![]() |
guru seni seniman guru (Foto ist.) |
Damariotimes. Gaung problematika
"guru seniman" dan "seniman guru" bukanlah melodi baru
dalam ranah pendidikan seni di Indonesia, khususnya di lingkungan LPTK sejak
dekade 1980-an. Namun, seiring berjalannya waktu, cita-cita untuk melahirkan
sosok guru seni yang tidak hanya mumpuni dalam pedagogi, tetapi juga piawai
berkarya layaknya seniman produktif, justru semakin menguat dan tak lekang oleh
zaman. Ini adalah mimpi yang tak hanya ingin digaungkan, tetapi juga secara
nyata dituangkan dalam denyut nadi kurikulum pendidikan seni kita.
Bayangkanlah seorang guru seni yang
setiap ucapannya adalah inspirasi, setiap gerak tangannya adalah demonstrasi
nyata akan keindahan, dan setiap karyanya adalah bukti otentik dari proses
kreatif yang ia ajarkan. Inilah esensi dari "guru seniman" dan
"seniman guru". "Guru seniman" adalah mereka yang lahir
dari kawah candradimuka pendidikan keguruan, menguasai seluk-beluk metodologi
dan teori pengajaran seni, namun di sela kesibukan mengajar, jemarinya tak
berhenti menari di atas kanvas, memahat, atau merangkai nada. Kekaryaan seni
mereka menjadi laboratorium pribadi, tempat mereka terus belajar dan
berinovasi, yang kemudian memperkaya pengalaman dan wawasan yang dibagikan
kepada para siswa. Di sisi lain, "seniman guru" adalah mereka yang
telah mengukir jejak gemilang di panggung seni sebagai kreator, dengan
karya-karya yang diakui dan diapresiasi, lalu memilih untuk menjejakkan kaki di
dunia pendidikan. Mereka membawa angin segar pengalaman langsung, intuisi
artistik, dan pemahaman mendalam tentang praktik berkesenian ke dalam ruang
kelas, menjadikan pengajaran sebagai wadah untuk menularkan passion dan
pengetahuan yang tak ternilai.
Model Pendidikan Seni yang Berjiwa
Seniman
Semangat untuk melahirkan guru seni
yang berjiwa seniman ini bukanlah utopia. Di berbagai belahan dunia, kita bisa
menemukan jejak-jejak inspiratif dari sistem pendidikan seni yang telah
berhasil merajut dua jiwa ini. Di Finlandia, misalnya, yang terkenal
dengan sistem pendidikannya yang progresif, para calon guru seni tak hanya
dijejali teori pedagogi. Mereka juga didorong untuk aktif terlibat dalam
proyek-proyek seni berbasis praktik, mengintegrasikan studio praktik, kritik
seni, dan pedagogi dalam kurikulum yang seimbang. Tujuannya jelas: menciptakan
guru yang bisa menjadi fasilitator dan inspirator, yang memantik kreativitas
siswa melalui pengalaman berkesenian yang autentik.
Begitu pula di beberapa institusi
terkemuka di Amerika Serikat dan Inggris, program pendidikan guru
seni seringkali menekankan pada studi studio yang intensif. Calon guru
harus memiliki portofolio karya seni yang kuat sebagai bukti kapabilitas
artistik mereka, di samping menguasai beragam strategi pengajaran. Bahkan,
beberapa program mewajibkan pengalaman praktik sebagai seniman profesional. Hal
serupa juga terlihat di Jerman melalui program
"Kunstpädagogik" yang menekankan pada komponen praktik seni yang
kuat, mengakui bahwa pengalaman langsung dalam berkarya adalah kunci
efektivitas seorang guru seni. Ciri khas dari model-model ini adalah integrasi
teori dan praktik yang erat, studi studio yang kuat, pengembangan kreativitas
pribadi guru, dan pendekatan berbasis proyek yang mendorong eksperimen dan
inovasi. Mereka percaya bahwa untuk mengajar seni dengan hati dan jiwa, seorang
guru haruslah terlebih dahulu menjadi seniman.
"Guru Seniman" dan
"Seniman Guru" adalah Kunci Masa Depan Pendidikan Seni Indonesia
Pertanyaannya kemudian, seberapa
relevankah konsep "guru seniman" dan "seniman guru" ini
bagi masa depan pendidikan seni di Indonesia? Jawabannya adalah: sangat
relevan, bahkan semakin krusial. Di era pendidikan abad ke-21 yang menuntut
bukan hanya penguasaan teknik, tetapi juga pengembangan kreativitas, pemikiran
kritis, kolaborasi, dan komunikasi, guru yang memiliki pengalaman langsung
sebagai seniman akan menjadi ujung tombak yang tak tergantikan. Mereka mampu
memberikan wawasan yang otentik tentang seluk-beluk proses kreatif, mengajarkan
nilai-nilai seperti ketekunan, disiplin, dan keberanian berekspresi, yang
semuanya diasah dalam proses berkesenian.
Seorang guru yang juga seniman akan
mampu menjembatani kesenjangan antara teori yang diajarkan di bangku kuliah
dengan realitas praktik seni di lapangan. Mereka bisa membawa "dunia
nyata" seni ke dalam kelas, mempersiapkan siswa untuk tantangan yang lebih
kompleks, dan menjadi model peran yang menginspirasi. Dengan adanya guru
berjiwa seniman, LPTK juga akan lebih mudah berinovasi dalam mengembangkan
kurikulum yang lebih aplikatif dan relevan, membuka peluang kolaborasi dengan
komunitas seni, dan pada akhirnya, meningkatkan kualitas pembelajaran seni
secara menyeluruh. Cita-cita ini memang memiliki tantangan, mulai dari beban
kerja guru, kebutuhan akan pengembangan profesional berkelanjutan, hingga
penyesuaian kurikulum LPTK. Namun, semua tantangan itu sepadan dengan manfaat
yang akan kita tuai: lahirnya generasi penerus yang tidak hanya cerdas, tetapi
juga kreatif, kritis, dan berbudaya, mampu melihat dan menciptakan keindahan di
setiap sudut kehidupan. Ini adalah investasi jangka panjang untuk masa depan
bangsa yang berbudaya dan berdaya saing.
Tim Damariotimes.
Posting Komentar untuk "Merajut Cita-cita "Guru Seniman" dan "Seniman Guru" dalam Pendidikan Seni Indonesia"