Membongkar Makna Tubuh: Memahami "Tubuh Sosial" Karya Anthony Synnott


Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, Anthony Synnott (Foti ist.) 


Damariotimes. Dalam karya monumentalnya, "Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat", Anthony Synnott yang versi Bahasa Indonesianya diterbitkan oleh penerbit Jalasutra – Yogyakarta. Alih  bahasa oleh Pipit Maizier. Buku ini secara cermat membimbing pembaca melalui pemahaman yang bersifat kompleks tentang tubuh manusia, jauh dari sekadar wadah biologis, sesungguhnya Tubuh merupakan  konstruksi sosial yang kaya makna dan simbolisme. Synnott, dengan kecerdasan analitisnya, berhasil menempatkan kembali tubuh sebagai pusat kajian sosiologis dan filosofis, sebuah posisi yang seringkali terabaikan di tengah dominasi studi tentang pikiran dan struktur sosial abstrak. Ia membuka mata kita pada kenyataan bahwa setiap cara kita memandang, merasakan, dan memperlakukan tubuh kita sendiri, serta tubuh orang lain, adalah refleksi mendalam dari norma-norma budaya, jejak sejarah, dan dinamika sosial yang melingkupi kita.

Synnott memulai perjalanannya dengan sebuah argumen fundamental: bahwa tubuh merupakan sebuah medan di mana identitas pribadi dan kolektif, relasi kekuasaan, serta nilai-nilai sosial diekspresikan secara gamblang, ditegaskan, bahkan terkadang ditentang. Dengan keahlian seorang sejarawan pemikiran, ia menelusuri evolusi persepsi terhadap tubuh dan indra dari masa ke masa, melintasi berbagai peradaban. Kita disuguhkan bagaimana tubuh pernah dipahami sebagai "makam" atau "penjara" bagi jiwa dalam pemikiran klasik dan Kristen awal, kemudian beralih menjadi "kuil" yang sakral, bergeser menjadi "mesin" yang rasional pada era Pencerahan, hingga akhirnya bertransformasi menjadi "diri" yang dinamis dan struktur "bionik" di era modern. Setiap metafora ini, dengan jelas, mencerminkan bagaimana sebuah masyarakat tertentu menafsirkan jalinan rumit antara dimensi fisik dan spiritual, antara entitas individu dan entitas kolektif.

Sebagian besar perhatian Synnott diarahkan pada tubuh dikonstruksi secara sosial. Ini bukan berarti tubuh tidak nyata secara fisik, melainkan bahwa makna, fungsi, dan bahkan pengalaman kita tentang tubuh itu sendiri dibentuk oleh norma-norma budaya yang berlaku, keyakinan yang dianut bersama, serta praktik-praktik sosial yang ada. Standar kecantikan yang berubah-ubah, ritual kebersihan pribadi, atau bahkan cara kita bergerak dan berinteraksi dalam ruang publik, semuanya adalah hasil tak terhindarkan dari konstruksi sosial ini. Tubuh, menurut Synnott, bukan hanya pasif "ada", melainkan secara aktif "dibuat" dan "dihidupi" dengan berbagai makna oleh individu dan komunitasnya.

Dalam analisisnya, Synnott tidak lupa menyentuh isu krusial mengenai gender dan bagaimana tubuh perempuan dan laki-laki secara sosial diberi makna dan kemudian diatur. Ia dengan tegas menunjukkan bahwa gender bukanlah sekadar pembagian biologis yang sederhana, melainkan sebuah sistem sosial kompleks yang secara historis telah mendefinisikan peran, menetapkan ekspektasi, dan bahkan membatasi individu berdasarkan tubuh mereka. Melalui berbagai contoh, Synnott menyoroti bagaimana masyarakat seringkali menerapkan standar ganda terkait tubuh dan moralitas antara laki-laki dan perempuan, dengan tubuh perempuan yang secara khusus seringkali menjadi objek pengawasan dan kontrol sosial yang jauh lebih ketat.

