Kurikulum Perguruan Tinggi: Dilema antara Industrialisasi dan Kemurnian Keilmuan

 

perguruan tinggi yang berpihak pada industri (sumber AI)


Damariotimes. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul perdebatan sengit mengenai arah pendidikan tinggi di Indonesia. Banyak pihak merasa bahwa kurikulum perguruan tinggi semakin terkooptasi oleh kebutuhan industrialisasi, mengorbankan pengembangan keilmuan murni yang selama ini menjadi fondasi pendidikan tinggi. Alih-alih melahirkan pemikir, strateg, dan konseptor ulung, perguruan tinggi kini seolah berlomba mencetak tenaga teknis yang siap pakai untuk memenuhi tuntutan industri. Pertanyaan fundamental yang muncul adalah, apakah benar demikian, dan jika ya, apa implikasinya bagi masa depan pendidikan dan inovasi bangsa?

Pandangan yang diangkat adalah bahwa kurikulum saat ini terlalu fokus pada aspek praktis dan aplikatif. Program studi yang seharusnya menjadi "wadah" pengembangan ilmu pengetahuan murni, seperti filsafat, sosiologi, sejarah, bahkan ilmu dasar seperti matematika atau fisika murni, seringkali didorong untuk mengadopsi mata kuliah yang lebih berorientasi pada keterampilan teknis atau kompetensi spesifik yang dicari industri. Tujuannya tentu saja untuk mempersiapkan lulusan agar cepat terserap ke dunia kerja. Namun, di sinilah letak masalahnya. Jika perguruan tinggi hanya berfungsi sebagai "pabrik" penghasil teknisi, maka kekayaan intelektual dan kemampuan berpikir kritis, analitis, serta strategis yang seharusnya menjadi ciri khas lulusan perguruan tinggi akan terkikis. Mahasiswa mungkin menguasai berbagai perangkat lunak atau prosedur operasional standar, tetapi kehilangan kemampuan untuk merumuskan ide-ide baru, mengidentifikasi masalah-masalah kompleks, atau mengembangkan solusi inovatif yang melampaui kerangka teknis sempit.

Asumsi yang sering diutarakan adalah bahwa industri pada dasarnya hanya mencari tenaga teknis untuk menjalankan roda produksi dan operasional sehari-hari. Mereka membutuhkan individu yang dapat langsung bekerja, mengikuti instruksi, dan menyelesaikan tugas-tugas praktis. Kemampuan untuk menyusun strategi jangka panjang, mengembangkan konsep-konsep baru, atau melakukan riset fundamental dianggap sebagai ranah yang terpisah, bahkan mungkin tidak relevan untuk sebagian besar posisi di industri. Jika pandangan ini benar, maka perguruan tinggi yang terlalu fokus pada aspek industrialisasi akan menciptakan lulusan yang kosong secara konseptual. Mereka mungkin memiliki "hard skills" yang mumpuni, tetapi kekurangan "soft skills" krusial seperti kreativitas, pemikiran divergen, kepemimpinan, dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan paradigma. Akibatnya, alih-alih menjadi agen perubahan dan inovasi, lulusan hanya akan menjadi pelaksana.

 

Menganalisis Kekhawatiran dan Mencari Keseimbangan

Kekhawatiran terhadap industrialisasi kurikulum ini bukan tanpa dasar yang kuat. Beberapa argumen dan dukungan relevan dapat ditemukan dalam berbagai diskusi. Laporan dari organisasi internasional seperti UNESCO secara konsisten menekankan pentingnya pendidikan tinggi yang holistik, yang tidak hanya berfokus pada pelatihan kerja, tetapi juga pada pengembangan kemampuan berpikir kritis, kewarganegaraan global, dan inovasi. Pergeseran ke arah yang terlalu pragmatis dikhawatirkan dapat mengikis tujuan mulia ini. Konsep "link and match" antara perguruan tinggi dan industri, meskipun bertujuan baik, seringkali disalahartikan sebagai penyeragaman kurikulum dengan kebutuhan industri jangka pendek. Ini berpotensi mengabaikan kebutuhan jangka panjang untuk riset dasar dan pengembangan ilmu pengetahuan yang lebih luas.

