![]() |
Tampilan Mahasiswa PSTM UM (Foti ist.) |
Damariotiems. Dalam labirin
pemikiran, sering kali tersandung pada pertanyaan mendasar yang menggelayuti
benak: manakah yang seharusnya mendahului? Ketika berhadapan dengan serangkaian
elemen seperti pertunjukan, perspektif imajinatif, bentuk, konsep, gagasan,
ide, atau hasil akhir yang diidamkan, urutan prioritas seolah menjadi teka-teki
yang tak kunjung usai. Kegelisahan ini menjadi titik awal perenungan mendalam
tentang hakikat “kebenaran” dan menari mengikuti irama interpertasi sang
pengamat.
Mari menelaah lebih dekat konsep
"pertunjukan." Secara sederhana, pertunjukan adalah sebuah upaya
untuk memamerkan, untuk mempertontonkan sesuatu yang ingin ditampilkan. Syarat
esensial dari sebuah pertunjukan adalah kehadiran dua pihak yang tak terpisahkan:
sang aktor di atas pentas, yang mempersembahkan, dan audiens, sang penikmat
yang hadir untuk menyaksikan. Interaksi dinamis antara keduanya inilah yang
sesungguhnya menghidupkan sebuah pertunjukan.
Namun, di balik kesederhanaan
definisi ini, tersembunyi sebuah implikasi filosofis. Makna dan nilai dari pertunjukan
tidaklah tunggal dan bersifat absolut. Pertujukan bersemi dan bertransformasi
dalam benak setiap individu yang menyaksikannya. Seorang kritikus seni mungkin
melihatnya dari sudut pandang teknis dan estetika, seorang sejarawan mungkin
menelusuri akar budayanya, sementara seorang penonton awam menjadi hanyut dalam
emosi yang ditimbulkannya. Kebenaran tentang "apa" dan
"mengapa" sebuah pertunjukan hadir, dengan demikian, menjadi cair dan
subjektif.
Inilah inti dari gagasan bahwa
kebenaran bukanlah entitas yang kaku dan universal. Ia lebih menyerupai cairan
yang mengisi wadah pemahaman masing-masing individu. Perspektif imajinatif
seorang penonton mewarnai interpretasinya terhadap bentuk yang ditampilkan,
konsep yang diusung, gagasan yang disuarakan, dan ide yang diekspresikan. Hasil
akhir yang diinginkan oleh sang aktor bisa jadi beresonansi berbeda di hati
setiap anggota audiens, menciptakan spektrum pemaknaan yang kaya dan beragam.
Kembali pada pertanyaan awal tentang
prioritas, sesungguhnya tidak ada jawaban tunggal yang benar. Urutan mana yang
didahulukan – pertunjukan itu sendiri, perspektif imajinatif yang
melatarbelakanginya, bentuk visual yang dihadirkan, konsep abstrak yang
mendasarinya, gagasan yang ingin disampaikan, ide kreatif yang melahirkannya,
atau hasil akhir yang diimpi-impikan – sangat bergantung pada lensa kebutuhan
dan minat masing-masing individu.
Bagi seorang seniman, mungkin ide
dan konsep adalah fondasi utama yang kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk
pertunjukan. Bagi seorang produser, hasil akhir yang sukses secara komersial
bisa jadi menjadi prioritas utama. Sementara bagi seorang penonton, daya tarik
visual dan emosional dari pertunjukan itu sendirilah yang menjadi fokus
perhatian.
Dengan demikian, orang diajak untuk
merangkul pemahaman yang membebaskan: kebenaran tidaklah terpatri dalam batu,
melainkan menari dengan lincah mengikuti arah angin kebutuhan. Setiap individu
memiliki hak dan ruang untuk memaknai sebuah fenomena, sebuah karya, sebuah
gagasan, berdasarkan kerangka referensi, pengalaman, dan tujuan pribadinya.
Pengingat ini menjadi penting di
tengah arus informasi yang serba cepat dan klaim kebenaran tunggal yang
seringkali mendominasi. Alih-alih terjebak dalam perdebatan tanpa akhir tentang
siapa yang "benar" dan siapa yang "salah," mari belajar
untuk menghargai keragaman interpretasi. Mari sama sama akui bahwa kebenaran,
dalam banyak hal, adalah sebuah konstruksi sosial dan personal yang
terus-menerus dinegosiasikan dan diredefinisi.
Seperti halnya sebuah pertunjukan
yang ditampilkan mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Tari dan Musik (PSTM)
FS UM pada hari Rabu, 14 Mei 2025 di Sasana Krida UM menjadi tampilan hidup;
interaksi antara aktor dan penonton, pemahaman tentang dunia dan kebenaran juga
terbentuk melalui dialog dan pertukaran perspektif. Dengan membuka diri terhadap
berbagai sudut pandang, kita tidak hanya memperkaya pemahaman diri sendiri, akan
tetapi juga menciptakan ruang yang lebih inklusif dan toleran bagi beragamnya
keyakinan dan interpretasi.
Pada akhirnya, renungan ini mengajak
semua orang untuk menanggalkan ilusi tentang kebenaran absolut. Sebaliknya,
mari merayakan tarian relativitas, di mana setiap individu memiliki peran
sebagai penari dan penikmat, bergerak mengikuti irama kebutuhan masing-masing,
dan bersama-sama menciptakan harmoni pemahaman yang kaya dan berwarna.
Penulis: Muhammad Sirojul Munnir
Alumni PSTM/UPI Bandung
Posting Komentar untuk "Menari di Atas Panggung Relativitas: Ketika Kebenaran Menjadi Kebutuhan"