![]() |
seni tari etnik dan nilai budaya yang dibawanya (Foto AI) |
Damariotimes. Pendidikan
seni tari di Indonesia hingga kini masih didominasi oleh pendekatan
konvensional yang ironisnya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar
hiburan. Alih-alih menjadi tujuan utama, orientasi ini justru menjadi tumpuan
hidup bagi banyak lulusan seni tari. Bahkan, para guru tari di berbagai sekolah
pun seolah hanya bertugas menyiapkan siswa-siswinya sebagai 'penghibur'.
Kondisi ini mengundang refleksi mendalam mengenai paradigma pendidikan seni
tari di Indonesia.
Paradigma yang dominan di berbagai perguruan tinggi
seni tari di Indonesia saat ini cenderung menekankan pada pembentukan
"ahli seni tari" yang kompeten di bidangnya. Namun, pertanyaan
mendasar mengenai paradigma pendidikan seni tari yang ideal belum terjawab
dengan memuaskan. Kurikulum pendidikan seni tari di eks IKIP, yang banyak
mengadopsi kurikulum seni tari murni dengan tambahan pengetahuan dan teori
kependidikan umum, menunjukkan bahwa integrasi konsep pendidikan yang lebih
holistik masih belum optimal. Bahkan, keberanian panitia seminar nasional
mengusung tema "Pendidikan Karakter" mengindikasikan adanya
pertanyaan mendasar: apakah kurikulum pendidikan seni tari telah
mempertimbangkan aspek karakter dan pluralitas budaya dalam materi
pembelajarannya?
Pemahaman mengenai pluralitas budaya dalam materi
ajar seni tari tidak sekadar menghadirkan beragam tarian etnik dari berbagai
wilayah di Indonesia. Kesadaran akan pluralitas ini awalnya bertujuan membekali
lulusan agar tidak hanya terpaku mengajar di Jawa, namun juga memiliki
kompetensi untuk mengajar seni tari di luar Jawa. Namun, hal ini belum dapat
diklaim sebagai pendidikan berbasis pluralisme budaya yang sesungguhnya.
Realitas ini menuntut refleksi mendalam dari
institusi pendidikan seni tari di Indonesia. Pertama, paradigma apa yang sedang
dikembangkan saat ini? Kedua, apakah materi ajar seni tari telah
merepresentasikan keberagaman seni tari yang bersifat plural? Apakah ada
urgensi konstruktif yang mendorong lulusan pendidikan seni tari memiliki profil
karakteristik yang lebih kaya daripada sekadar "ahli seni tari"?
Diskursus mengenai hal ini masih jarang dipertemukan, bahkan kondisi yang ada
seringkali jauh dari ideal. Oleh karena itu, kesempatan ini menjadi penting
untuk menggali konsep dan menawarkan model pendidikan seni tari yang mungkin
dapat diterapkan di perguruan tinggi.
Kesadaran akan pluralitas di Indonesia telah lama
dimiliki oleh para penggagas nasionalisme, terinspirasi dari semboyan
"Bhineka Tunggal Ika". Kearifan lokal ini telah berhasil membangun
jiwa bangsa yang toleran, sadar akan perbedaan, dan memiliki sensitivitas dalam
memandang objek serta menyadari subjektivitas dalam evaluasi diri. Namun,
pertanyaannya adalah, apakah pemahaman pluralitas budaya ini telah
diimplementasikan secara efektif dalam membentuk karakter yang diharapkan
melalui proses belajar seni tari? Jika belum, maka diskusi ini hanya akan
menjadi wacana tanpa implementasi nyata.
Pendidikan karakter yang kini menjadi fokus di
berbagai lembaga pendidikan seringkali belum terwujud dalam pengajaran seni
tari. Pola pengajaran yang cenderung sulit menerima inovasi menjadi salah satu
kendalanya. Upaya beberapa guru untuk mengintegrasikan pendidikan karakter
belum disertai dengan evaluasi yang meyakinkan. Bahkan, kegiatan pendukung
seminar nasional pun masih didominasi oleh aspek teknis profesionalitas menari,
tanpa secara eksplisit mengimplementasikan gagasan pendidikan karakter berbasis
pluralitas budaya.
Sebagai pendidik seni tari, pemahaman akan
sensitivitas tubuh dan bahasa tubuh yang universal menjadi modal dasar.
Pembelajaran tari perlu dirancang untuk membentuk tubuh yang mampu mengenali
perbedaan tanpa diskriminasi. Misalnya, kesadaran akan kualitas 'defensif'
dalam tubuh pembelajar tari Jawa penting untuk diubah menjadi kepekaan tubuh
yang lebih 'opensif' melalui pendekatan analisis, bukan sekadar meniru model guru.
Pembelajaran tari Remo yang berbasis pada langkah-langkah dasar memberikan
peluang eksplorasi gerak yang lebih luas bagi siswa. Sementara itu,
pembelajaran tari Bali yang dinamis dan ritmik dapat membentuk siswa yang lebih
agresif dan emosional, dengan pertimbangan aspek gender dalam pembelajarannya.
Tari Saman, dengan pola kolektif yang kuat, mengajarkan kerjasama dan
solidaritas. Dalam konteks koreografi, pembelajaran berbasis pluralitas budaya
tidak hanya menekankan kreativitas individu, tetapi juga kemampuan
berorganisasi dan berkolaborasi. Demikian pula dalam pembelajaran teori, materi
seperti sejarah seni tari perlu disajikan dengan mempertimbangkan spesifikasi
berbagai jenis tari dalam konteks etnik yang beragam, seperti perbedaan
karakter penari Pakarena dan tari Jawa.
Berbagai aspek yang menjadi isu dalam seminar
nasional ini tentu masih dapat digali lebih dalam. Harapannya, setiap institusi
pendidikan seni tari bersedia secara sadar menerapkan dan mengembangkannya
sebagai produk intelektual yang bermanfaat bagi kemajuan pendidikan seni tari
di Indonesia.
Tim Damariotimes.
Posting Komentar untuk "Refleksi Paradigma Pendidikan Seni Tari Indonesia: Antara Pasar Hiburan dan Pluralitas Budaya"