![]() |
rapat prodi pendidikan seni tari (sumber AI) |
Damariotimes. Pendidikan seni di
Indonesia, khususnya dalam ranah seni pertunjukan seperti tari, musik, dan
teater, memegang peran krusial dalam melestarikan sekaligus mengembangkan
kekayaan budaya bangsa. Namun, di balik misi luhur tersebut, muncul pertanyaan
mendasar mengenai relevansi kurikulum yang diterapkan di banyak program studi
(prodi) seni pertunjukan atau sendratasik (seni drama, tari, dan musik) dengan
visi dan misi yang seringkali muluk-muluk. Tulisan ini mengulas secara kritis
komposisi kurikulum tersebut, menyoroti kecenderungan untuk lebih menekankan
aspek praktik dan karya kreativitas, sambil mengesampingkan pengembangan
pengetahuan atau keilmuan yang semestinya menjadi landasan kuat bagi seorang
seniman akademis.
Visi dan Misi Megah, Realitas
Kurikulum yang Menjebak
Setiap prodi seni pertunjukan di
berbagai perguruan tinggi seni (PTN Seni) di Indonesia, seperti Institut Seni
Indonesia (ISI) di berbagai kota, atau Fakultas Seni Pertunjukan di universitas
umum, umumnya memiliki visi dan misi yang mencita-citakan lulusan yang tidak
hanya terampil dalam praktik kesenian, tetapi juga berwawasan luas, kritis,
inovatif, dan mampu berkontribusi pada pengembangan seni dan keilmuan.
Terkadang terdengar visi yang menyatakan ingin menjadi pusat unggulan
pendidikan seni pertunjukan yang menghasilkan seniman dan cendekiawan seni
bertaraf internasional, atau yang ingin mengembangkan seni pertunjukan berbasis
riset dan kearifan lokal.
Namun, ketika visi dan misi tersebut
diperbandingkan dengan komposisi kurikulum yang sesungguhnya, seringkali
ditemukan ketidakseimbangan yang mencolok. Kurikulum pendidikan seni
pertunjukan di Indonesia secara umum dapat dipahami terbagi menjadi tiga pilar
utama: pengetahuan akademik, praktik kesenian, dan karya
kreativitas. Idealnya, ketiga pilar ini seharusnya seimbang dan saling
menopang. Pengetahuan akademik memberikan landasan teoretis, historis, dan
filosofis; praktik kesenian mengasah keterampilan teknis dan artistik;
sementara karya kreativitas menjadi wujud nyata dari penguasaan kedua pilar
sebelumnya.
Data yang Terucap dari Kurikulum:
Dominasi Praktik dan Minimnya Pengetahuan Ilmiah
Melihat lebih dekat pada struktur
kurikulum yang dipublikasikan oleh beberapa perguruan tinggi, tampaklah adanya
kecenderungan dominasi bobot satuan kredit semester (SKS) untuk mata kuliah
praktik dan penciptaan karya. Misalnya, pada beberapa prodi Seni Tari atau
Karawitan, proporsi SKS untuk mata kuliah praktik (seperti Olah Tubuh, Teknik
Tari, Garap Karawitan) dan mata kuliah penciptaan atau garapan (seperti
Komposisi Tari, Karya Tari, Konser Karawitan) dapat mencapai 60 hingga 70% dari
total SKS kumulatif. Sementara itu, mata kuliah yang secara eksplisit
mengembangkan pengetahuan ilmiah dan metodologi riset, seperti Filsafat Seni,
Estetika, Sejarah Seni, Kritik Seni, Metode Penelitian Seni, atau Sosiologi
Seni, seringkali hanya dialokasikan dengan bobot SKS yang relatif kecil, bahkan
terkadang hanya menjadi mata kuliah pilihan atau pelengkap.
Ambil contoh dari publikasi
kurikulum salah satu prodi Seni Tari di sebuah ISI terkemuka (yang dapat
ditemukan hingga tahun ajaran 2023/2024). Di sana, mata kuliah praktik tari dan
komposisi tari memegang bobot SKS yang jelas jauh lebih tinggi dibandingkan
mata kuliah teori dan metode penelitian. Bahkan, mata kuliah metodologi
penelitian seringkali baru muncul di semester akhir, dan dengan bobot SKS yang
minim, menyulitkan mahasiswa untuk mengembangkan penelitian yang substansial.
Ini semakin diperparah dengan mata kuliah terkait kajian seni yang cenderung
bersifat pengantar dan tidak mendorong eksplorasi mendalam atau pengembangan
teori baru. Fenomena serupa juga dapat diamati pada prodi Seni Musik
(Karawitan/Etnomusikologi/Komposisi) dan Seni Teater, di mana jam praktik dan
produksi panggung menjadi primadona, sementara kajian kritis dan keilmuan seni
seperti terpinggirkan.
