Menggali Potensi Tematik Budaya Mataraman di Jawa Timur: Dari Spirit Pandu hingga Kapiwara

 

diskusi santai di MCC Malang: Potensi Budaya Mataraman (Foto ist.)


Damariotimes. Malang, 14 Juni 2025 – Malang Creative Center (MCC) menjadi saksi diskusi menarik mengenai potensi tematik budaya Mataraman di Jawa Timur. Pertemuan santai yang digagas oleh Ampri Bayu Saputro: Pokja Pemeliharaan Objek Pemajuan Kebudayaan, di Balai Pelestarian Kebudayaan wilayah XI ini mempertemukan dua pakar seni dan budaya, Tri Brotowibisono, seorang pakar tari tradisi Jawa Timur, koreografer, dan instruktur tari Remo, serta Robby Hidajat, staf pengajar Program Studi Pendidikan Seni Tari dan Musik (PSTM) DSD FS Universitas Negeri Malang, koreografer dan penulis.

Diskusi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menggali lebih dalam warisan budaya Mataraman yang kaya di Jawa Timur, dengan fokus pada bagaimana warisan ini dapat diinterpretasikan ulang dan dikembangkan menjadi inspirasi bagi karya seni pertunjukan kontemporer. Topik yang dibahas mengerucut pada literasi dan artefak yang memiliki potensi kuat sebagai sumber inspirasi tematik.



Tiga Sumber Potensial dari Tri Brotowibisono: Kresnayana, Garudeya, dan Spirit Pandu

Tri Brotowibisono membuka diskusi dengan mengemukakan tiga sumber literasi utama yang berpotensi besar untuk digali. Pertama, adalah Kresnayana, sebuah wiracarita yang mengisahkan kehidupan dan perjuangan Kresna. Kedua, adalah Garudeya, yang berpusat pada kisah Garuda, burung legendaris yang menjadi kendaraan Dewa Wisnu dan simbol kebebasan serta kekuatan. Namun, sorotan utama Tri Brotowibisono jatuh pada sumber ketiga: kisah Pandu yang membagi kerajaannya menjadi dua.

Argumen Tri Brotowibisono mengarah pada gagasan bahwa spirit pembagian wilayah oleh Pandu ini sangat mungkin telah menjiwai budaya Mataraman di Jawa Timur. Pembagian ini, entah secara literal dalam konteks geografis atau secara simbolis dalam bentuk keberagaman identitas dan karakteristik masyarakat, bisa menjadi fondasi tematik yang kuat. Spirit ini dapat mencerminkan dinamika, adaptasi, dan keberlanjutan budaya di tengah perubahan, yang merupakan ciri khas masyarakat Mataraman. Menggali narasi ini dapat membuka pemahaman baru tentang bagaimana identitas dan nilai-nilai dibentuk dalam masyarakat Jawa Timur, serta bagaimana hal tersebut direfleksikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk seni dan tradisi.

 

Melengkapi Potensi Tokoh Hanoman: Bukan Ramayana, Tapi Kapiwara

Menyambung gagasan Tri Brotowibisono, Robby Hidajat memberikan perspektif yang melengkapi, dengan mengarahkan perhatian pada potensi tokoh Hanoman. Robby berpendapat bahwa fokus pada tokoh Hanoman, daripada seluruh epik Ramayana, akan lebih relevan dan memiliki dampak yang lebih besar di Jawa Timur. Ia beralasan bahwa tokoh Rama dan Sinta, yang merupakan sentral dalam Ramayana, sudah sangat populer dan mendominasi narasi di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Sebaliknya, Hanoman menawarkan potensi yang belum banyak tergarap sebagai sumber inspirasi semangat perjuangan dan patriotisme bagi generasi muda. Robby mencontohkan bagaimana di Thailand, Ramayana lebih dikenal dengan sebutan Ramakien, di mana tokoh Hanoman justru lebih populer daripada Rama atau Sinta. Demikian pula di Malaysia, tokoh Dasamuka (Rahwana) yang lebih menonjol. Ini menunjukkan bahwa fokus pada karakter tertentu dalam epik besar dapat memberikan kekhasan dan resonansi yang berbeda di berbagai wilayah.

Di Jawa Timur, khususnya bagi masyarakat berlatar budaya Mataraman, Hanoman memiliki daya tarik tersendiri. Hanoman, yang dikenal dengan sebutan Kapiwara di beberapa daerah seperti Pacitan, Tulungagung, Blitar, Kediri, bahkan Malang, adalah simbol kekuatan, kesetiaan, keberanian, dan pengabdian tanpa pamrih. Ia adalah tokoh yang berjuang gigih demi kebenaran tanpa mengharapkan pamrih pribadi. Spirit Kapiwara ini sangat relevan untuk digaungkan di tengah generasi muda yang membutuhkan inspirasi untuk berjuang, berinovasi, dan memiliki jiwa patriotisme yang tinggi.

 

Hanoman sebagai Inspirasi Karya Seni Pertunjukan

Potensi Hanoman sebagai sumber inspirasi tidak terbatas pada narasi semata. Robby Hidajat menegaskan bahwa spirit Kapiwara ini dapat dikembangkan secara luas sebagai sumber inspirasi karya seni pertunjukan, baik itu tari, drama, maupun sendratari. Keberanian Hanoman dalam melintasi samudra, kesetiaannya pada Rama, kecerdasannya dalam strategi, serta kekuatannya yang luar biasa, semuanya dapat diterjemahkan ke dalam gerak, dialog, dan visual yang memukau.

Pementasan yang mengangkat spirit Hanoman akan mampu menyajikan cerita yang tidak hanya menghibur, tetapi juga sarat makna. Ia bisa menjadi cerminan dari semangat pantang menyerah, pentingnya integritas, dan kekuatan kolektif dalam mencapai tujuan. Dengan mengangkat tokoh yang sudah dikenal luas di lingkungan masyarakat Mataraman, seperti di Pacitan, Tulungagung, Blitar, Kediri, dan Malang, karya seni yang dihasilkan akan memiliki resonansi yang lebih dalam dan mudah diterima oleh khalayak. Ini akan menjadi jembatan yang kuat antara warisan budaya masa lalu dengan ekspresi artistik kontemporer, sekaligus menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang relevan bagi kehidupan modern.

Diskusi ini menggarisbawahi pentingnya melihat kembali kekayaan budaya lokal dengan perspektif yang segar. Dengan menggali spirit Pandu dan memfokuskan pada Kapiwara, Jawa Timur memiliki potensi besar untuk mengembangkan narasi budaya yang unik dan relevan, yang tidak hanya memperkaya khasanah seni pertunjukan nasional tetapi juga menginspirasi generasi mendatang.

 

Tim Damariotimes.

 

Posting Komentar untuk "Menggali Potensi Tematik Budaya Mataraman di Jawa Timur: Dari Spirit Pandu hingga Kapiwara"