![]() |
selalu merasa gagal pada pencapaian puncak estetika (sumber IA) |
Damariotimes.
Di sebuah sudut kota yang tak pernah tidur, hiduplah seorang seniman bernama
Bima. Tangannya lincah, kuasnya menari di atas kanvas, menciptakan warna-warna
yang memukau. Namun, dalam setiap karyanya, Bima selalu merasa ada yang kurang.
Ia merasa seperti seorang pendaki yang hampir mencapai puncak, tetapi selalu
tergelincir di detik-detik terakhir.
Bima
menganut satu keyakinan yang kuat: estetika
hanya ada dalam persepsi penonton. Ia percaya bahwa nilai sebuah karya
seni ditentukan sepenuhnya oleh mata yang memandang. Oleh karena itu, Bima
menghabiskan waktunya mempelajari tren, membaca ulasan, dan mengamati reaksi
publik. Ia mencoba menciptakan karya yang sesuai dengan selera pasar, berharap
pujian dan pengakuan akan datang dengan sendirinya. Ia melupakan kegelisahan
pribadinya, proses kreatif yang jujur, dan kedalaman makna yang ingin ia
sampaikan. Baginya, "indah" adalah apa yang dikatakan orang lain.
Namun,
di balik setiap karyanya yang dipamerkan, Bima merasa hampa. Para penonton
berdecak kagum, memuji pilihan warnanya, dan mengabadikan karyanya dengan
kamera ponsel mereka. Namun, Bima tak pernah merasakan kepuasan yang sejati. Ia
merasa seperti seorang pesulap yang hanya berhasil menipu mata penonton, bukan
menyentuh hati mereka. Karyanya dipandang, tetapi tidak dirasakan.
Suatu
hari, seorang seniman senior yang bijak, yang telah lama mengamati Bima,
menghampirinya. "Bima," katanya dengan suara lembut, "kau
terlalu fokus pada pantulan bayangan, sampai lupa pada cerminnya."
Bima
terdiam.
"Estetika
bukanlah sekadar persepsi penonton," lanjut seniman senior itu.
"Estetika itu ada dalam tiga aspek fundamental yang saling berkaitan: seniman, karya seni, dan penonton."
"Kau
adalah yang pertama. Estetika dimulai
dari dirimu sendiri, dari kejujuran hatimu, dari proses yang kau jalani
saat menciptakan. Apakah karya itu lahir dari hasratmu yang terdalam, atau
sekadar tiruan dari apa yang kau pikir diinginkan orang lain?"
"Kedua
adalah karya seni itu sendiri.
Sebuah karya yang kuat memiliki keindahan internal, sebuah 'jiwa' yang
independen dari siapa pun yang melihatnya. Ia memiliki komposisi, makna, dan
pesan yang utuh. Ia adalah refleksi dari dirimu yang sebenarnya, bukan hanya
gambaran yang kau ciptakan untuk orang lain."
"Barulah
yang ketiga adalah penonton.
Persepsi mereka memang penting, tetapi itu adalah dialog, bukan satu-satunya
penentu. Ketika kau jujur pada dirimu dan karyamu, penonton akan merasakan
kejujuran itu. Mereka tidak hanya melihat, tetapi juga berinteraksi dengan
'jiwa' yang kau tanamkan dalam karyamu."
Kata-kata
itu bagai petir di siang bolong bagi Bima. Ia menyadari bahwa selama ini, ia
hanya mengejar bayangan. Ia telah melupakan esensi dari menjadi seorang
seniman: menciptakan dari hati, bukan
dari ekspektasi.
Sejak
saat itu, Bima mengubah cara pandangnya. Ia mulai melukis untuk dirinya
sendiri, mengeksplorasi emosi dan cerita yang selama ini ia pendam. Hasilnya
tidak selalu sempurna di mata banyak orang, tetapi setiap kuas yang ia torehkan
terasa hidup. Karya-karyanya tidak lagi sekadar objek untuk dipuji, tetapi
jendela menuju jiwanya.
Puncak
estetika yang ia cari ternyata bukan podium yang dipenuhi tepuk tangan,
melainkan kedamaian saat karyanya selesai, dan senyum tulus dari seseorang yang
merasakan keindahan dari kejujuran yang ia sampaikan. Ia akhirnya mengerti,
bahwa gagal mencapai puncak estetika bukan karena ia tidak berbakat, melainkan
karena ia mencari puncak yang salah.
Penulis: R.Dt.
Artikel ini memberi pemahaman bahwa kegagalan dalam berkarya juga bagian penting dari proses menuju keindahan seni yang sebenarnya.
BalasHapusCerita ini menyadarkan bahwa keindahan sejati lahir dari kejujuran hati seniman, bukan sekadar pujian penonton. Pesan yang sangat memotivasi untuk berkarya tulus dari dalam diri. 🎨✨
BalasHapusArtikel ini dapat memberikan pesan bahwa puncak estetika seni itu muncul saat sebuah karya itu selesai dimana seniman itu tersenyum tulus merasakan keindahan dari kejujuran yang ia sampaikan
BalasHapusDari sebuah cerita diatas kita bisa memahami bahwa suatu karya yang dibuat oleh seniman memiliki tujuan mulai dari ketulusan, kejujuran, dan ekspresi jiwa yang dituangkan dalam karya. Keberhasilan karya tidak bisa hanya dinilai dari seberapa banyak tepuk tangan ataupun ada di podium berapa sekalipun.
BalasHapus