Dekonstruksi Seni Pertunjukan dan Pemahaman Mendalam atas Tubuh Seniman Tradisional

 


Jacques Derrida (sumber AI)


Damariotimes. Dalam ranah seni pertunjukan, tubuh seniman bukanlah sekadar wadah kosong, melainkan medan yang teramat kompleks, tempat identitas yang terbentuk, jejak-jejak sejarah, dan praktik-praktik budaya bertemu dalam tarian yang tak pernah usai. Namun, seringkali pemahaman kita yang tradisional tentang tubuh terjebak dalam jaring-jaring konstruksi sosial dan budaya yang membatasi, seolah mengikat potensi ekspresi. Di sinilah dekonstruksi, sebuah lensa kritis yang tajam, hadir untuk membongkar pemahaman konvensional tersebut, membuka cakrawala baru yang memungkinkan tubuh seniman terbebas dari belenggu sosio-kultural yang membelenggunya.

Secara historis, khususnya dalam konteks seni pertunjukan di Indonesia, tubuh seniman acap kali dipahami sebagai bejana yang menampung tradisi, norma-norma yang mapan, dan estetika yang diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap gerakan, setiap ekspresi, bahkan postur tubuh, telah diatur dengan cermat oleh konvensi-konvensi yang telah mengakar kuat. Tubuh sang seniman kerap dipandang sebagai representasi kolektif, sebuah cerminan masyarakat, dan bukan sebagai individu yang otonom. Ambil contoh tari Jawa klasik, di mana setiap lengkungan jari, setiap lengkungan punggung, bahkan sorot mata, memiliki makna dan fungsi yang telah ditetapkan secara turun-temurun, menjadikan tubuh sebagai "teks" hidup yang dibaca sesuai kaidah budaya yang berlaku. Pemahaman ini, meski kaya warisan dan keindahan, secara paradoks berpotensi membatasi potensi ekspresif sang seniman. Tubuh seolah terkunci dalam repetisi dan imitasi, seringkali mengabaikan gejolak pengalaman subjektif, riak emosi pribadi, dan interpretasi kontemporer yang seharusnya bisa muncul. Di sinilah esensi dekonstruksi mengambil perannya.

Dekonstruksi, sebagai sebuah metode filosofis yang dipopulerkan oleh pemikir ulung Jacques Derrida, pada intinya berupaya membongkar struktur dan hierarki makna dalam sebuah teks atau konsep. Dalam konteks seni pertunjukan, ini berarti menempatkan tanda tanya besar pada asumsi-asumsi dasar tentang tubuh seniman. Alih-alih menerima tubuh sebagai entitas pasif yang hanya tunduk pada alur tradisi, dekonstruksi mendorong kita untuk melihatnya sebagai situs yang terus-menerus dinegosiasikan, dipengaruhi, dan bahkan ditentang. Pertanyaan-pertanyaan provokatif seperti: "Mengapa tubuh harus bergerak seperti ini?", "Siapa yang sesungguhnya menetapkan norma-norma ini?", atau "Bagaimana tubuh ini bisa mengekspresikan sesuatu di luar batasan yang telah ada?" menjadi sangat relevan dalam proses pemahaman ini. Melalui dekonstruksi, kita dapat dengan cermat mengidentifikasi bagaimana kode-kode budaya—mulai dari gerak, kostum, hingga riasan—secara halus membentuk pemahaman kita tentang tubuh seniman. Kita juga bisa melihat bagaimana dinamika kekuasaan, misalnya dalam hubungan guru-murid atau dominasi gender dalam peran tertentu, secara implisit terpatri dalam praktik-praktik tubuh. Tujuannya bukanlah untuk menghancurkan warisan tradisi, melainkan untuk memahami struktur internalnya, mengidentifikasi celah-celahnya, dan yang terpenting, menciptakan ruang yang luas bagi interpretasi dan inovasi yang segar.

