Jiwa yang Bergetar di Panggung: Menguak Efek Ritual dalam Seni Pertunjukan

 

pementasan Kecak Ramayana juga menggunakan ritual dalam pementasannya (Foto ist.)


Damariotimes. Seni pertunjukan selalu memiliki daya tarik yang misterius. Lebih dari sekadar hiburan visual atau narasi yang terstruktur, ada kalanya pada pementasan tertentu mampu menyentuh jiwa, membangkitkan emosi, atau bahkan mengubah cara pandang orang terhadap realitas. Pengalaman semacam ini seringkali berasal dari dimensi yang lebih dalam, yaitu praktik ritual yang tersembunyi atau disengaja dalam setiap gerak, suara, dan simbol yang ditampilkan di atas panggung. Seorang dalang wayang topeng legendaris di tahun 1970-an, Bernama Rasimen, biasa di panggil mbah Nek.  Dalang tersebut tergabung dalam perkumpulan Wayang Topeng Asmarabangun dari desa Kedungmonggo Pakisaji, Kab. Malang Jawa Timur. Beliau mengaku, bahwa seorang dalang harus mempunyai ritual tersendiri, mantra setelah dirafal (diucapkan) dan dodokan pertama, suara mbah Nek berkumandang, penonton tidak ada yang bercakap, semua diam, dan menonton hingga pertunjukan selesai.

Ritual, dalam konteks ini, dapat dipahami sebagai serangkaian tindakan magis simbolistis yang memiliki makna mendalam, seringkali diulang, dan bertujuan untuk menciptakan atau menegaskan realitas tertentu—baik spiritual, sosial, maupun personal. Artikel ini akan menyelami elemen ritual ini termanifestasi dalam seni pertunjukan, efek transformatifnya, serta beberea pedapat dari peneliti terkemuka mengemukakan pendapatnya.

 

Akar seni pertunjukan modern seringkali terlacak hingga ritual-ritual kuno. Jauh sebelum panggung teater berdiri megah, manusia telah menggunakan tarian, nyanyian, dan drama sebagai sarana untuk berinteraksi dengan alam, memohon kesuburan, menyembuhkan penyakit, atau menginisiasi anggota baru ke dalam komunitas. Dalam konteks ini, pertunjukan bukanlah sekadar representasi, melainkan sebuah aksi fungsional yang bertujuan mengubah atau menegaskan sesuatu di dunia nyata atau spiritual. Ada kesamaan mencolok antara ritual dan pertunjukan: keduanya melibatkan performativitas, penggunaan simbol-simbol kuat, pengaturan ruang-waktu yang khusus (panggung dan area ritual), serta partisipasi, baik aktif maupun pasif. Perbedaan mendasar mungkin terletak pada tujuan utama; ritual cenderung memiliki tujuan transformatif langsung (misalnya, membuat hujan turun), sementara pertunjukan modern lebih sering menekankan aspek estetika, narasi, atau hiburan. Namun, banyak seniman kontemporer yang secara sadar mengadopsi struktur dan intensitas ritual untuk mencapai efek yang lebih mendalam, melebur batas antara fungsionalitas dan estetika. Kita bisa melihatnya dalam tari-tarian tradisional yang sarat makna spiritual, seperti tari kesurupan yang membuka gerbang ke dunia lain, atau dalam teater fisik yang intens yang mendorong batasan tubuh dan pikiran performer, seperti karya Jerzy Grotowski yang berupaya menemukan esensi "teater miskin" yang mendekati ritual keagamaan.

 

Efek ritual dalam pementasan adalah fenomena yang kompleks, memengaruhi baik performer maupun penonton. Bagi performer, praktik-praktik ritualistik seringkali mendorong mereka ke dalam kondisi performa alternatif atau bahkan trance. Pengulangan gerakan, mantra, atau fokus mental yang intens dapat melampaui batas kesadaran sehari-hari, menghasilkan performa yang jauh lebih otentik, spontan, dan sarat energi. Disiplin fisik dan mental yang dituntut oleh ritual juga membangun daya tahan luar biasa, menjadikan tubuh performer instrumen yang lebih kuat dan ekspresif. Lebih dari itu, ritual memungkinkan performer merasakan koneksi personal yang lebih dalam dengan karakter atau tema yang mereka bawakan, melampaui sekadar akting menjadi "mengalami."