Secara lebih spesifik, Synnott mencurahkan perhatian pada kecantikan dan wajah sebagai arena utama simbolisme tubuh. Wajah, sebagai bagian tubuh yang paling terekspos, menjadi penanda utama identitas, jendela emosi, dan magnet daya tarik. Ia dengan cermat membahas bagaimana standar kecantikan, yang sangat bervariasi lintas budaya dan waktu, memengaruhi upaya manusia untuk mencapai "kesempurnaan" melalui berbagai modifikasi tubuh. Tidak hanya itu, rambut pun dianalisis sebagai elemen simbolis yang tak kalah kuat, merefleksikan status sosial, identitas kelompok, atau bahkan menjadi simbol pemberontakan.

Selanjutnya, Synnott beralih pada eksplorasi indra-indra manusia: sentuhan, penciuman, dan penglihatan. Ia mengemukakan bahwa indra-indra ini, meskipun tampak murni sebagai fungsi biologis, ternyata sangat dipengaruhi dan diinterpretasikan melalui lensa sosial. Sentuhan, misalnya, jauh melampaui sensasi fisik semata; ia adalah bentuk komunikasi fundamental yang diatur oleh norma sosial tentang siapa yang boleh menyentuh siapa, di mana, dan kapan. Sentuhan dapat menandakan keintiman, menegaskan kekuasaan, atau bahkan mengekspresikan agresi. Penciuman, sebuah indra yang sering diremehkan dalam budaya Barat modern, ternyata memiliki peran yang sangat signifikan dalam banyak kebudayaan dan sepanjang sejarah, mampu membangkitkan ingatan, menciptakan batasan sosial (misalnya, bau "kotor" versus bau "bersih"), dan bahkan menjadi penanda identitas yang kuat. Akhirnya, penglihatan, yang sering dianggap sebagai indra paling dominan dalam masyarakat Barat, membentuk cara kita memahami dunia dan orang lain. Synnott mengeksplorasi bagaimana pandangan diatur oleh norma sosial (misalnya, tatapan, kontak mata), dan bagaimana penglihatan dapat menjadi alat pengawasan dan kontrol sosial yang efektif.

Melalui seluruh narasi bukunya, Synnott dengan piawai merujuk pada pemikiran-pemikiran penting dari berbagai teori sosial dan filosofis tentang tubuh, mulai dari pemikir klasik hingga kontemporer. Ia menyajikan tinjauan yang kaya tentang bagaimana sosiologi, antropologi, dan studi budaya telah mendekati subjek tubuh, mengakui kontribusi berbagai disiplin ilmu dalam memahami kompleksitas ini.

Pada puncaknya, "Tubuh Sosial" merupakan karya yang mencerahkan, berhasil mengembalikan tubuh pada tempatnya yang utama dalam kehidupan personal dan sosial. Synnott secara lugas dan komprehensif menunjukkan bahwa tubuh bukanlah entitas pasif yang bisa diabaikan, melainkan sebuah arena dinamis tempat individu dan masyarakat saling berinteraksi secara intens, membentuk makna, dan menegosiasikan identitas. Dengan menghindari diskusi abstrak yang berlebihan, Synnott menyajikan sebuah pendekatan yang membumi, mengundang setiap pembaca untuk melihat kembali tubuh mereka sendiri dan tubuh orang lain dengan lensa yang lebih kritis dan penuh makna sosial. Buku ini, tanpa ragu, merupakan bacaan esensial bagi siapa saja yang memiliki ketertarikan pada sosiologi, antropologi, studi budaya, dan filsafat tubuh.

 

Tulisan : R.Dt.

 

 

1 komentar untuk "Membongkar Makna Tubuh: Memahami "Tubuh Sosial" Karya Anthony Synnott"

  1. Artikel ini membuka wawasan tentang bagaimana tubuh tidak hanya sebagai entitas biologis, tapi juga sarat makna sosial dan budaya. Analisis terhadap karya Synnott sangat menggugah untuk memahami diri dan relasi sosial secara lebih dalam.

    BalasHapus