Jalan menuju pembebasan tubuh ini, yang diemban melalui lensa dekonstruksi, memungkinkan berbagai bentuk kebebasan yang transformatif. Pertama, terdapat pembebasan ekspresi individu, di mana seniman tak lagi merasa terikat sepenuhnya pada bentuk-bentuk baku. Mereka kini dapat menyelami dan mengeksplorasi gerakan yang muncul dari kedalaman pengalaman internal mereka sendiri, bukan semata-mata dari instruksi eksternal, membuka pintu bagi penciptaan yang lebih otentik dan personal. Kedua, dekonstruksi memungkinkan melampaui batasan gender dan identitas yang kaku. Jika tubuh tradisional sering terikat pada peran gender yang tak fleksibel, dekonstruksi justru memfasilitasi eksplorasi identitas yang lebih cair, memungkinkan tubuh menjadi medium untuk mempertanyakan, bahkan menentang, norma-norma gender yang ada. Ketiga, dekonstruksi bukanlah penolakan total, melainkan sebuah negosiasi ulang yang kritis dengan tradisi. Seniman kini memiliki kemampuan untuk berdialog dengan warisan budaya secara kritis, mengambil elemen-elemen tradisional, dan mengartikulasikannya kembali dalam konteks kontemporer, memberikan makna baru tanpa harus kehilangan esensi orisinalnya. Terakhir, muncullah kesadaran akan tubuh politik, sebuah pemahaman bahwa tubuh senantiasa terkait erat dengan kekuatan dan diskursus sosial. Kesadaran ini memungkinkan seniman untuk menggunakan tubuh mereka sebagai alat perlawanan yang kuat, kritik yang tajam, atau komentar sosial yang mendalam.

Untuk mendalami pemahaman yang kaya ini, kita bisa merujuk pada beberapa tokoh dan referensi kunci. Jacques Derrida sendiri, sebagai bapak dekonstruksi, dengan karya-karyanya seperti Of Grammatology atau Speech and Phenomena, menawarkan fondasi metodologis yang esensial. Kemudian ada Judith Butler, seorang pemikir feminis yang melalui Gender Trouble dan Bodies That Matter, sangat relevan dalam membahas bagaimana tubuh dan gender dikonstruksi secara performatif, di mana konsep performativitasnya berkaitan erat dengan bagaimana tubuh dalam seni pertunjukan tidak hanya menampilkan tetapi juga membentuk identitas. Michel Foucault, meskipun bukan penganut dekonstruksi murni, gagasan-gagasan cemerlangnya tentang tubuh disipliner dalam Discipline and Punish atau konsep biopower dalam History of Sexuality menyediakan kerangka untuk memahami bagaimana institusi dan kekuasaan membentuk serta mengontrol tubuh, sangat relevan untuk melihat bagaimana tubuh seniman tradisional "didisiplinkan." Lalu, AndrĂ© Lepecki, sebagai teoretikus tari dan performa kontemporer, banyak mengulas interaksi antara tubuh seniman dengan sejarah dan politik, dengan bukunya Exhausting Dance: Performance and the Politics of Movement yang menawarkan perspektif berharga. Tak ketinggalan, meskipun bukan dalam konteks dekonstruksi seni pertunjukan secara langsung, pemahaman filsafat Islam tentang tubuh dan jiwa—seperti konsep ruh dan jasad dalam tradisi Islam—yang diulas oleh M. N. Quraish Shihab, dapat memberikan sudut pandang komparatif untuk memahami dimensi non-fisik dari tubuh seniman dalam konteks budaya Indonesia yang kental dengan nilai-nilai spiritual. Akhirnya, mengamati karya-karya seniman dan praktisi seni pertunjukan kontemporer Indonesia sendiri menjadi studi kasus yang nyata. Banyak dari mereka yang secara sadar atau tidak sadar telah mempraktikkan dekonstruksi terhadap tubuh dalam karya-karya mereka, memberikan contoh konkret bagaimana gagasan pembebasan ini terwujud di atas panggung.

Dengan demikian, melalui pendekatan dekonstruktif yang mendalam ini, seni pertunjukan tradisional memiliki peluang emas untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga untuk terus berkembang, tetap relevan dengan zaman, dan yang paling penting, memberikan ruang yang luas dan tak terbatas bagi ekspresi yang lebih otentik dan personal bagi setiap senimannya.

 

Tim Damariotimes.

 

Posting Komentar untuk "Dekonstruksi Seni Pertunjukan dan Pemahaman Mendalam atas Tubuh Seniman Tradisional"