![]() |
Dewi Sekartaji yang hilang di Hutan (Foto ist.) |
Damariotimes, Minggu, 13 Juli 2025. Pada
minggu malam yang cerah di Taman Krida
Budaya Jawa Timur, Jalan Soekarno Hatta, Malang, Pergelaran wayang topeng
diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur.
Suasana pendapa yang penuh sesak menjadi saksi kebangkitan kembali seni
pertunjukan tradisional tradisional Malang. Pemandangan ini jauh berbeda dari
50 tahun lalu, di mana pergelaran di desa-desa tak pernah seramai ini.
Penonton memadati pendapa, sebagian
besar duduk beralaskan karpet, bahkan ada yang lesehan langsung di lantai.
Penonton utama, yang menempati kursi bantal lipat, duduk di sisi selatan
menghadap panggung. Di belakang mereka, undangan khusus dan perwakilan instansi
turut hadir, meski tanpa alas duduk. Kehadiran mereka mencerminkan antusiasme
yang luar biasa terhadap seni wayang topeng.
Poster topeng Panji Mangu (Foto ist.)
Dari Desa ke Panggung Kota:
Menghargai Seniman Muda
Yang menarik dari pergelara ini,
banyak penonton yang datang dari desa-desa, tempat di mana wayang topeng mulai
kembali menggeliat. Salah satunya adalah kelompok seniman dari Desa Jabung,
Tumpang, dan juga daerah yang lain turut
juga hadir. Pergelaran ini membawa kabar
gembira mengenai pergelaran ini kepada kelompok-kelompok topeng lain yang telah
lebih dulu berkembang. Ini tentu menjadi angin segar bagi para seniman muda
yang sedang merintis kariernya sebagai seniman. Mereka merasa sangat dihargai,
terutama ketika menyaksikan lautan penonton yang berlimpah ruah di pendapa Taman
Krida Budaya.
Penyelenggara pun mendapatkan
masukan berharga. Setiap penonton muda yang masuk diwajibkan memindai barcode
untuk mengakses survei pelaksanaan pergelaran. Hasilnya langsung menunjukkan
kesimpulan yang menggembirakan: generasi muda Kota Malang memiliki empati
tinggi terhadap seni pertunjukan tradisional. Beberapa penari senior juga
terlihat hadir, mengamati dari kejauhan, bersandar di dinding kayu pendapa,
menyaksikan warisan budaya mereka bangkit kembali dengan kemasan berbeda.
semua pemain tampil penghormatan akhir (Foto ist.)
Menanti Pejabat dan Inovasi Panji
Mangu
Pukul 19.15 WIB, suasana di pendapa
mulai terasa gerah. MC menyapa penonton, mengingatkan untuk tidak merokok atau
meninggalkan sampah, serta mengajak untuk mengunggah momen pergelaran ke akun
Instagram Dinas Laboratorium Pengembangan Seni Jawa Timur. Musik kembali
mengalun, seolah menunggu kedatangan pejabat utama sebelum pertunjukan dimulai.
Tepat pukul 19.40, lampu pendapa dipadamkan, dan pembukaan dengan penampilan tarian
Patih (Bang-Tih) pun mengawali malam itu.
Tari Patih, atau "Bang
Tih," yang membuka pergelaran, menampilkan gaya yang sangat berorentasi
materi gerak topeng Kedungmonggo. Busana yang dikenakan benar-benar bergaya
Sabrang, lengkap dengan irah-irahan bledekan dan badong. Setelah itu, MC
menyapa pejabat dan hadirin, sekaligus mengumumkan lakon yang akan dipentaskan:
Wayang Topeng "Panji Mangu", sebuah lakon yang sebelumnya
belum pernah ada. Lakon ini memang berupa cerita rekaan dengan menggali inti
spirit ‘Kasih-sayang’.
Dimas Bagas, cicit Karimoen, menyampaikan uraian dan laporan penanggungjawab
projek. Acara ini juga dihadiri oleh Kepala Badan Perencanaan Provinsi Jawa
Timur dan Kepala Dinas Pariwisata Jawa Timur, menunjukkan dukungan penuh dari upaya
ini agar topeng dapat go-internasional.
Kreativitas Generasi Muda: Merekam
Hilangnya Sekartaji
Lakon "Panji Mangu"
sendiri adalah dramatari yang bersumber dari wayang topeng, namun dengan unsur
gerak dan pola tampilan yang digarap dengan pemikiran kekinian. Topeng
"Mangu" mengisahkan hilangnya Dewi Sekartaji, yang membuat Panji
dilanda kegalauan. Di tempat lain, tersiar kabar tentang seorang wanita cantik
bernama Dewi Nawang Sasi dari Pucangan. Kecantikan Dewi Nawang Sasi bahkan
sampai ke telinga Raja Klana yang berhasrat melamarnya. Panji Asmarabangun pun
berniat untuk mempersunting Dewi Nawang Sasi, meski telah diingatkan oleh
abdinya, Jorodeh dan Prasonto.
Koreografer dan komposer di balik
Panji Mangu adalah kakak beradik Dimas dan Bagus, putra Sueroso, yang juga
cicit dari Karimoen. Mereka memiliki energi kreatif yang luar biasa,
memperlakukan wayang topeng dengan cara yang berbeda, cara yang bisa diterima
oleh rekan sebaya mereka, generasi muda.
Secara keseluruhan, koreografi dan
komposisi musik yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang topeng Panji Mangu
ini memiliki kemiripan dengan gaya Swargaloka-Jakarta pimpinan Suryandoro.
Penampilan yang benar-benar bergaya metropolitan ini menunjukkan bahwa jika wayang
topeng ingin "mendunia" dan menjadi seni pertunjukan populer, maka
jalan inovasi seperti inilah yang harus ditempuh oleh mereka. Pergelaran ini
bukan hanya sekadar tontonan, melainkan sebuah jembatan yang menghubungkan masa
lalu dengan masa kini, menjamin kelangsungan hidup seni tradisional di tengah
gempuran modernitas.
Penulis: R.Dt.
Posting Komentar untuk "Ketika Panji Mangu Memukau Malang: Revitalisasi Wayang Topeng di Era Milenial"