan Seni Tari di Era Digital: Sebuah Tawaran Revolusioner"