Dampak Negatif Dominasi Praktik
Tanpa Fondasi Pengetahuan Kuat
Kecenderungan ini membawa beberapa
konsekuensi negatif yang perlu diperhatikan dengan saksama. Pertama,
dapat menciptakan seniman yang terampil, namun kurang berwawasan.
Lulusan mungkin sangat mahir dalam teknik dan kreasi artistik, namun seringkali
kurang memiliki landasan teoritis yang kuat untuk mengkritisi, menganalisis,
atau bahkan mengembangkan seni pertunjukan secara konseptual. Mereka menjadi
seniman yang hanya "mampu melakukan" tanpa "mampu memahami
mengapa" atau "mampu mengkonseptualisasikan". Kedua,
munculnya minimnya inovasi berbasis riset. Kurangnya penekanan pada
metodologi penelitian dan kajian ilmiah mengakibatkan minimnya kontribusi
lulusan terhadap pengembangan teori seni baru, kritik seni yang substansial,
atau bahkan inovasi artistik yang didasari oleh riset mendalam. Seni
pertunjukan berisiko stagnan dalam praktik semata, tanpa dorongan intelektual
yang kuat.Ketiga, ini menjadi hambatan dalam lingkungan akademis
lanjutan. Lulusan yang hendak melanjutkan studi ke jenjang pascasarjana
(S2/S3) di bidang kajian seni (seni murni, etnomusikologi, performance
studies) seringkali menghadapi kesulitan signifikan karena kurangnya bekal
metodologi penelitian dan kerangka berpikir ilmiah yang memadai selama jenjang
sarjana.Keempat, terjadi kesenjangan antara kreator dan
kurator/kritikus. Dominasi praktik tanpa basis pengetahuan ilmiah yang kuat
dapat menciptakan kesenjangan antara seniman (kreator) dengan kurator atau
kritikus seni yang berlandaskan teori. Kondisi ini mempersulit dialog yang
konstruktif dan pengembangan ekosistem seni yang sehat.
Terakhir, ada risiko plagiarisme
intelektual. Tanpa pemahaman mendalam tentang sejarah, teori, dan etika
riset, ada risiko lebih besar bagi mahasiswa untuk tanpa sengaja melakukan
plagiarisme ide atau konsep karena kurangnya kemampuan untuk mengidentifikasi
dan mensintesis informasi secara orisinal.
Mengejar Keseimbangan: Jalan Menuju
Cendekiawan Seniman
Untuk mengatasi kondisi ini,
diperlukan revisi kurikulum yang radikal dan berani. Perlu ada peningkatan
bobot mata kuliah kajian dan metodologi penelitian, dengan alokasi SKS yang
lebih signifikan dan terintegrasi sejak semester awal untuk mata kuliah seperti
Filsafat Seni, Estetika, Sejarah Seni Kontemporer, Kritik Seni, Sosiologi Seni,
dan terutama, Metodologi Penelitian Seni yang komprehensif.
Selain itu, perlu didorong integrasi
riset dalam praktik. Praktik kesenian tidak harus berdiri sendiri;
mahasiswa dapat didorong untuk melakukan riset kecil sebagai bagian dari proses
penciptaan karya, misalnya riset mengenai tradisi, konteks sosial, atau
teori-teori baru yang relevan dengan karyanya. Skripsi atau Tugas Akhir tidak
hanya berfokus pada pertunjukan, tetapi juga disertai dengan laporan penelitian
yang kuat.
Kolaborasi antar disiplin juga
merupakan langkah penting. Mendorong kolaborasi antara prodi seni pertunjukan
dengan prodi lain seperti Antropologi, Sejarah, Sosiologi, atau bahkan Ilmu
Komputer akan memperkaya perspektif dan metodologi. Dosen pengampu mata kuliah
praktik juga perlu didorong untuk aktif dalam riset dan publikasi ilmiah,
sehingga dapat menularkan semangat keilmuan kepada mahasiswa. Terakhir,
perpustakaan dan akses jurnal ilmiah harus diperkaya koleksi buku dan jurnal
ilmiahnya serta memfasilitasi akses mahasiswa ke basis data jurnal
internasional yang relevan dengan seni pertunjukan.
Tim Damariotimes.
Posting Komentar untuk "Mempertanyakan Fondasi: Kurikulum Pendidikan Seni Pertunjukan di Indonesia dan Kekeringan Pengetahuan Ilmiah"