Ironisnya, meskipun perguruan tinggi berlomba-lomba mencetak lulusan siap kerja, "skill gap" atau kesenjangan keterampilan masih menjadi isu yang persisten. Hal ini mungkin menunjukkan bahwa fokus yang terlalu sempit pada keterampilan teknis tertentu tidak selalu relevan dengan dinamika pasar kerja yang berubah cepat. Industri sebenarnya membutuhkan individu yang mampu belajar dengan cepat dan beradaptasi, bukan hanya menguasai satu set keterampilan statis. Sejarah pun menunjukkan bahwa inovasi-inovasi revolusioner seringkali lahir dari riset dasar yang tidak memiliki aplikasi praktis langsung pada awalnya. Jika perguruan tinggi mengabaikan pengembangan keilmuan murni, potensi untuk menghasilkan terobosan-terobosan fundamental ini akan berkurang drastis.

Meskipun kekhawatiran di atas memiliki dasar yang kuat, penting juga untuk melihat dari perspektif yang berbeda. Industri bukanlah entitas yang statis; mereka juga membutuhkan inovator, strateg, dan pemikir. Kritik terhadap "industrialisasi" kurikulum mungkin terlalu menyederhanakan dinamika yang kompleks. Perguruan tinggi tidak dapat berdiri sendiri dan mengabaikan kebutuhan masyarakat serta pasar kerja. Relevansi adalah kunci agar lulusan dapat berkontribusi secara nyata. Namun, relevansi ini tidak harus diartikan sebagai pengorbanan keilmuan murni. Solusi ideal mungkin terletak pada integrasi yang seimbang antara keilmuan murni dan aplikasi praktis. Program studi dapat membekali mahasiswa dengan dasar-dasar keilmuan yang kuat — mulai dari konsep, teori, hingga metodologi — sekaligus memperkenalkan mereka pada tantangan dan aplikasi di dunia industri melalui proyek, magang, atau studi kasus.

Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 justru menuntut lulusan yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skills), seperti pemecahan masalah kompleks, berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan beradaptasi. Kemampuan-kemampuan ini justru dibangun melalui pengembangan keilmuan murni dan bukan semata-mata pelatihan teknis. Industri masa depan akan lebih membutuhkan "orchestrators" dan "designers" daripada sekadar "operators."

 

Merangkai Masa Depan Pendidikan Tinggi

Ide bahwa kurikulum perguruan tinggi saat ini terlalu berpihak pada industrialisasi dan mengabaikan pengembangan keilmuan murni adalah sebuah argumen yang valid dan perlu direnungkan. Jika perguruan tinggi hanya fokus mencetak tenaga teknis yang siap pakai, kita berisiko kehilangan generasi pemikir, inovator, dan pemimpin yang mampu melihat gambaran besar dan merumuskan strategi jangka panjang.

Namun, bukan berarti industrialisasi adalah musuh mutlak. Tantangannya adalah menemukan titik keseimbangan yang tepat. Perguruan tinggi harus mampu membekali lulusan dengan kemampuan adaptif dan fundamental yang memungkinkan mereka tidak hanya terserap di dunia kerja saat ini, tetapi juga berkembang dan berinovasi di masa depan. Ini berarti memperkuat kembali pondasi keilmuan murni, sambil tetap membuka diri terhadap kolaborasi dengan industri yang strategis dan tidak mengorbankan esensi pendidikan tinggi itu sendiri.

 

Tim Damariotimes.

 

Posting Komentar untuk "Kurikulum Perguruan Tinggi: Dilema antara Industrialisasi dan Kemurnian Keilmuan"