Sementara itu, bagi penonton, efek ritual ini dapat menghadirkan pengalaman yang benar-benar transformatif. Mereka tidak hanya menjadi pengamat pasif, tetapi ditarik ke dalam pengalaman kolektif yang kuat, kadang hingga mencapai katarsis emosional atau pencerahan spiritual. Ritual menciptakan rasa kebersamaan, melampaui sekat-sekat individu dan mendorong partisipasi, meskipun hanya secara emosional. Ada peningkatan kehadiran (presence) yang signifikan; pertunjukan terasa lebih "hidup" dan mendesak di masa kini, bukan hanya sebagai representasi yang terpisah. Pada akhirnya, dimensi ritualistik ini membantu penonton merefleksikan makna-makna mendalam tentang kehidupan, kematian, atau nilai-nilai sosial yang relevan.

 

Memahami dimensi ritual dalam seni pertunjukan tidak lepas dari kontribusi para peneliti dan teoretikus terkemuka. Salah satu yang paling berpengaruh adalah Victor Turner, seorang antropolog yang memperkenalkan konsep-konsep kunci seperti liminality dan communitas. Turner memandang ritual sebagai sebuah proses dengan tiga fase: pre-liminal (pemisahan dari struktur normal), liminal (masa transisi, ambigu, dan bebas dari hierarki), dan post-liminal (re-integrasi ke dalam struktur dengan status baru). Efek transformatif ritual, menurut Turner, terjadi di fase liminal. Dalam seni pertunjukan, kita bisa menganalisis bagaimana sebuah pementasan menciptakan "ruang liminal" ini, di mana batas antara realitas dan fiksi kabur, memungkinkan penonton dan performer mengalami transformasi personal atau kolektif.

Kemudian ada Richard Schechner, seorang teoretikus performance studies, yang melihat semua perilaku, termasuk ritual, sebagai bentuk performa. Schechner memperkenalkan gagasan "restored behavior" atau perilaku yang dipulihkan, yang mengacu pada gerakan, tindakan, dan ucapan yang diulang dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, membentuk inti ritual dan performa. Untuk menganalisisnya, kita bisa mengamati bagaimana elemen-elemen ritualistik—gerakan spesifik, suara, penggunaan properti—secara sadar diulang dan "direstorasi" di atas panggung untuk memprovokasi efek tertentu pada performer dan audiens. Schechner juga membedakan antara performa yang bertujuan effectiveness (seperti ritual yang mencari hasil konkret) dan entertainment (seperti teater modern yang mencari hiburan), namun mengakui bahwa banyak praktik kontemporer berusaha memadukan keduanya.

Meskipun bukan teoretikus ritual secara langsung, gagasan Erving Goffman tentang The Presentation of Self in Everyday Life juga relevan. Goffman menganalisis bagaimana individu menampilkan diri mereka di "depan panggung" kehidupan sosial, lengkap dengan peran dan skrip. Dalam konteks ritual pertunjukan, ini membantu kita memahami bagaimana performer menyajikan diri mereka secara ritualistik, serta pentingnya area "belakang panggung" untuk persiapan dan transisi dari dan ke dalam kondisi performa.

Analisis fenomena ini dapat diperdalam melalui beberapa pendekatan. Analisis semiotik membantu kita membedah simbol-simbol yang digunakan dalam ritual dan pertunjukan, mengungkap bagaimana simbol-simbol tersebut menciptakan dan menyampaikan makna yang mendalam. Analisis fenomenologis berfokus pada pengalaman subjektif—bagaimana ritual dirasakan oleh performer dan penonton—memberikan pemahaman yang kaya tentang dampak emosional dan kognitifnya. Sementara itu, etnografi performa melibatkan pengamatan partisipatif dan wawancara untuk memahami praktik ritual dalam konteks budaya aslinya dan bagaimana elemen-elemen ini kemudian diterjemahkan atau diadaptasi ke dalam pementasan di atas panggung.

 

Penulis : R.Dt.

Posting Komentar untuk "Jiwa yang Bergetar di Panggung: Menguak Efek Ritual dalam Seni Pertunjukan"